Sanggar Kapoedang Tebuireng menggelar penutupan sekolah menulis pada Jum’at (17/11/2023) di perpustakaan A Wahid Hasyim Tebuireng dengan diikuti 20 peserta.
Sanggar Kapoedang Tebuireng menggelar penutupan sekolah menulis pada Jum’at (17/11/2023) di perpustakaan A Wahid Hasyim Tebuireng dengan diikuti 20 peserta.

Dewasa ini teknologi informasi & komunikasi digital mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai jenis plaftorm media tercipta satu per satu dan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Bahkan yang terbaru kini telah tercipta pula artificial intelligence (AI). Kehadiran platform-platform digital ini tentu sangat memudahkan akses informasi & komunikasi antar sesama manusia.

Telah jamak ditemui bahwa saat ini banyak orang menggunakan platform digital untuk sharing ilmu pengetahuan, membangun bisnis, berjualan online dan bahkan, bagi sebagian dai, ada yang memanfaatkannya untuk mewadahi dan memperluas cakupan dakwahnya.

Sebagai umat Islam, ketika kita melihat dakwah agama Islam kian masif di media sosial (medsos), tentu saja ada perasaan bangga dan bahagia dalam benak kita, karena agama Allah yang rahmatan lil alamin ini menjadi lebih tersebar dan terkenal ke segala penjuru dunia.

Namun, ada hal yang perlu kita kritisi dan waspadai tentang perkembangan dakwah Islam yang kian hari kian masif melalui medsos ini. Hal yang perlu kita kritisi dan waspadai adalah keterangan apa yang disampaikan dan siapa yang menyampaikan keterangan tersebut dalam konten-konten dakwah yang kita jumpai di medsos, terlebih di era post truth.

Dalam Kamus Oxford, istilah post-truth didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Ringkasnya, era post truth ini merupakan era dimana validitas kebenaran suatu data/ fakta tertentu cenderung tidak dinilai secara objektif, namun lebih dominan subjekif.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalau dikaitkan dengan konten dakwah, maka validitas kebenaran isi konten dakwah yang bertebaran di beranda medsos seringkali dinilai benar oleh para pembacanya berdasarkan banyaknya jumlah like & vierwers, tanpa adanya cross-check kebenaran data terlebih dahulu. Kalau isi konten dakwah tersebut benar dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tentu bermanfaat dan tidak jadi masalah. Namun, bila ternyata tidak benar & sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, atau bahkan bertolak belakang –seperti konten dakwah yang mengatasnamakan Islam, tapi isinya penuh provokasi, kebencian, dan jauh dari nilai Islami-, tentu saja ini membahayakan umat.

Melihat realita demikian ini, maka sudah semestinya kita sebagai umat Islam perlu kritis dan waspada, serta tidak mudah percaya dan mau cross-check validitas kebenaran isi suatu konten dakwah yang kita jumpai di medsos. Kita mesti meneliti dulu, apakah isinya sesuai dengan nilai Islami apa tidak? Siapa orang yang menyampaikan konten tersebut? Bagaimana latar belakang keilmuan dia? Dan seterusnya.

Bekal Santri dalam Dakwah di Medsos

Di samping itu, adanya realita yang demikian ini, melahirkan suatu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual/cendekiawan muda Islam –masyhur disebut dengan istilah santri— dalam melestarikan perjuangan dakwah Islam di negeri ini. Tantangan dakwah yang dimaksud ialah bagaimana cendekiawan muda Islam atau kaum santri ini mampu membumikan dan melestarikan ajaran agama Islam yang rahmatan lil-‘alamin melalui medsos.

Kaum santri harus mampu menjawab tantangan ini dengan apik. Mengingat bahwa perkembangan medsos kian masif, jika para santri tidak mau turut mengambil peran dan kesempatan, maka medsos akan dikuasai oleh konten-konten dakwah ‘negatif’ yang sangat berpotensi meracuni kehidupan umat.

