Oleh: Mohamad Hasan Alkafrowi*
Suasana pondok pesantren terlihat ramai sekali. Para santri gotong royong untuk melakukan bersih-bersih pondok. Mulai dari lorong-lorong kamar, aula sampai parkiran di depan gerbang pondok tidak luput dari perhatian para santri.
Di pondok kami, setiap minggu pagi di awal bulan, akan ada agenda ro’an akbar yang wajib diikuti oleh seluruh pengurus dan santri. Rutinitas ini sudah lama memang. Bahkan ketika aku pertama kali datang ke pondok ini pun waktu hari minggu di awal bulan juga sudah ada ro’an akbar yang diikuti ratusan santri.
Untuk tugas yang diemban masing-masing santri pun beragam. Ada yang mendapat jatah membersihkan selokan. Ada yang mendapat jatah mengepel aula pondok. Ada yang mendapat jatah bersih-bersih ndalem kyai, dan lain sebagainya. Dan kali ini, kamarku mendapatkan jatah membersihkan ndalem kyai.
***
“Topi hitam yang biasanya aku pakai ro’an kok nggak ada, ya, Ris?”
Haris mengangkat bahunya. “Emangnya kamu taruh mana, Kaf?” Aku mendengus kesal sambil mencari-cari topi tersebut di lemari kamar.
Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. Kalau aku ingat aku menaruhnya di mana, tidak mungkin juga, kan, aku bertanya?
Karena ketua kamar sudah memberikan instruksi untuk segera ke lokasi ro’an, alhasil kami berdua segera keluar dari kamar dan menuju ndalem kyai.
Dimulai dari pelataran rumah, area parkir, lalu dilanjut bersih-bersih bagian ruang tamu dan bagian dalam ndalem kyai.
“Cari minum, Ris,” ujarku dengan menyodorkan uang lima ribuan padanya.
Haris menyahutnya dengan cepat. “Siap bos. Tunggu dulu, ya?”
Tidak berselang lama kemudian, Haris kembali dengan membawa beberapa minuman dingin yang ia dapatkan dari kantin pondok.
Kami berdua bersandar di tembok untuk melepas penat sejenak dan menyaksikan para santri berlalu-lalang membersihkan ndalem. Tidak jarang juga, ada pengurus pondok yang beberapa kali lewat untuk memastikan apakah kami menjalankan tugas dengan baik.
“Kaf.”
“Apa?” sahutku sembari membuang air minum ke dalam tumpukan sampah yang tidak jauh dari kami.
Kelopak matanya fokus menatap air yang sudah habis tersebut, lalu menatapku tajam.
“Besok kan hari senin, ya? Kamu tahu sendirilah, kalau aku biasanya puasa Senin-Kamis.”
“Yaaa…,” jawabku dengan sedikit menunjukkan wajah kesal.
“Bukan mau sombong, Kaf. Tapi mau tanya sesuatu.”
“Ya…,” sahutku, lagi.
Karena mungkin terbawa emosi, Haris mengalihkan pandangannya dan bergegas berdiri untuk melanjutkan bersih-bersihnya.
“Eh, aku becanda, Ris. Maaf-maaf?” Haris tidak meresponku. Ia berlalu begitu saja sambil menenteng sapu di pundaknya.
***
Pukul 21.30.
Gerimis perlahan turun, disusul suara lonceng yang terdengar nyaring di telinga kami.
Beberapa santri ada yang langsung berlari menuju kamar mereka masing-masing dengan memeluk kitabnya di depan dada agar tidak basah oleh air hujan. Ada juga yang masih di madrasah, menghabiskan malam dengan muthola’ah di kelas atau sekadar melalar kembali hapalan mereka masing-masing. Termasuk aku sendiri.
Mulutku tak henti-hentinya komat-kamit membaca nadzom alfiyah yang berjumlah 1002 bait. Biasanya, dalam jumlah yang relatif banyak itu, jika membacanya pelan dan santai, aku bisa khatam dalam waktu dua jam. Tapi bila membacanya dengan cepat, bisa satu jam atau bahkan kurang.
“Mau kopi nggak?”
Aku menoleh ke arah pintu kelas.
Itu Haris!
“Weh weh weh… Apa ini,” ucapku sambil tersenyum lebar ke arahnya.
Haris melangkah masuk dengan membawa dua cangkir kopi dan topi hitamku yang tadi sempat hilang.
Ia meletakkan kopi tersebut di atas dampar dan melemparkan topinya ke arahku.
“Ini dia yang dari tadi aku cari. Dapat darimana kamu, Ris?”
“Tadi ada yang nyari kamu di kamar. Mau balikin topi. Tapi kamu nggak ada. Makannya aku ke sini.”
