Pertanyaan

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya punya pertanyaan yang lama terpendam di hati, terkait riwayat pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah pada usia 6-7 tahun. Padahal Rasulullah SAW saat itu sudah berusia di atas 40 tahun. Pertanyaannya:

  1. Bukankah usia 6-7 tahun itu masih tergolong anak di bawah umur?
  2. Apakah ada “rahasia tersembunyi” dibalik pernikahan dengan rentang usia yang sangat jomplang itu?
  3. Bagaimana Kiai menanggapi fitnah kaum orientalis, yang menuduh Nabi SAW mengidap pedofilia (memiliki orientasi seksual kepada anak kecil)?

Atas jawabannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

(Hamba Allah)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam wr.wb.

Hamba Allah yang kami hormati. Sebelum menjawab poin-poin pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa Rasulullah SAW tidak langsung hidup serumah dengan Dewi Aisyah. Saat itu, Nabi SAW hanya melakukan akad nikah saja, sementara Dewi Aisyah masih hidup bersama kedua orang tuanya (Abu Bakar & Ummu Rumman). Rasulullah SAW hidup serumah dengan Dewi Aisyah sekitar 3-4 tahun setelah akad nikah, yakni saat umur Aisyah sudah 9-10 tahun Hijriyah (HR. al-Bukhari: 284 dan Muslim: 244).

Mengenai usia Aisyah yang masih sangat belia, menurut sebagian ulama, karena pernikahan tersebut mengandung ihtimal khusushiyah (berlaku khusus bagi Nabi SAW, tidak berlaku bagi umatnya). Alasan mereka, karena Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk menikah di usia belia (Zaadul Ma’ad, juz I hal 105 – 106). Rasulullah SAW memang pernah mendorong umatnya untuk segera menikah, tapi hal itu berlaku bagi orang yang sudah siap membina rumah tangga atau khawatir terjerumus pada pergaulan bebas/zina.

Selain karena bersifat khususiyah (walaupun pendapat ini dianggap lemah), pernikahan Nabi SAW dengan Dewi Aisyah juga didasarkan beberapa alasan berikut:

Pertama, Rasulullah SAW sebenarnya tidak berniat berumah tangga (lagi) jika tidak didesak oleh para sahabat yang diwakili oleh Khawlah binti Hakim. Seperti ditulis dalam sejarah, lima tahun setelah wafatnya Sayidah Khadijah (istri pertama Nabi), para sahabat melihat Rasulullah SAW sangat membutuhkan pendamping hidup dalam mengemban dakwah Islam. Mereka kemudian mengutus Khawlah binti Hakim untuk membujuk Nabi SAW agar menikah lagi. Rasulullah tidak langsung menerima usulan itu; beliau terlebih dahulu meminta petunjuk dari Allah Swt (istikharah);

Kedua, pernikahan Rasululllah SAW dengan Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah Islam, khususnya yang berkaitan dengan kaum wanita. Setelah pernikahan itu, kaum hawa memiliki “penyambung lidah” (yakni Aisyah) untuk bertanya berbagai hal kepada Nabi SAW, terutama persoalan yang berkaitan dengan rumah tangga dan fiqh kewanitaan. Karena kecakapan dan kecerdasannya pula, Dewi Aisyah menjadi salah satu perawi hadis terbanyak (2.210 hadis) dan salah satu sumber ilmu pengetahuan terbesar dalam sejarah Islam. Beliau menjadi da’iyah, muballighah, dan murabbiyah (pendidik sejati) yang membantu kesuksesan dakwah Islam pasca wafatnya Nabi hingga periode Tabi’in;

Ketiga, pernikahan tersebut tidak dilandasi nafsu, melainkan karena perintah Allah Swt. Hal ini didasarkan hadis riwayat al-Bukhari, bahwa Rasul SAW bersabda, ”Aku diperlihatkan wajahmu (Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali. Malaikat membawamu dengan kain sutera yang indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR. Bukhari dan Muslim). Bukti lainnya, di antara istri-istri Nabi, hanya Aisyah saja yang dinikahi dalam keadaan perawan, sementara istri2 beliau lainnya adalah para janda yang beranak banyak.

