Dalam satu riwayat hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، ‌وَتَفْتَرِقُ ‌أُمَّتِي ‌عَلَى ‌ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Kaum Yahudi pecah menjadi 71 atau 72 golongan; Kaum Nasrani pecah menjadi 71 atau 72 golongan; sementara umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.”

Hadis di atas telah masyhur di antara umat Islam. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan ahli hadis lain telah meriwayatkannya. Dari segi kualitasnya hadis tersebut berstatus hasan, bahkan ada yang mengatakan sahih karena banyak perawinya.

Dalam riwayat lain, ada tambahan redaksi dari hadis tersebut, yakni,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً

Semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan.” (HR. Tirmidzi No. 2641).

Setelah Nabi Muhammad bersabda demikian, para sahabat bertanya, “Siapa satu golongan itu wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad pun menjawab satu golongan yang terhindar dari neraka adalah golongan yang berpegang teguh pada ajaran beliau dan para sahabat.

Dari sini jelas, bahwa dari pecahnya umat Islam menjadi 73 golongan itu hanya satu golongan saja yang dijanjikan surga. Lantas, apa yang membuat umat Islam ini menjadi terpecah sampai sebanyak itu?

Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah menyebutkan ada banyak faktor munculnya perpecahan golongan dalam Islam. Dari perpecahan itu lah muncul golongan-golongan dalam bidang akidah. Setidaknya ada dua faktor yang paling berbahaya dan harus kita hindari.

Fanatisme Buta

Faktor pertama ini memiliki pengaruh paling kuat dalam memecah belah umat. Sebanarnya, sebuah fanatisme bila didasari sebuah ilmu akan menghasilkan perbedaan yang berujung rahmat. Beda halnya bila fanatisme berdasar rasa dengki, itu akan memunculkan pergulatan dan perpecahan di antara umat Islam.

Karena itu, kedatangan Islam di tengah fanatisme buta kesukuan bangsa Arab memiliki misi untuk menghapus hal tersebut. Ini terbukti dari banyaknya nas yang menjelaskan bahwa manusia dciptakan berbeda-beda bukan untuk saling menjatuhkan. Salah satunya yang tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا…

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan serta menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal…”

Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa penciptaan manusia yang memiliki suku dan bangsa masing-masing bertujuan agar mereka saling mengenal. Perbedaan itu bukannya untuk menjadikan fanatik buta dengan golongan sendiri.

Sejarah telah mencatat, fanatisme buta kesukuan ini telah melemah saat Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam hingga masa Sayyidina Utsman bin Affan. Namun, setelah itu, fanatisme buta kesukuan ini muncul kembali dengan bungkus baru, yakni fanatisme buta golongan.

Fanatisme buta golongan ini bisa dilihat dari pergolakan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim yang berujung perang Shiffin. Kemudian ada golongan Khawarij yang membelot dari kepemimpinan Sayyidina Ali. perpecahan pun berlanjut sampai muncul banyak golongan dalam bidang Akidah seperti Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan semacamnya.

Perebutan Kekuasaan

Faktor selanjutnya adalah perebutan kekuasaan dalam hal politik. Telah kita ketahui bersama, dahulu kepemimpinan dalam Islam hanya berpusat pada Nabi Muhammad. Segala keputusan yang diambil bergantung pada apa yang disabdakan beliau. Penyebaran Islam pun menjadi cepat berkat persatuan tersbut.

Sayang, setelah beliau wafat perpecahan pun langsung muncul. golongan Anshar dan Muhajirin saling berebut pengaruh untuk menjadi pengganti Nabi Muhammad. Dalam satu riwayat dalam kitab Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah dikisahkan, bahwa golongan Anshar mengunggulkan dirinya sebagai pelindung dan penolong; Sementara golongan Muhajirin menyebut dirinya sebagai pendahulu dalam memeluk Islam.

Dalam Kitab Tarikh Ath-Thabari terdapat kisah senada. Setelah kewafatan Nabi Muhammad golongan Anshar –tanpa konfirmasi golongan Muhajirin— seketika mengadakan rapat untuk menentukan siapa pemimpin mereka. Mereka berargumen, “Dari golongan kami seorang pemimpin, dan dari golongan kalian seorang pemimpin.”

Terlihatlah bibit-bibit perpecahan dari kisah tersebut. Padahal, saat baru berhijrah Nabi Muhammad mempersaudarakan dua gololngan tersebut agar tidak ada perpecahan. Setelah kewafatan beliau malah ada pergerakan untuk memisahkan diri. Untung saja setelah musyawarah panjang di Tsaqifah Bani Sa’idah golongan Anshar dan Muhajirin kembali bersatu di bawah kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar.

Bertahun-tahun setelahnya, pergolakan kembali muncul hingga memunculkan perpecahan golongan. Seperti kisah munculnya pemerintahan dinasti Umayyah yang mengikrarkan diri sebagai pimpinan tertinggi Islam. Padahal, tidak semua pemeluk Islam mengakui kepemimpinan terebut. Sampai pada akhirnya dinasti tersebut runtuh digantikan dinasti Abbasiyah.

Tentu, secara tidak langsung pendirian dinasti itu berasal dari keinginan untuk menjadi yang paling berkuasa dalam Islam. Padahal, menurut Islam kekuasaan itu tidak menjadikan derajat lebih tinggi di sisi Allah. Tidak yang paling utama antara pemimpin satu dengan pemimpin lainnya. Yang membedakan di sisi Allah adalah tingkat takwa seseorang. Hal tersebut telah dijelaskan dalam lanjutan ayat surah Al-Hujurat di atas berikut,

…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dari dua faktor utama munculnya perpecahan dalam Islam di atas, kita tahu bahwa semuanya adalah sifat bawaan manusia. Maka, yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjadinya perpecahan semakin membengkak adalah tidak menuruti sifat bawaan itu.


Ditulis oleh Muhammad Miqdadul Anam, Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang