Oleh: Dian Bagus*

Dari sekian banyak tokoh kebangkitan Islam di Indonesia, nama Abdul Karim Amrullah termasuk yang paling populer. Kepopuleran tersebut karena dua hal: pertama, karena ia adalah ayah dari seorang pemikir dan juga pembaru Islam yang cukup tersohor, yaitu HAMKA. Kedua, karena pemikiran-pemikiran pembaruannya telah membawa perubahan besar bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia.

Beliau adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Muhammad Rasul). Namun, setelah beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau kemudian dipanggil dengan nama Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Selain berhaji, Haji Rosul pun pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Waktu itu, beliau seangkatan dengan Syekh Muhammad Jambek Setelah menyelesaikan pengembaraan intelektualnya dan kembali ke tanah kelahirannya, Haji Rosul kemudian dipanggil dengan gelar  Syekh Nan Mudo. Gelar tersebut diberikan kepada Haji Rosul sebagai bentuk penghargaan dari masyarakat setempat.[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Haji Rosul lahir di daerah Sungai Batang Maninjau, Minangkabau, pada 10 Februari 1879 dan meninggal di Jakarta pada Sabtu, 21 Jumadil Awal 1364H/ 2 Juni 1945. Ayahnya bernama Muhammad Amrullah, yang bergelar Syekh Nan Tuo. Sedangkan ibunya bernama Andung Tarawas. Dilihat dari gelar ayahnya itu, sudah jelas bahwa Haji Rosul berasal dari keluarga yang religius. Terlebih lagi, ayahnya Syekh Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama besar dan memiliki pengaruh yang besar di Minangkabau, serta pemimpin tarekat Naqsyabandiyah.[2]

Karna berasal dari keluarga yang religius, maka kehidupan Haji Rasul sejak kecil sudah cukup religius pula. Seperti para pembaru lainnya, Haji Rasul memperoleh pendidikan dasar agama Islam  dari  orangtuanya. Haji Rasul termasuk anak yang cerdas, sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat menguasai berbagai pelajaran. Kemudian, setelah berbekal ilmu agama dirasa cukup, Haji Rasul pun melanjutkan pendidikannya. Ia belajar kepada ulama-ulama yang termasyhur ketika itu, seperti Tuanku H.Hud, Tuanku Pakih Samun di Tarusan, dan Tuanku Muhammad Yusuf di sungai Rotan Pariaman.

Setelah belajar kepada para ulama besar di Minangkabau, Haji Rasul kemudian memutuskan pergi ke Makkah. Saat itu usianya sudah menginjak dewasa. Tujuannya ke Makkah ada dua, yakni untuk beribadah Haji dan memperdalam ilmu agama. Maka, berangkatlah Haji Rasul ke Makkah pada tahun 1312 H/ 1894 M. Setibanya di Makkah, Haji Rasul berguru kepada gurunya kepada gurunya para ulama Nusantara yang tinggal di Makkah, yaitu Syekh Muhammad Khatib Minangkabawi. Dengan demikian, Haji Rosul adalah Saudara perguruan dua pembaru yang dibahas sebelumnya, yaitu Syekh Abdullah Ahmad dan Syekh Muhammad Jambek.

Selain berguru kepada Syekh Khatib, Haji Rasul pun berguru kepada ulama besar lainnya di Makkah, yaitu Syekh Muhammad Thahrir Jamaluddin, dan Syekh Usman Serawak. Haji Rasul tinggal di Makkah selama tujuh tahun. Dalam waktu yang tingkat singkat itu. Haji Rasul benar-benar memanfaatkan waktunya dengan baik, beliau belajar ilmu agama dengan sungguh-sungguh dan tekun.[3]

Setelah tujuh tahun berada di Makkah, Haji Rasul pulang ke Minangkabau dan menikah dengan seorang perempuan bernama Raihanah binti Zakaria. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai seorang putri bernama Fatimah. Namun, pada tahun 1904, Haji Rasul kembali lagi ke Makkah untuk waktu dua tahun dan pulang pada tahun 1906. Pada kepulangannya yang kedua itulah, ia baru menyandang gelar Haji Rasul.

Haji Rasul tidak hidup lama bersama Raihanah binti Zakaria. Sebab, ketika ia pergi ke Makkah selama dua tahun dan sempat mengajar pula di sana, ternyata istrinya meninggal dunia. Kemudian, setelah Haji Rasul pulang ke tanah kelahirannya, ia pun menikah untuk kedua kalinya dengan seorang gadis bernama Hindun. Dari istri keduanya ini, Haji Rasul dikaruniai beberapa putra dan beberapa di antara mereka ada yang meninggal dunia. Dan, yang masih tetap hidup adalah putra bungsunya, yaitu Abdul Wahab. Sedangkan istri keduanya pun meninggal dunia pula.

