Oleh: Devi Yuliana*

Tanah Bugis dan Makassar dulunya adalah daerah yang masih mempercayai kepercayaan Hindu-Budha hingga datanglah tiga muballigh dari Sumatera Barat yang bertugas untuk menyebarkan Agama Islam di Sulawesi. Perkembangan agama Islam di Sulawesi dimulai sejak Islam datang pada daerah ini, yakni pada abad ke 17 Masehi.

Penyebarannya diawali dengan memperkenalkan agama Islam kepada para pemimpin kerajaan, baru ketika para raja tersebut masuk Islam dan agama Islam menjadi agama negara, para rakyat di bawah kerajaan tersebut akan masuk Islam atau disebut penyebaran top down (dari para pemimpin berangsur kepada rakyat).

Datu Tellue ialah sebutan bagi 3 muballigh yang berasal dari Tanah Minangkabau tersebut. Mereka ialah Abdul Kadir Datuk Tunggal atau dikenal Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman yang bergelar Datuk Pattimang, dan Khatib Bungsu yang bergelar Datuk ri Tiro. Mereka berbagi tugas wilayah dalam menyebarkan Islam di tanah Sulawesi ini. Datuk ri Bandang bertugas di kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Pattimang bertugas di Kerajaan Luwu, dan Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba.

Mereka bertiga juga dikenal sebagai tokoh sufistik dari daerahnya, sehingga pengajaran Islam di tanah Bugis-Makassar tidak serta merta merubah adat dan budaya lama. Melainkan melalui bagaimana adat dan budaya lama tersebut dapat diislamkan secara kultural. Seperti misalnya pada acara Mabbarzanji. Sebelum datangnya Islam, acara ini biasa diisi dengan pembacaan La Galigo. Namun setelah Islam datangpun acara ini tetap ada. Namun yang membedakan ialah isi bacaan yang dirubah menjadi sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Hal ini membuktikan bahwa para ulama tidak berusaha menolak ataupun menghilangkan budaya asli, justru mengislamkannya dengan merubah isi bacaan dalam kegiatan tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Abu Hamid seorang Antropolog dari Universitas Hasanuddin, mengungkapkan bahwa, ada tiga pola pendekatan keislaman yang dilakukan oleh ulama selama proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Pertama, penekanan pada aspek syariat dilakukan untuk masyarakat yang kuat berjudi dan minum ballo’ (arak), mencuri, atau perbuatan terlarang lainnya. Pendekatan seperti ini dilakukan oleh Datuk Ri Bandang di daerah Gowa.

Kedua, pendekatan yang dilakukan pada masyarakat yang secara teguh berpegangan pada kepercayaan Dewata Sewwae’ dengan mitologi La Galigonya, ialah dengan menekankan pada aspek aqidah (tauhid) mengesakan Tuhan yang Maha Esa.

Ketiga, penekanan pada aspek tasawuf dilakukan bagi masyarakat yang kuat berpegang pada kebatinan dan ilmu sihir (black magic). Usaha seperti ini ditempuh oleh Datuk Ri ri Tiro di daerah Bulukumba.

Namun sepeninggal tiga ulama besar ini, keberadaan ulama di tanah Bugis belum diketahu informasinya. Sampai muncullah sosok ulama besar pada tahun1600-an. Ia adalah Syekh Yusuf al-Mangkasari Tajul Khalwati. Begitupula sepeninggal Syekh Yusuf juga belum ditemukan informasi mengenai sosok ulama besar dari daerah ini yang berhasil membawa pengaruh besar dalam islamisasi di tanah Bugis ini.

Barulah pada awal abad ke 20, bermunculan pusat kajian Islam di pedalaman Sulawesi Selatan yang melahirkan banyak ulama besar setelahnya. Tersebutlah Kiai Haji Muhammad As’ad yang merupakan dalang dibalik lahirnya pusat kajian tersebut. Ia akhirnya melahirkan sebuah sistem pendidikan yang bernama Pesantren As’adiyah yang terletak di daerah Sengkang Wajo. Dari lembaga inilah banyak lahir ualam-ulama besar tanah Bugis, seperti Kiai Haji Abdurrahman Ambo Dalle, Kiai Haji Muhammad Daud Sulaiman, dan lain-lain.


Disarikan dari Jurnal “Islamisasi di Sulawesi Selatan dalam Perspektif Sejarah” oleh Anzar Abdullah, Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI), Makassar


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari