Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid saat berdialog degan para peserta Diklat Kader Tebuireng angkatan kedua
Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid saat berdialog degan para peserta Diklat Kader Tebuireng angkatan kedual

tebuireng.online—Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid bersama para peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng angkatan kedua berdialog mengenai “Mengenal Lebih Dekat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari” pada Kamis (13/10/2016) di Aula Gedung Diklat Jombok Ngoro Jombang. Dalam waktu sekitar satu setengah jam pengasuh dan peserta melakukan dialog dengan didampingi Kepala Lembaga Diklat Kader Tebuireng, Ustadz Akhmad Halim, M.Pdi.

Diskusi tersebut mengacu pada makalah yang beliau tulis dan sampaikan dalam seminar tokoh KH. M. Hasyim Asy’ari yang diadakan oleh Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta pada 24 Mei 2016. Dalam makalah tersebut, Gus Sholah panggilan akrab beliau, menjelaskan tentang peran Kiai Hasyim sebagai ulama, pendiri Pesantren Tebuireng, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sebagai pemimpin Islam dan pemimpin bangsa, dan sebagai pendidik.

Hal itu beliau sampaikan secara lengkap dengan tujuan untuk memberitahukan secara utuh dan menyeluruh, tidak sepotong-potong, tentang Hadratussyaikh, terutama tentang kepemimpinan beliau terhadap Bangsa dan Negara. Menurut beliau, banyak orang menyampaikan tentang Hadratussyaikh sepotong-potong, sehingga menimbulkan banyak kesalahpahaman. Misalnya kaitannya dengan Hadratussyaikh sebagai pendiri NU, ada yang mengatakan bahwa ajaran beliau dalam Qanun Asasi dianggap terlalu sederhana dan sudah tidak relevan dengan konteks kekinian.

Bahkan seorang kiai besar mengatakan bahwa Qonun Asasi Hadratussyaikh “memalukan”karena dianggap saking sederhananya. “Saya bilang tidak betul itu,” tegas Gus Sholah di depan peserta. Beliau menjelaskan bahwa tujuan utama Hadratussyaikh menyederhanakan konsep rumusan dasar (AD/ART) NU di dalam Qanun Asasi adalah memudahkan pengikut NU saat itu, yang notabene mayoritas adalah masyarakat awam.

“Bukan berarti Mbah Hasyim tidak memahami itu dengan pemahaman yang dakik-dakik (sangat mendalam),” jelas beliau. Bukti keberhasilan strategi Mbah Hasyim itu, lanjut beliau, adalah banyaknya anggota jama’ah NU di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan menurut survei, 42% umat Islam Indonesia mengaku sebagai bagian dari jama’ah NU. “Itu kan berhasil, berarti rumusan itu berhasil menjawab kebutuhan masyarakat,” kata beliau melanjutkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ajaran Hadratussyaikh yang paling melekat dalam ingatan Gus Sholah ada dua poin. Pertama, “Santri yang baik adalah santri yang ketika meninggalkan pesantren bisa menerapkan dan menjalankan ajaran pesantren dalam kehidupan sehari-hari”. Kedua, “Kalau kamu belajar ilmu agama, janganlah dengan tujuan untuk mencari uang, untuk mencari popularitas, dan mencari kedudukan”. Kedua pesan tersebut, menurut beliau tidak hanya berlaku pada ilmu agama saja, tetapi untuk semua ilmu.  “Apa zaman sekarang masih ada? Itu pertanyaannya. Rasanya nggak ada,” tambah beliau.

Selanjutnya beliau menerangkan tentang pendekatan fatwa yang dilakukan oleh Mbah Hasyim dalam merumuskan Resolusi Jihad. Pendekatan fatwa, menurut beliau, dilatarbelakangi oleh semangat kebangsaan masyarakat, muslim khususnya, masih belum terbentuk secara penuh, karena baru dua bulan merdeka. Untuk itu, Mbah Hasyim dalam butir ketiga, mengiming-imingi para calon pejuang, dengan jaminan syuhada, ketiga gugur dalam peperangan. Bagi mantan Wakil Ketua Komnas HAM tersebut, hal itulah yang mendorong masyarakat berbondong-bondong ke Surabaya.

Beliau juga menanggapi pertanyaan dari salah satu peserta tentang penyebab Resolusi Jihad. Dalam Resolusi Jihad tersebut dinyatakan, semua lelaki dewasa yang berada di dalam radius 90 km dari Surabaya hukumnya fardhu ain turun ke medan peperangan. Fatwa tersebut adalah hasil analogi (qiyas) beliau dengan masyafah (jarak) diperbolehkannya jama’-qashar shalat ketika musafir (perjalanan). Resolusi Jihad terbukti telah membakar semangat masayarakat untuk menyerang sekutu bersama TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Laskar Hizbullah, dan Sabilillah. Sehingga terjadilah peristiwa heroik 10 November 1945.

Selain sebagai perumus Resolusi Jihad, Hadratussyaikh juga menjadi tempat bertanya para tokoh nasional. Tidak jarang beberapa tokoh perjuangan, baik dari kalangan militer maupun diplomat, datang untuk menanyakan pendapat tentang beberapa hal penting. Di antara tokoh-tokoh itu ada Bung Karno, Jendral Soedirman, Bung Tomo, para Kiai, bahkan para tokoh yang secara pemikiran berseberangan dengan beliau. Dalam urusan NU dan Masyumi, Hadratussyaikh adalah tokoh yang selalu menjadi pucuk keputusan. Tanpa persetujuan beliau, maka tak akan dapat dilaksanakan. Semua hal itu, menurut Gus Sholah, menunjukkan bahwa Hadratussyaikh adalah pemimpin Islam sekaligus pemimpin bangsa. (Abror)