oleh KH. Mustain Syafi’i

Jamaah Jum’at rahimakumullah.

Pada khotbah Jumat kali ini, saya mengajak para jamaah semua untuk senantiasa memperkuat kualitas keimanan kita kepada Allah. Tidak lupa pula, sebagai khotib, saya mengajak para jamaah untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Perlu kita ketahui bahwa kita bisa menunaikan ibadah Jumat kali ini tidak lepas dari karunia dan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Selain itu, marilah kita senantiasa menghaturkan salam dan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan berharap semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat kelak.

Sidang Jumat yang dimuliakan Allah.

Sebagai manusia, pada dasarnya kita berkewajiban untuk bertakwa kepada Allah. Tidak hanya itu, kita pun hendaknya selalu mengevaluasi diri; sejauh mana ketakwaan kita sehari-hari kepada-Nya. Dalam khotbah Jumat pun wasiat takwa kepada Allah menjadi rukunnya. Hal itu tidak sekadar rukun, tetapi ketakwaan memang benar-benar diperintahkan oleh Allah. Hal itu dikarenakan bahwa ketakwaan merupakan asas penting dalam keberagamaan kita. Wasiat takwa di dalam khotbah Jumat pun menjadi rukun yang telah Allah syariatkan karena ketakwaan merupakan hal yang sangat penting.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sesungguhnya di dalam pensyariatan agama ini, Allah telah membuat pertimbangan yang sangat sempurna sehingga agama Islam menjadi agama yang benar-benar manusiawi dan tidak berlebihan. Di dalam bersuci, Allah menjadikan air sebagai fasilitas alam agar digunakan umat manusia untuk bersuci. Lebih dari itu, air memang menjadi kebutuhan manusia untuk berbagai keperluan. Hal itu memudahkan umat manusia karena di samping kebutuhan manusia akan air untuk berbagai keperluan hidup, air juga digunakan untuk bersuci. Dengan demikian, Islam mensyariatkan ajaran yang sederhana dan tidak mempersulit.

Islam tidak seperti agama lain yang lebih banyak menggunakan piranti-piranti budaya yang membutuhkan berbagai benda yang memang bukan standar, seperti kembang, lilin, kemenyan, dan lain sebagainya. Hal itu pastinya bukan konsep agama karena tidak bisa bersifat universal dan tidak bisa diterapkan untuk semua manusia yang terpencar ke berbagai sudut dunia ini. Di setiap negara di mana manusia itu tinggal, pasti ada air meskipun di padang pasir layaknya Arab Saudi. Akan tetapi, tidak semua tempat itu bisa ditumbuhi oleh bunga-bunga. Tidak semua tempat itu ada kemenyan dan lilin.

Di dalam kehidupan beragama, kita perlu mengawali ketakwaan dan keimanan kita secara ketat. Salah satunya adalah dengan cara perkumpulan atau jamaah. Untuk itu, kita hendaknya sering berkumpul dengan pribadi-pribadi yang baik, berinteraksi dengan mereka. Hal itu dikarenakan bahwa salah satu konsep untuk memperhebat ketakwaan dan keimanan itu adalah konsep jamaah atau perkumpulan (kebersamaan).

Itulah salah satu alasan kenapa umat Islam dahulunya berhijrah ke Madinah. Di Madinah pula Nabi Muhammad Saw membangun masjid terlebih dahulu, bukan rumah untuk beliau tinggali. Hal itu dikarenakan bahwa di masjid itulah sebuah sentral umat Islam bisa saling bertemu, saling mengingatkan, saling membantu, mudah berkoordinasi, mudah menyebarkan informasi, bekerja secara sosial, dan lain-lain. Terlebih lagi waktu itu belum ada alat komunikasi teknologi seperti telefon layaknya sekarang ini. Hal itu menunjukkkan bahwa konsep-konsep yang dibutuhkan dalam ilmu sosial itu banyak terdapat dalam konsep agama.

Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 69 :

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا.

Artinya :

Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiq, orang-orang yang syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Sebagaimana disinggung dalam ayat tersebut bahwa orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya itu dikelompokkan menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah golongan para nabi. Golongan para nabi itu merupakan kelompok yang mutlak bahwa mereka dipilih oleh Allah sendiri dan mereka menerima wahyu-Nya. Untuk itu, kita tidak perlu membicarakannya karena sudah jelas bahwa para nabi itu terkenal ketaatannya kepada Allah.

