sumber ilustrasi: artikula.id

Oleh: Al Fahrizal*

Bagi yang pernah nonton film ‘Sang Kiai’ garapan Rako Prijanto, terdapat salah satu scene di mana ada orang tua yang hendak memondokkan anaknya ke Tebuireng. Orang tua tersebut mengaku bahwa ia tidak memiliki uang dan hasil bumi untuk biaya masuk pondok. Lantas salah satu pengurus yang ditugaskan menerima santri baru menolak untuk menerima putra orang tua tersebut. 

Saat itu, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai pengasuh dan pendiri Pesantren Tebuireng menegur pengurus tersebut dan tetap menerima putra orang tua itu untuk menjadi santri Tebuireng. 

Sebuah scene sederhana yang menggambarkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan terbuka. Pesantren menjadi mercusuar pendidikan yang tidak memandang kelas ekonomi, karena semua orang memiliki hak untuk belajar. Saat sekolah-sekolah kala itu hanya dapat dijangkau oleh kalangan elit, pesantren menampung masyarakat yang memiliki kemauan belajar namun tidak memiliki cukup biaya. 

Pesantren merupakan lembaga pendidikan pilihan orang tua yang ingin  putra-putrinya belajar ilmu agama, penguatan karakter, dan kemandirian. Berbeda dengan sekolah umum, di mana para siswa hanya berfokus pada pendidikan umum saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seiring berjalannya waktu, banyak pesantren yang kini tidak hanya berfokus pada penguatan materi keagamaan saja, namun juga dibekali dengan muatan materi umum. Tidak hanya kurikulum pesantren yang berkembang, fasilitas, aktivitas, dan reputasi pesantren juga turut berkembang. Pesantren kemudian menjadi role model pendidikan maju yang tidak hanya mencetak generasi yang berilmu, namun juga mendidik generasi berakhlak. 

Dalam perkembangannya pesantren juga mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern lainnya. Belakangan muncul pesantren-pesantren yang hadir dengan model pendidikan yang lebih segar, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Banyak kemudian dibangun sekolah-sekolah formal di pesantren untuk menjawab kebutuhan zaman tersebut. Sehingga pesantren menjadi tujuan orang tua dalam menyekolahkan anaknya, dengan pertimbangan, mondok dan juga mendapat ijazah yang diakui negara. Namun ironinya, pesantren-pesantren dengan konsep modern seperti ini, menyentuh biaya masuk yang kian hari kian meningkat. 

Sebelum lanjut, saya ingin pembaca menyaksikan curhatan emak-emak di desa saya dan barangkali juga dirasa sama oleh orang tua lain. 

“Dulu, mondokin anak ke pesantren atau masukin mereka ke sekolah umum, orang tua lebih milih disekolahkan ke pesantren. Karena biayanya yang terjangkau. Sekarang kebalikannya, mondok di pesantren itu lebih mahal dari pada sekolah umum. Bingungnya kalo anak disekolahin di umum takutnya terpengaruh pergaulan zaman sekarang yang makin rusak parah, tapi masukin anak di pondok biayanya mahal.” 

Melihat realita pesantren sekarang, ada benarnya juga apa yang disampaikan oleh orang tua yang bingung memondokkan anaknya. Memang tidak semua pesantren begitu, namun, kebanyakan pondok pesantren yang hadir dengan konsep pendidikan yang lebih menyesuaikan zamannya, tidak lagi dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat dengan penghasilan dan ekonomi rendah. 

Ini merupakan sebuah fakta yang ironi, bahwa pesantren yang dulu terbuka dan terjangkau untuk semua kalangan, berbanding terbalik bahwa pesantren terjangkau untuk kalangan masyarakat menengah ke atas. Bukan tanpa alasan fenomena ini terjadi, namun zaman yang semakin maju menuntut agar pesantren untuk terus berkembang, terutama dari segi fasilitas. Pesantren dengan ciri tersebut berlomba membangun fasilitas yang luar biasa dengan dilatar belakangi, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi santrinya. 

Fasilitas dalam pembelajaran memang menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Namun fasilitas bukanlah penunjang utama berhasilnya proses pendidikan. Fasilitas hanya sebatas penunjang proses pembelajaran, bukan sebab utama keberhasilan pendidikan.

Dr. Evanirosa dalam bukunya Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam menuliskan, ada 5 faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan agama. Faktor-faktor pendidikan itu ada lima macam, dimana faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Kelima faktor tersebut adalah: a. Faktor tujuan, b. Faktor pendidik, c. Faktor anak didik, d. Faktor alat, dan e. Faktor lingkungan. 

Dalam buku tersebut, Evanirosa menggunakan istilah faktor alat dalam menyebutkan fasilitas, dan fasilitas itu berada di urutan ke-4, setelah tujuan, guru, dan santri. Tujuan menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan agama. 

Pesantren yang secara kultur sudah memiliki tujuan yang jelas, yaitu menjadi wahana belajar atau ngaji pelbagai ilmu pengetahuan, terkhusus ilmu agama, serta mempersiapkan santrinya untuk terus memperjuangkan dan mengamalkan kalimat Allah Swt di berbagai lini kehidupan. Sehingga pesantren dengan tujuan prestiusnya itu haruslah menjadi pedoman dalam menjalankan role pendidikan.

Fasilitas merupakan hal penting yang perlu juga diperhatikan, namun membangun fasilitas tidak harus dengan memberatkan orang tua santri, apalagi hingga terjadi monopoli dan praktik kapitalis lainnya. Sungguh pesantren yang demikian ini telah kehilangan arah dan kabur dari tujuannya utamanya sendiri.

Terakhir, apa yang tertuang dalam tulisan ini mengenai pesantren dan sekulumit simpul renggangnya dengan masyarakat merupakan curahan pemikiran saja. Tidak tertulis di sini solusi jitu dan sebagainya. Semoga tulisan ini dapat terbaca oleh kalangan tokoh pesantren.   

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.