Keempat, Dewi Aisyah memang sudah siap menjalani hidup berumah-tangga, baik secara fisik maupun psikis. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Dewi Aisyah, yang mengisahkan bahwa Umm Rumman (ibu ‘Aisyah) kerapkali memberikan buah ketimun dan kurma untuk mempercepat proses pematangan fisiknya: “Ibu selalu memperhatikan diriku karena ingin agar aku segera dewasa. Tujuannya, agar aku segera dapat hidup serumah dengan Nabi SAW. Aku sering (diminta) mengonsumsi buah kurma dan ketimun, agar pertumbuhan fisikku menjadi lebih pesat” (al-Baihaqi, t.t.:14246 dan 14247). Imam Al-Bukhari pun mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kesiapan ragawi merupakan salah satu tolok ukur kebolehan seorang gadis kecil (jariyah) untuk menikah, disamping kesiapan mental dan spiritual.

Kelima, pernikahan Nabi SAW dengan Dewi Aisyah bertujuan memperkuat hubungan kekerabatan antara beliau dengan shahabat paling utama, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq ra. Telah kita maklumi, sahabat Abu Bakar memiliki pengaruh dan jaringan yang cukup luas di bidang perdagangan. Beliau juga banyak membantu dakwah Nabi SAW, termasuk dua kali berinfaq dengan 100% kekayaannya (salah satunya saat Perang Tabuk). Dan patut dicatat, kesuksesan dakwah Rasulullah SAW bukan hanya disebabkan oleh keistimewaan pribadi beliau, tapi juga oleh kemampuan beliau membangun hubungan kekerabatan dengan banyak orang dan banyak kabilah/suku. Dengan banyaknya kerabat, penyebaran Islam semakin mudah dan jangkauannya semakin luas, disamping kebutuhan finansial-dakwah dapat tercukupi dengan mudah.

Keenam, menikah di usia dini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab saat itu (living tradition). Maka, pernikahan Nabi Saw dengan Dewi Aisyah merupakan hal yang wajar, walaupun perbedaan usia mereka cukup jauh. Jika kita menggunakan perspektif manusia masa kini, mungkin kita akan mengangapnya tidak wajar. Tapi bila kita menilai dari perspektif manusia yang hidup di zaman itu, maka tidak ada yang aneh. Justru tidak rasional jika manusia zaman modern, menilai manusia masa lalu dengan sudut pandang masa kini. Sangat absurd bila kita menilai standar kepantasan manusia masa lalu, dengan standar kepantasan manusia masa kini.

Jika kita baca buku2 sejarah atau kitab2 fiqh, banyak sekali yang membahas pernikahan anak kecil, bahkan pernikahan sesama anak-anak atau pernikahan bayi. Apa artinya ini? Ini menunjukkan bahwa pernikahan anak di bawah umur sudah menjadi tradisi dan tidak dianggap aneh, apalagi dianggap kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur. Yang aneh justru bila kita yang hidup di zaman modern ini, menghakimi tradisi masa lalu dengan standar tradisi kita sekarang. Sama halnya jika kita mempertanyakan: kenapa para pemimpin seperti Alexander Yang Agung, Napoleon Bonaparte, Salahuddin Al-Ayyubi, bahkan Rasulullah SAW, ikut terjun ke medan laga dan menjadi pemimpin pasukan dalam banyak peperangan? Jawabannya: tentu karena tradisi mereka memang seperti itu. Jangan bandingkan dengan manajemen modern, di mana presiden dan para jenderal hanya duduk manis di belakang meja, sementara prajuritnya mati-matian di medan perang.

Mengenai tuduhan pedofilia, mari kita lihat faktanya. Seseorang dikatakan pedofilia jika ia memiliki orientasi seksual HANYA kepada anak-anak. Ya, orientasinya hanya kepada anak kecil saja, bukan kepada orang dewasa. Sedangkan Nabi SAW tidak demikian. Beliau mempunyai 9 istri, dan hanya Dewi Aisyah saja yang dinikahi pada usia muda. Sedangkan 8 istri lainnya, semuanya adalah janda2 tua yang beranak banyak. Kenyataan ini sudah cukup menggugurkan tudingan kaum orientalis, yang menuduh Nabi Saw sebagai pedofil.

Dan yang patut dicatat, Dewi Aisyah tidak memiliki keturunan dari Rasulullah SAW. Padahal Aisyah hidup serumah dengan Rasulullah SAW selama 9 tahun. Fakta ini meninggalkan satu pertanyaan besar: Apakah Rasulullah SAW tidak pernah “mengumpuli” Dewi Aisyah? Bukankah Rasulullah SAW memiliki 7 orang putra-putri dengan istri2 yang lain, kenapa dengan Aisyah tidak berketurunan? Jika benar Rasulullah tidak pernah “berkumpul” dengan Aisyah, maka tuduhan kaum orientalis tersebut semakin hancur-lebur dan luluh-lantak. Wallahu A’lam.

A. Mubarok Yasin, Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Agama Tebuireng Online