Golongan kedua yang berada pada urutan setelah golongan para nabi itu adalah orang-orang yang shiddiq, yakni orang-orang yang keimanannya total. Mereka itu mempunyai dasar pemikiran, keimanan, dan teologi yang total. Mereka beranggapan bahwa jika ada sesuatu yang itu merupakan ajaran agama Islam, maka mereka langsung percaya total tanpa resah dan ragu. Salah seorang yang pernah mendapat gelar shiddiq adalah Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq.

Orang-orang shiddiq adalah orang-orang yang beranggapan bahwa agama itu adalah kebenaran. Masuk akal atau tidak, rasional atau tidak, dan aneh atau tidak, jika itu merupakan ajaran agama, maka orang-orang shiddiq ini langsung percaya secara total tanpa ada keresahan dan keraguan.

Golongan ketiga adalah gologan orang-orang yang mati syahid. Mereka adalah orang-orang yang terbunuh dalam memperjuangkan dan menegakkan agama Allah, agama Islam. Oleh karena itu, golongan orang-orang syahid itu adalah orang-orang yang meninggal dulu setelah memperjuangkan agama dengan benar. Kematian mereka itu disaksikan oleh Allah sebagai kematian yang indah.

Akan tetapi, pengertian tersebut agaknya kurang luas. Jika kita memberi makna syuhada’ sebagai orang-orang yang mati syahid, itu nanti konotasinya bisa perang-perang dulu karena mereka itu terbunuh dalam keadaan berperang melawan pihak-pihak yang memusuhi Islam. Yang lebih pas adalah esensi kesyahidan itu, bahwa syahid itu adalah orang yang baik, keagamaanya baik, dan mempunyai semangat memperbaiki orang lain dan lingkunganya yang tentunya dengan cara yang baik pula. Orang yang berperang di jalan Allah itu semangat sekali untuk mengubah dunia menjadi baik dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Dengan demikian, salah satu tanda syahid adalah di mana saja seseorang itu berada, maka dia bisa mengubah lingkungannya menjadi baik.

Golongan keempat adalah orang-orang saleh. Kata shalih yang berarti saleh, dalam bahasa Arab itu berasal dari lafal shalaha-yashluhu. Artinya secara luas dan esensial adalah pribadi yang bagus yang senantiasa memenuhi hak-hak Allah. Hak-hak Allah itu di antaranya adalah menyembah Allah, menyantuni orang-orang miskin yang membutuhkan, mengelola lingkungan untuk kemaslahatan, dan lain sebagainya. Itulah yang disebut orang saleh.

Sementara itu, ayat 69 surah An-Nisa’ tersebut diakhiri dengan kata yang sangat indah, “wahasuna ulaaika rafiqa”. Lafal tersebut berarti bahwa empat golongan yang telah disebutkan tadi adalah teman-teman yang paling baik. Kepada merekalah hendaknya kita berkumpul.

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Yang menjadi ganjalan adalah bahwa kita sudah tidak bisa lagi berteman dengan para nabi karena nabi yang terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. Beliau sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Sementara itu, orang-orang yang tergolong dalam kelompok shiddiq ini sudah sangat sulit ditemui. Kita akan kesulitan menemui orang dengan tingkatan sekaliber Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Selain itu, orang-orang yang mati syahid pun tidak bisa kita temui karena pada dasarnya mereka itu telah meninggal. Namanya juga mati syahid.

Yang terakhir, kita masih bisa menemukan orang-orang saleh di sekitar kita. Orang-orang saleh masih banyak di lingkungan kita ini. Oleh karena itu, mari kita berkumpul dengan mereka agar kita juga menjadi bagian dari mereka. Jika kita berkumpul dengan mereka, pada dasarnya mereka akan memberikan pengaruh baik dan keteladanan yang saleh sehingga kita bisa menedalani kesalehan mereka. Jika sudah demikian, maka kita pun termasuk dari golongan orang-orang yang saleh. Semoga kita semua menjadi orang-orang saleh. Amiin ya Rabbal ‘alamin.