Oleh: Robiah Mahtumah Malayati*
Khurin In segera turun dari masjid. Ia sudah rampung belajar diniyah. Nadzom Imrithy sudah dirapal sampai hapal. Mukenanya dicincing agak tinggi, agar kaki bisa diajak sedikit berlari. Geraknya mirip pinguin, melangkah cepat terjerat sarung berlipat. Jangan salah, usai mengaji, pesantren tidak sepi. Ramai lalu-lalang santri-santri segera menuju kamar mandi. Mereka mengantri.
Ngantri. Bermulanya sejak lama dan terjadi setiap pagi-pagi buta. Bahkan saat fajar kadzib muncul, santri-santri sudah ngantri. Berdiri berjajar tak lurus tapi tartiban. Sudah banyak diajarkan dalam fikih, bahwa hidup yang baik itu menjaga ketertiban, termasuk mengantri kamar mandi.
Khurin In melepas rukuh itu, siap menuju jeding. Meski rukuh lepas, ada persoalan yang masih melekat dan berkelebat-kelebat. Persoalan itu sebenarnya tidak istimewa, hanya seputar hajat manusia.
Khurin In segera mengambil gayung penuh berisi perlengkapan mandi. Ada sabun, pasta dan sikat gigi, shampo, sisir kecil, ada sabun antiseptik bersulfur–katanya sabun ini melindungi kulit dari gudig.
Ketika Khurin In sampai di halaman kamar mandi, seluruh kamar mandi tertutup, kecuali sebuah kamar mandi yang terbuka tidak berpenghuni. Sampai kapanpun tidak akan digunakan, karena WCnya mampet lantas mumbul. Inilah yang membuatnya resah. Sebab, itu adalah PR-nya sebagai sie kebersihan pondok.
WC mumbul sudah terjadi berulang kali, akan tetapi masih mumbul kembali. Entah perumpamaan hewan apa yang lebih buruk dari keledai yang terperosok pada lubang yang sama dua kali, yang bisa menggambarkan tabiat santri-santri putri ini yang tetap saja berulang kali membuat WC mampet dan mumbul. Kamar mandi itu potret kebebalan santri.
Delapan kamar mandi berjajar berbaris mirip ponten terminal. Masing-masing kamar mandi ada pengantrinya. Mereka berdiri tepat di bibir kamar mandi, sembari merumpi. Cukup di luar kamar mandi saja mereka berbicara. Sebab, tidak beradab jika mereka bersuara di dalamnya. Kamar mandi menghadap ke barat, sedangkan beberapa WC dihadapkan selatan, agar ketika istinja’ tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Ada beberapa peringatan agar santri menjaga kebersihan kamar mandi, termasuk larangan membuang (maaf!) pembalut wanita di lubang WC. Sebab, isi pembalut yang dibuang ke lubang WC itulah biang keladi WC mumbul. Peringatan itu sudah dipasang besar-besar dan ditempel di muka dinding paling lebar, seolah-olah mengancam santri-santri yang ingkar. Harusnya santri-santri tidak ingkar, karena imbalan para pengingkar adalah an-Naar. Selain itu, ada larangan keras tidak buang sampah di sembarang tempat. Sudah sering diingatkan bahwa kebersihan adalah cermin keimanan. Tapi, begitulah adanya, masih ada plastik tergolek molek. Ada juga kertas tercecer mecer.
Khurin In meletakkan gayungnya di belakang Santi. “San, aku setelah kamu ya!” ucapnya sebagai penanda ia mengantri. Itulah caranya antri, cukup bilang pada pengantri yang terdepan. Selanjutnya ia bisa pergi beraktivitas yang lain. Entah tiduran di kamar, baca buku kegemaran atau merendam pakaian seperti yang dilakukan Khurin In. Jika tiba waktunya nanti, maka pengantri terdepan yang dipesan akan memanggilnya, seusai ia mandi.
Santi siap masuk kamar mandi ketika Rohmah keluar. Ini isyarat bagus buat Khurin In, sebab usai Santi mandi, tentu sampailah gilirannya. Penantian yang berakhir selalu menjanjikan kebahagiaan. Itu tidak bisa dipungkiri dan terlihat dari wajah sumringah Khurin In.
Santri-santri usai mandi pagi itu terlihat segar. Hal ihwal mengapa mereka segar? Karena kamar mandi bersih setelah ro’an akbar hari jumat. Ro’an meliputi menguras kamar mandi, buang sampah bersama dan menggosok pelataran yang berlumut. Meski, masih tertinggal persoalan, yakni kamar mandi ber-WC yang masih mampet tersebut.
Nisa tiba-tiba datang mengantri, “Mbak Khur, aku antri ya?”
Khurin In mengangguk. Nisa lantas merendam baju juga. Ia bolos tidak sekolah hari ini. Katanya, hari ini ada pelajaran kimia. “Enakkan belajar tajwid dari pada kimia. Males aku, Bu Sekha judes amat,” ungkap gadis Betawi menggambarkan perangai guru kimia itu.