Sebagai bekal perjuangan dan menjawab tantangan dakwah tersebut, maka kaum santri era millenial kini setidaknya butuh dua kemampuan utama. Kaum santri harus fasih secara lisan juga tulisan. Maksudnya, kaum santri tidak hanya harus mahir dalam menyampaikan dakwah model ceramah atau orasi, tetapi juga harus pandai menata diksi secara singkat, padat dan mudah dipahami, serta tidak melupakan kredibilitas keilmuan dalam wujud konten dakwah yang kemudian disampaikan melalui medsos.

Kenapa mesti begitu? Sebab, dewasa ini banyak dai yang pandai ceramah/ orasi, tetapi masih belum begitu banyak yang pandai ceramah/ orasi sekaligus mahir dalam menuliskan diksi dakwahnya di medsos. Dengan adanya inovasi ‘kaum santri harus fasih lisan juga tulisan’, maka InSyaAllah ke depan konten-konten dakwah yang muncul di beranda medsos akan bermuatan positif dan tidak lagi membahayakan kehidupan umat.

Di samping itu, ketika kaum santri fasih secara tulisan itu berdakwah di medsos, hal ini akan membawa berbagai kemaslahatan lainnya, di antaranya: 1) Perdebatan kusir di medsos, khususnya seputar agama, tidak lagi mewabah. 2) Konten-konten dakwah ‘negatif’ yang tidak kredibel bisa tertandingi oleh konten-konten dakwah positif. 3) Budaya gemar membaca netizen perlahan tumbuh, sehingga grade literasi bangsa ini yang menurut survey PISA masih rendah skor PISA negara Indonesia masih tertinggal dari negara lain–, perlahan bisa naik.

Kiat Santri Fasih Lisan dan Tulisan

Lantas bagaimana kiat yang harus ditempuh untuk melahirkan generasi ‘kaum santri yang fasih lisan juga tulisan’ ini? Guna mewujudkan hal itu, sejak masih nyantri, para calon cendekiawan muda Islam ini harus dikader dan dibekali dua softskill ini. Pesantren harus mau adaptif dan responsif dalam mewujudkan hal ini dengan membuatkkan wadah pelatihan jurnalistik dan orasi ilmiah secara konsisten dan sunguh-sungguh.

Wadah pelatihan jurnalistik dan orasi ilmiah ini dalam skala kecil dapat diwujudkan melalui pembentukan UKS (Unit Kegiatan Santri) dan dalam skala besar dapat diwujudkan melalui seminar pelatihan jurnalistik & orasi ilmiah pesantren, pembinaan santri secara masif dalam mengikuti event lomba tingkat regional maupun nasional, dan sebagainya.

Selain itu, juga perlu adanya pembinaan strategi dakwah Islami era modern yang menyesuaikan kebutuhan zaman dan tidak menimbulkan konflik internal santri. Hal ini dimaksudkan agar andaikan ada satu orang santri tidak bisa sepenuhnya menguasai (mahir) dua softskill tadi, menguasai salah satunya saja, setidaknya nanti ketika sudah terjun di masyarakat bisa bersinergi antara satu sama lain sesama santri dalam dakwah islamiyah. Sesama dai bisa saling bahu membahu, bukan saling menjatuhkan.

Semoga dengan adanya langkah pembelajaran jurnalistik & orasi ilmiah di berbagai pesantren di Indonesia yang dikemas secara apik, kedepan akan terlahir cendekiawan-cendekiawan muda Islam ideal yang dapat melanjutkan estafet perjuangan dakwah Islamiyyah para santri yang fasih lisan dan tulisan terdahulu seperti KH. Ma’ruf Khozin, Gus Rijal Mumazziq Z., Gus Abdul Wahhab Ahmad, dsb.

Baca Juga: Pandangan Nabi tentang Dakwah di Era Digital


Referensi:

Syuhada, Kharisma Dian. 2017. “Etika Media di Era Post Truth” dalam jurnal Komunikasi Indonesia, Vol 5. No 1.

https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/06/narasi-skor-pisa-indonesia-jangan-seolah-olah-prestasi (Diakses pada tanggal 28 Mei 2024)


Penulis: Dhonni Dwi Prasetyo, Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan dan Universitas Negeri Semarang.

Editor: Munawara