Dr. H. Mif Rohim menyampaikan materi yang panjang tentang fikih dan perkembangannya di Aula MAN Tambakberas pada Rabu (09/08/2017) siang. (Foto: Masnun)

Tebuireng.online– Dalam rangka pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGPM) Fikih  se-Jawa Timur di Aula MAN Tambakberas pada Rabu (09/08/2017), MGPM  Jombang mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Urgensi Mapel Fikih dalam Pembentukan Karakter Bangsa”. Narasumber yang diundang seharusnya adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid. Namun, karena sudah mempunyai agenda lain, materi diwakilkan kepada Dr. H. Mif Rohim Syarkun, M.A., Wakil Rektor III Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng.

Dalam seminar tersebut, Dr. Miftah menjelaskan tentang sejarah dan mata rantai keilmuan fikih yang berpangkal pada empat madzhab serta ciri-ciri dari masing-masing empat tersebut. Perbincangan ini juga difokuskan pada menanggapi semakin maraknya ideologi khilafah dan ekstrimisme di Indonesia.

Dr. Miftah menjelaskan bahwa setelah Rasulullah wafat, terjadi pergolakan politik di antara para sahabat. Dalam pertemuan di Dar an-Nadwah telah terjadi perselisihan antar kubu yang saling mengangkat jagoannya masing-masing. Namun, lanjut Alumnus Universitas Teknologi Malasysia (UTM) itu, muncul kemudian Umar bin Khattab membawa konsep demokrasi, bukan monarki, sebagai sistem negera. Namun, Umar tidak mau menjadi khalifah, akhirnya Abu Bakar yang diangkat menjadi Khalifah.

Dr. Miftah juga menerangkan, setelah kekhalifahan monarki berakhir, timbullah masa kolonialisme, di mana wilayah Islam dibagi-bagi menjadi banyak negara yang dijajah. “Indonesia dijajah Belanda, Malaysia oleh Inggris, India oleh Inggris, Iran rebutkan oleh Prancis dan Soviet, Mesir Napoleon Bonaparte, Afrika oleh Prancis, habis,” terang beliau.

“Pertanyaannya, setelah khilafah habis, apakah perlu kita mendirikan khilafah lagi?,” kata beliau. Untuk menjawab ini, menurut beliau perlu menggunakan konsep istishlah Imam Abu Hanifah. Beliau juga mengajak hadirin untuk melirik konsep berfikir yang dipakai oleh para ulama Indonesia seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Sansuri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Manhaj Fikr itu besifat akmodatif (Ishlahiyah), moderasi (tawasuthiyah), dan metodologis (manhajiyah). Islahiyah adalah manhaj berpikir dengan melihat pada perkembangan dunia yang kemudian diakomodasikan, yang baik diambil dan yang buruk ditinggalkan. Islahiyah berada di antara ekstrimisme (tatharrufiyah), baik ekstrim ke kanan maupun ke kiri, baik radikalisme maupun liberalisme.

Esktrim ke kanan bisa berakibat pada fatalisme dimana kehidupan hanya diwarnai dengan spiritual saja, sedangkan esktrim ke kiri dapat mengakiatkan sekulerisme yang kering dan tandus. Untuk itu, di depan para guru fikih se-Jatim, Dr. Miftah menawarkan konsep manhaj berfikir dengan  islahiyah, tawasuthiyah, dan manhajiyah untuk dijadikan acuan modul pembelajaran fikih di madrasah-madrasah.


Pewarta:            M. Abror Rosyidin

Editor/Publisher: MAR