“Loh, pinjam? Kapan dia pin-“
“Udah-udah. Gitu aja dipikirin.”
Jujur, kalau ada temanku di kamar atau siapapun itu yang meminjam barang milikku dengan baik, pasti akan aku kembalikan. Tapi kalau ghosob, aku sendiri sedikit tidak rela. Karena memang aku sendiri membiasakan untuk tidak menormalisasi hal-hal buruk sekecil apapun itu di pondok pesantren, baik itu menjadi korban atau pelaku.
Apalagi topi hitam tersebut bukan topi sembarangan. Topi tersebut merupakan topi yang dibelikan langsung oleh ayahku sewaktu pertama kali mendaftarkan diri di pondok pesantren ini sekitar 5 tahun yang lalu dan selalu berhasil membuatku ingat tentang ayah dan ibuku. Jadi wajar jika ada yang meminjamnya tanpa izin, aku sedikit tidak ikhlas,
“Lalaran apa muthla’ah?”
“Lalaran, biasa,” jawabku.
“Sudah khatam?”
“Ini sebentar lagi.”
“Khatam?”
“Selesai lalarannya. Waktunya ngopi.”
Kami berdua tertawa terpingkal-pingkal, lalu lanjut bercerita soal keseruan tadi pagi waktu ro’an akbar di ndalem-nya kyai. Tak lupa juga, aku sempatkan untuk meminta maaf padanya soal kejadian tadi pagi yang membuatnya sedikit marah.
***
Kurang lebih tiga jam lamanya aku dan Haris ngobrol panjang-lebar.
Sudah tengah malam. Waktunya kembali ke pondok dan istirahat.
Di jalan sembari membawa sisa kopi tadi aku sempat menyinggung soal pertanyaan yang akan disampaikan oleh Haris pagi tadi.
“Sebenarnya sederhana, sih, Kaf. Jadi, kan, sebelum ro’an tadi, aku sempat mandi junub. Karena, yah, tahu sendirilah. Dan“
“Habis mimpi mantap-mantap ini pasti. Haha…” sahutku cepat, yang langsung disambut tawa kecil oleh Haris.
“Ya begitulah. Dan waktu niat mandi junub sembari membasuh tubuhku dengan air, aku jadi teringat salah satu kitab yang dikarang oleh Imam As-Suyuthi. Al-Ashbah kalau nggak salah. Itu menjelaskan, bahwasanya tujuan diwajibkannya niat itu, kan, ada dua, ya? Pertama, untuk membedakan mana yang menjadi adat (kebiasaan), dan mana yang menjadi ibadah.”
Sambil berbicara panjang lebar, sesekali Haris juga menoleh ke arahku.
“Seperti mandi, katakanlah. Apakah ia mandi karena membersihkan badan, mencari kesegaran, atau karena ibadah. Itu, kan, hampir sama, ya? Nah, makannya untuk membedakan itu, diwajibkanlah niat (menurut madzhab Syafi’i).”
“Yang kedua, untuk membedakan tingkatan ibadah, seperti sholat, katakanlah. Apakah dia wajib atau sunnah, kan waktunya sama kadang. Maka dari itu, perlu adanya niat untuk membedakannya.”
“Lalu, apa yang kamu bingungkan?” tanyaku heran.
Penjelasannya sudah cukup jelas. Apa yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi soal maksud disyariatkannya niat tidak ada yang perlu dibahas lagi.
Tapi mungkin ada hal kecil yang belum ia bahas, yakni ketika ada ibadah yang tidak memiliki keserupaan dengan kebiasaan atau aktivitas lain, maka tidak perlu adanya niat, seperti membaca al-Qur’an, berdzikir dan lain sebagainya. Berbeda dengan wudhu, sholat, mandi dan lain sebagainya yang memilki keserupaan dengan aktivitas sehari-hari.
“Hm… Apa, ya? Nggak ada, sih sebenarnya yang mau aku tanyakan. Cuma ingin ngasih tahu aja ke kamu soal itu. Siapa tahu kamu belum paham, kan?”
Di satu sisi, aku tertawa mendengarnya. Tapi di sisi lain, aku bangga memiliki partner di pondok pesantren yang memiliki semangat yang tinggi dalam tholabul ilmi seperti dia.
“Siap Kyai. Ngestuaken dawuh,” ujarku seraya menunduk, yang langsung dibalas oleh Haris dengan senyuman sembari mengacungkan tangan kanannya dengan maksud agar aku mau menciumnya.
“Salim dulu sini,” ucapnya sombong.
Untuk kesekian kalinya, kami tertawa terpingkal-pingkal bersama.
Penulis: Mohamad Hasan Alkafrowi