“Ah! Kamu mah males mikir,” tanggapan Khurin In datar.
Sembari menunggu antrian, Nisa mencuci dua potong baju miliknya. Setelah dikucek dengan sabun lantas dibilas sampai 3 kali. Bagian akhir, satu persatu pakaian tersebut dikucuri air mengalir dan diperas sampai airnya amblas. Maka pakaian pun siap dijemur.
Setelah itu, Nisa siap mengantri.
Mengantri itu berkisah tentang kesabaran. Seperti kesabaran Ibrahim menanti putra, juga kesabaran Siti Hajar meniti padang sahara. Pun kesabaran Khurin In yang berkali-kali berpaling-pandang ke kamar mandi antriannya. Tidak lagi terdengar gemericik air atau gebyuran guyuran mandi. Itu artinya Santi sudah berganti baju dan segera keluar. Dan tak lama kemudian, “Mbak Khur, mandi!” teriak Santi dan segera berlalu. Khurin In mencampakkan cuciannya seketika, menyahut handuk di jemuran penuh semangat, dan bergegas masuk jeding. “Mbak Hur! Mbak Hur….” Syamila memanggil setengah tersengal, dia abdi ndalem yang biasanya memasak sayur.
“Ada apa, Mil?”
“Ditimbali Ibu Nyai,” ucapnya segera.
Waduh! Khurin In urung menyelot pintu kamar mandi. Urung dia mandi, nanti harus mengantri lagi. Ketika Khurun In melangkah keluar, Nisa bersorak gembira. Pucuk dicita ulam tiba, “Mbak, aku nyelat yaaa…” teriak Nisa, yang segera saja masuk sebelum Khurin In mengiyakan. Nyelat itu seperti me-nundun atau menggeser-paksa antrian. Biasanya, yang lebih sering nyelat adalah mereka yang buang hajat. Nyelat lebih mirip hak istimewa mendapat giliran tanpa antrian. Biasanya karena sudah tidak kuat untuk buang hajat. Sebagaimana kematian yang tidak bisa diprotes waktu datangnya, pun buang hajat tidak bisa ditolak kehadirannya. Maka, saat itulah santri tidak bisa menolak ketika ada yang nyelat demi buang hajat.
Khurin masuk ke Dalem (Rumah Kiai dan Bu Nyai) itu. Sebelumnya ia membetulkan sarungnya yang tidak rapi, lebih dari itu ia menata hati. Bu nyai tidak segera keluar, entah apa yang masih Bu Nyai lakukan di dalam kamar, Khurin In masih menanti di ruang tengah. Khurin In melihat jam di tangan. Sudah jam setengah delapan. Ruang tengah Dalem itu tidak ada kursinya, hanya gelaran karpet. Di sampingnya berdiri gagah almari deretan kitab kuning. Ada foto-foto masyayikh. Selebihnya sebuah tirai, ibarat sebuat sekat antara ruang keluarga dan balai
“Khuuuur,” Ibu Nyai membukan obrolan, “Itu masalah WC mampet piye? Apa sudah normal?”
“Belum, Bu. Nampaknya masih belum bisa. Makanya kamar mandi tersebut tidak dipakai,” jelas Khurin In.
“Itu…kamu bilang ke anak-anak agar tidak sembarangan membuang ke WC. Akibatnya ya begitu. Kalau buang kan sudah ada tempat khusus. Masak sudah disiapkan, masiiiih saja buangnya sembarangan.”
“Nggeh, anak-anak sudah diberitahu, Bu. Tapi masih ndableg. Tapi mangke saya perbesar peringatannya di kamar mandi, biar anak-anak tidak mengulangi lagi.”
“Yowes, segera diatasi! Kalau besok masih belum beres, ya kata Abah harus dipanggilkan penyedot septic tank,” pungkas Ibu Nyai.
Khurin In keluar. Geram menggendam-gendam. Teguran Ibu Nyai membuatnya merasa tidak mengemban tugasnya dengan baik. Ada kejengkelan kepada santri-santri yang kurang peduli pada kebersihan. Pikirnya, bukankah sudah banyak diajarkan tentang kebersihan. Tidak sedikit ancaman bagi yang luput dan abai terhadap kebersihan. Apa masih kurang, jika ancamannya adalah abadi di neraka. Sebaliknya, label keimanan diberikan pada mereka yang menjaga kebersihan. Dalam kelas diniyah banyak disebutkan, bahwa kebersihan kembali pada diri sendiri. Kebersihan menjadi kunci. Hati yang bersih cerminan pribadi yang baik. Pesan menjaga kebersihan juga bersanding dengan pesan kepedulian terhadap sesama, ingatkah pesan Nabi tentang larangan istinjak di tempat yang biasa digunakan orang lain berteduh, terlarang di air yang tidak mengalir, terlarang di bawah pohon yang berbuah yang tentu saja akan sangat menggangu yang lain.