Karena ketika itu putranya masih kecil, Haji Rasul pun memutuskan untuk menikah lagi. Saat itu, gadis beruntung yang menjadi adik dari istri pertamannya (Raihannah). Dengan Syafi’iyah. Haji Rasul memiliki 4 orang anak, yakni Abdul Malik (HAMKA) Abdul Kudus, Asma, dan Abdul Mu’ti. Haji Rasul juga memiliki putra dan istrinya yang bernama Rafi’ah binti Sutan Palembang: Abdul Bari, Dariyah, Salimah, Dalimah, Upik Japang, Saerah, Gadis, Latifah dan Fatimah.

Selepas pulang dari Makkah beliau kemudian diberi gelar Fakih Kisai. Gelar tersebut disematkan kepada karena kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an. Selain itu, Haji Rasul juga seorang Syekh tarekat Naqsyabandiyah, ahli tafsir, fiqh, tasawuf, dan ilmu bahasa Arab. Dengan penguasaan semua ilmu tersebut, sehingga gelar lain diperolehnya yakni Syekh Nan Tuo.

Kepulangan beliau dari Makkah telah membawa angin segar bagi dunia Islam di Minangkabau. Salah satu proyek yang dibawanya adalah pembaruan Islam. Haji Rasul menentang sikap taklid yang berlaku pada masyarakat Minangkabau ketika itu. Namun, ide atau pemikiran pembaruan tersebut mendapat penentangan dari kaum tradisionalis. Sebab, Haji Rasul “menghantam” begitu keras tradisi yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Walaupun menuai protes dari kalangan tradisional, Haji Rasul tetap menjalankan pemikiran pembaruannya. Hingga pada akhirnya, beliau mendirikan sebuah sekolah modern dengan sistem pendidikan modern pula, dengan nama Sekolah Thawalib. Dari sekolah inilah, pembaruan Haji Rasul pun dimulai.

Haji Rasul memiliki banyak murid yang meneruskan dan mengembangkan ajaran serta perjuangannya sebagai pembaruan Islam. Para muridnya antara lain adalah Abdul Hamid Hakim, Zainuddin Labai El-Yunussi, Haji Abbas Datuk Tunaro, H.Yusuf Amrullah, A.R.Sutan Mansyur, Haji Jalaluddin Thalib, Haji Mukhtar Luthfi, Hasim El Husni Adam Balai-Balai, Rahmah El Yunusiyah, Rasunah Said, dan HAMKA (Putranya sendiri).

Dalam perjuangannya melakukan pembaruan di Minangkabau itu, Haji Rasul ternyata tidak sendirian. Ia didampingi dan didukung oleh beberapa pembaruan lainnya, yang juga merupakan sahabat-sahabatnya. Mereka adalah Haji Abdul Ahmad, Syekh Jamil Jambek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Daud Rasyid, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Mustofa, Haji Abdul Latif, dan lain-lain. Ulama-ulama tersebut tergabung dalam golongan Kaum Muda yang dengan gigih berjuang melakukan pembaruan di Minangkabau. Golongan lain yang menjadi lawan mereka adalah Kaum Tua. Para ulama yang tergabung di dalam Kaum Tua ini adalah penentang keras ajaran pembaruan Haji Rasul dan kawan-kawan. Adapun, golongan Kaum Tua ini terdiri atas Syekh Saad Mungka, Syekh Khatib, Sulaiman ar-Rasuli, Syekh M.Zain Simabur, dan Syekh H.Jamil Joho.[4]

Sebagai pembaru Islam, ide-ide beliau meliputi semua bidang. Yang terutama adalah pendidikan, meliputi kurikulum, sistem dan metode pembelajaran, organisasi murid dan pedoman bagi pendidik. Dan beliau juga produktif dalam menulis beberapa pemikirannya dituangkan dalam buku dan majalah Al-Imam. Kabarnya, Haji Rasul menulis dan menerbitkan karyanya sebanyak 27 judul. Diantarannya : Amdatul Anam Fi Ilmi kalam (buku ini merupakan karya pertama beliau yang terbit tahun 1908) dengan membahas tentang 20 sifat Allah swt, Qathhi’u Riqabil Mulhidin tahun 1910 (tarekat Naqsyabandiyah), Syamsul Hidayat tahun 1912 (Syair-syair nasihat dan tasawuf), Sullamul Ushul tahun 1914 (masalah ushul Fiqh) dll…

[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indoensia 1900-1942 (Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia, hlm.45.

[2] Ramayulis, Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia (Ciputat:Quantum Teaching, 2005), hlm.233.

[3] M.Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm.271.

[4] Yunan Yusuf,dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.22-25.