Sumber gambar: https://balubu.com/penyakit-hati-dalam-islam/

Oleh: Silmi Adawiya*

Hati adalah salah satu organ tubuh manusia yang paling sensitif. Memang tak kasat mata, namun pengaruhnya sangat menentukan bagaimana organ yang lain bergerak dan melangkah. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ mengingatkan:

أَلاَ وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR Bukhari dan Muslim)

Hati yang sehat akan memudahkan setiap insan dalam menjalankan tugasnya, secara jasmani ataupun rohani. Karenanya kita perlu menjaga dan merawat hati  sebaik mungkin. Ibnu Hajar memaparkan dalam kitab Munabbihât ‘ala Isti‘dâdi li Yaumil Mî‘âd, bahwa Hasan Al Bashri menjelaskan enam hal yang dapat merusak hati seseorang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, melakukan dosa dengan harapan ia bisa bertaubat di kemudian hari. Seseorang yang sadar akan perbuatan dosanya dan masih berangan-angan akan kembali ke jalan Tuhan pada waktunya adalah sebuah kesombongan. Ia terlalu percaya diri bahwa Allah masih memberikan waktu untuk bertaubat, padahal kesempatan itu belum tentu ia miliki di lain waktu. Perbuatan dosa yang dilakukan dengan unsur kesengajaan (bukan faktor ketidaktahuan) berpotensi menjadikan hati semakin gelap.

Kedua, memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya. Pepatah kata yang sangat terkenal “ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah” memang benar  nyatanya. Karena sejatinya tujuan dari sebuah pengetahuan adalah pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mengamalkan ilmu disini bisa saja dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, atau juga bisa hanya dengan mendiamkan ilmunya sebagai koleksi dalam kepala saja.

Ketiga, tidak ikhlas dalam beramal. Setelah ilmu diamalkan, urusan belum sepenuhnya beres. Sebab manusia masih dihinggapi hawa nafsu dari mana-mana. Ia mungkin saja berbuat baik banyak sekali, namun sia-sia belaka karena tidak ada ketulusan berbuat baik. Ikhlas adalah hal yang cukup berat sebab meniscayakan kerelaan hati meskipun ada yang dikorbankan.

Keempat, tidak bersyukur dalam menikmati rezeki yang diberikan Allah. Bersyukur adalah pilihan sikap yang wajib. Orang yang tak mau bersyukur adalah orang yang tidak memahami hakikat rezeki. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad  mengartikan syukur dengan ijrâ’ul a‘dlâ’ fî mardlâtillâh ta‘âlâ wa ijrâ’ul amwâl fîhâ (menggunakan anggota badan dan harta benda untuk sesuatu yang mendatangkan ridha Allah). Artinya, selain ucapan “alhamdulillah”, kita dianggap  bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam penggunaan kekayaan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah ﷻ.

Kelima, tidak ridha dengan ketetapan Allah. Tidak hanya tidak mau bersyukur, melainkan selalu mengeluh dan merasa kurang atas ketetapan yang ada. Bisa jadi ia protes  kepada Allah tentang kondisinya. Tidak ada hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayang Allah, sementara yang miskin adalah mereka yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa yang kita sebut “kurang” sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar kita selamat dari tindakan melampaui batas.

Keenam, mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran darinya. Peristiwa kematian adalah nasihat yang lebih gamblang daripada pidato-pidato dalam panggung ceramah. Ketika ada orang meninggal, kita disajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan dunia ini fana. Liang kuburan adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan, jabatan, status sosial, dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya, orang mati akan berhadapan dengan semua pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama hidup di dunia. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اْلقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَر مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجَ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ

“Sungguh liang kubur merupakan awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)-nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)-nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR Tirmidzi).


*Penulis adalah alumnus Unhasy dan Santri Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang. Saat ini menempuh pendidikan tinggi di Pascasarjana UIN Jakarta.