Khurin In kembali ke kamar mandi. Kamar mandi itu masih dipakai Nisa. Nahas jika mengantri usai Nisa. Sebab, gadis Betawi itu terkenal lama mandinya. Peralatan mandinya saja lengkap, mulai dari lulur mandi, pemutih kulit dan lain sebagainya. Jam di tangan sudah bergeser delapan kurang seperempat. Rasanya menunggu lama. Oh! Inikah elegi pagi ngantri di kamar mandi pesantren.
Khurin In berdiri bersandar pada bibir pintu, pandangannya mengarah pada kamar mandi yang terbuka yang WCnya mampet sampai mumbul.
Jangan anggap remeh kamar mandi! Kamar mandi bak sebuah bilik metamorfosis manusia. Ini adalah peristiwa sejarah. Mengantri di bilik ini ibarat menapaki padang mahsyar. Karena di padang ini kau menuju penyucian diri. Bilik ini juga tempat metamorfosis manusia, dari masa di mana mereka bergelut dengan kemanusiannnya, lantas usai masuk bilik menjadi bersih lebih-lebih suci.
Kamar mandi memang tempat paling kotor, tapi menjaga kebesihannya adalah kewajiban. Sebab, jin dan sebangsanya suka tinggal dan bersarang di sana. Kalau mereka sudah tinggal, maka akan kesusahan mengusirnya. Konon, cerita seorang ahli falak membuat trik menjerat bangsa ifrit itu. Dibangunkanlah 3 kamar mandi, akan tetapi hanya dua yang boleh tegak berdiri, sisanya harus dirobohkan. Dalam waktu tertentu secara tertib dan berkala, kamar mandi yang dirobohkan harus dibangun kembali dan dirobohkan satu yang lain dengan urutan berputar. Nah, pembangunan kamar mandi secara bergilir itu ibarat tali putaran yang bisa menjerat jin-jin usil penunggu kamar mandi. Benar adanya? Wallahu A’lam. Yang jelas, jin yang bersarang tidak akan tinggal diam, dia akan membisik-bisikkan di telinga tentang banyak dusta. Karena itu, sebelum mereka suka dan teramat suka di bilik mandi itu, sebaiknya dijaga kebersihannya.
Itulah yang mengganggu pikiran Khurin In.
Kamar mandi ber-WC mampet itu melompong bahkan sepi penghuni, hingga seorang santri keluar dari kamar mandi di sampingnya. Ide terkirim cepat. Khurin In tersadar lantas berniat mandi di kamar mandi tersebut, sebab Nisa tidak juga keluar.
“Tidak ada yang antri, Dek?”
“Tidak ada, mbak.”
Khurin In segera masuk ke kamar mandi tersebut.
Tiba-tiba perut Khurin In mules, dan ingin buang hajat. Karenanya ia buang hajat. Ketika disiram tidak lama, lamat-lamat menguap bau tidak sedap. Ada suara gemelutuk air, hingga kemudian Khurin In menyadari suara itu berasal dari lubang WC. Khurin In kebingungan, apa yang harus dilakukan. Sebab, sesiwur air yang disiramkan ke lubang, Wc itu malah membalasnya lebih banyak. Meluap-luap. Dan seperti prediksi Khurin In, isi WC itu pun meluber sedemikian rupaa….!!
“Aaaaaaaaaaa……………….”
***
Yakinlah, setiap musibah bersisa hikmah. Seluruh kamar mandi kini berfungsi dengan baik, menjadi bilik-bilik pembersihan diri. WC mumbul tinggal cerita lalu. Menjadi ibrah-ibrah yang dipaparkan sang guru. Tiada lagi santri bandel yang sembarangan membuang (maaf!) pembalut di lubang WC itu. Pembuangan itu lancar. Pun, santri-santri tertib berbuang sampah pada tempatnya. Selain karena mereka tidak punya nyali dan keikhlasan layaknya Sang Kiai Hasyim Asy’ari yang bersedia mengubek-ngubek WC demi mencari cincin garwo Sang Guru Syaikhona Khalil Bangkalan Madura, juga karena terlalu ngeri bagi santri untuk mendapat imbalan jika membuang pembalut sembarangan.
Sejak peristiwa Wc Mumbul yang dialami Khurin In itu, sebuah peringatan yang ditulis besar-besar dipampang di dinding kamar mandi. Peringatan itu berbunyi ‘Barang siapa buang “sampah” sembarangan di lubang WC, akan dikeluarkan seluruh isi WC untuknya’ dan ancaman itu lebih mengerikan daripada dicelupkan di neraka (An-Naar) yang tak terjangkau bayangan.
Jombang, 01 Dzulqo’dah 1437 H
*Sastrawan dan Cerpenis muda Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng dan Penyiar Senior di Radio Suara Tebuireng