Oleh: KH. Hasyim Muzadi

 

Titik Pertama: Dalam menentukan keputusan di dalam NU tidak ada yang lebih tinggi dari Muktamar, Maka semua ide termasuk AHWA bisa dianggap hanya sebagai usulan kepada muktamirin yang seharusnya dibahas di dalam Muktamar bukan menjadi syarat untuk masuk ke arena Muktamar. Jadi mestinya AHWA  itu bukan menjadi syarat masuk Muktamar tetapi dibahas di dalam Muktamar apakah diterima usulan itu atau tidak. Jadi kalau kita menolak itu memang aturan organisasi bukan karena membenci siapa-siapa.

Titik  kedua adalah tata tertib. Tata tertib ini secara waktu sudah telat untuk sampai di tangan para Muktamirin, kalau tidak ada di tangan Muktamirin berarti tata tertib ini tidak bisa dipelajari. Bahkan, bila berita mengenai belum dibuatnya tata tertib itu benar adanya sehingga muktamirin tidak bisa mempelajari tata tertib itu maka nantinya para muktamirin tidak bisa menyetujui tata tertib tersebut karena tidak bisa mempelajari.

Nah, kalau tata tertib muktamar itu belum disetujui maka kita memakai tata tertib yang lama, seperti pada Muktamar-Muktamar yang terdahulu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Titik ketiga adalah agenda Muktamar itu sendiri, agendanya begini: Normalnya setelah adanya tata tertib ada pertanggung jawaban. Setelah pertanggung jawaban ada pandangan umum setelah pandangan umum baru ada komisi-komisi yang merinci pemikiran pandangan umum tersebut. Setelah dari komisi-komisi barulah dibawa ke sidang pleno untuk disahkan. Kalau sudah disahkan di sidang pleno maka pengurus dinyatakan demisioner. Kemudian dilakukan pemilihan pengurus, dan pengurus itu bukan oleh PBNU tapi oleh para peserta. Oleh karena kita harus meluruskan perjalanan ini sesuai dengan prosedur agenda Muktamar; titik pertama, pendaftaran, kedua, tata tertib, yang ketiga, agenda Muktamar itu sendiri.

Yang keempat jangan lupa isi dari Muktamar itu sendiri. Nah, isi Muktamar disampaikan baik di komisi ataupun di sidang pleno. Jangan kita terperangkap di dalam pro-kontra AHWA saja, sementara isi dari pada Muktamar membelokkan haluan Nahdlatul Ulama (NU). Nah, setelah pemilihan itu, nanti biasanya ditentukan siapa pembantu atau formatur yang mendampingi Rois dan ketua terpilih. Ini gambaran umumnya sehingga kalau kita masuk di titik pertama, itu niat kita mengambil kembali hak kita, hak suara kita, hak milik Wilayah dan Cabang kalau diambil orang lain, misalnya PB, harus seridlo daripada Wilayah dan Cabang. Kalau tidak ada ridlo kemudian diambil saja ya itu ghosob namanya. []