Dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan ghibah atau gosip adalah sesuatu yang sulit dihindarkan ketika berinteraksi sesama manusia. Sepanjang sejarah, kebiasaan menggosip sangat mudah muncul di masyarakat. Banyak orang tertarik membicarakan keburukan orang lain, seolah tidak bercermin kepada keburukan dirinya sendiri. Padahal ketika membicarakan keburukan orang lain, kita sudah termasuk manusia yang merugi dunia dan akhirat.
Disebut merugi, sebab tak ada sama sekali untungnya menyibukan diri membicarakan aib orang lain. Bayangkan, Allah SWT sudah menutup segala kejelekan, keburukan dan aib kita dihadapan manusia. Kita justru bersibuk ria membicarakan sesuatu yang kita pandang buruk dari orang lain. Tak ada kebahagiaan abadi dari budaya bergosip, justru deretan dosa dan ancaman api neraka muncul bagi manusia yang senang menjelekkan orang lain.
Allah SWT menegur keras bagi setiap muslim yang senang berghibah atau gosip. Sebutan yang disematkan tidak main-main, di mana orang sibuk membicarakan keburukan orang lain akan berdosa. Disebut juga orang senang berghibah bagaikan memakan daging saudaranya sendiri. Menjadi pertanyaan mendasar, apakah Anda senang jika diminta memakan daging saudara sendiri? Setelah menegur keras, Allah SWT dalam sebuah kalimat dalam al-Quran meminta kita bertaubat dari kebiasaan bergosip.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hujurat : 12)
Fenomena ghibah (gosip) di masyarakat sebenarnya terjadi cukup lama, dipengaruhi kultur mengisi waktu luang. Ketika terjadi kekosongan waktu, kita sibuk membicarakan kejelekan orang lain baik teman, saudara, dan tetangga. Masuknya internet dan kemunculan media online semakin menambah kerumitan budaya ghibah. Akses terbuka kepada media online seringkali tidak sekedar memproduksi pencarian informasi, melainkan muncul informasi entertainment (hiburan). Para pencari berita sibuk menggunjingkan kejelekan artis atau figur publik tanpa memikirkan bahaya besar yang menantinya.
Kondisi diperburuk adanya media sosial dan berbagai platform teknologi kekinian. Media sosial dalam efek negatifnya menjadi sarana menyebarkan kebencian terhadap seseorang. Kita terjebak menjelekkan orang lain secara langsung, unggahan media sosial dan grup aplikasi percakapan seperti Whatsapp. Begitu mudah mengakses informasi sehingga keburukan orang lain yang kita benci dapat menyebar luas. Apalagi jika menyangkut tokoh publik, berlindung di balik kebebasan berpendapat kita menciptakan permusuhan antar sesama umat manusia.
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Darimi, Rasulullah SAW meminta umat Islam menjauhi ghibah. Membicarakan keburukan orang lain sangat dibenci Allah dan Rasulullah SAW. Sebab menurut Rasulullah SAW jika yang dibicarakan benar, maka orang tersebut menggunjingnya. Jika informasinya salah, maka orang tersebut ikut menebarkan kebohongan dan menjauhi kebenaran. Perilaku ghibah dapat berbentuk menghina orang lain dengan perkataan secara lisan, menjelekkan orang lain dengan tulisan dan merendahkan orang lain dengan menggunakan bahasa tubuh.
Mencegah Ghibah
Meski sulit mencegah dan mengurangi kebiasaan ghibah, sebagai muslim kita dapat mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para ulama salafus salih. Dalam sebuah hadits disebutkan “Barangsiapa dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara dua jenggotnya (kumis dan jenggot, yang dimaksud adalah mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin baginya surga. (HR. Bukhari). Konteks ini, seorang muslim diajarkan berbicara yang baik dan bermanfaat, jika tak mampu melakukannya maka diamlah. Puasa dari bicara keburukan orang lain adalah jaminan kita mendapatkan surga dari Allah.
Diam menjadi kunci terbaik dan efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain yang menjelekkan aib saudaranya. Sumaith bin Ajlan rahimahullah berkata “Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau diam maka engkau akan selamat. Apabila engkau berbicara maka berhati-hatilah, karena perkataan itu boleh jadi akan bermanfaat bagimu atau membahayakanmu” Pilihan diam akan menghindarkan manusia dari jeleknya lidah ketika bicara aib orang lain. Belajarlah dari sekarang untuk berkata kebaikan semata, jika perkataan buruk muncul maka lebih baik kita diam.
Di tengah zaman yang serba digital, akses handphone semakin mudah dan informasi media sosial bagaikan tsunami dalam berkomunikasi. Kita harus tetap menjaga kewarasan diri dan keluarga dari informasi yang beredar. Meski rating penonton acara ghibah di media sangat tinggi, kita perlu berpikir jangka panjang dengan menghindari ghibah. Semakin kita terjebak ghibah, maka siksa neraka, siksa kubur, dosa, mengikis amal kebaikan dan retaknya hubungan sosial menjadi kerugian nyata berghibah. Menjadi penting setiap muslim menjaga anggota tubuhnya khususnya mulut dan kemaluan agar tidak menyeret kita masuk panasnya api neraka kelak.
Sebagai umat terbaik, seorang muslim harus mampu mengisi keluangan waktu dengan pekerjaan yang produktif. Budayakan mengerjakan sesuatu yang positif, meningkatkan nilai tambah dalam kehidupan dan sibuk mengejar ridho Allah. Beribadah, bekerja, bergaul dan aktivitas lainnya jauhkan dari kesibukan ghibah yang merugikan hidup kita dunia dan akhirat. Dimulai dari diri sendiri, dari hal terkecil dan memulai sekarang juga menjadi sarana efektif mencegah perkembangan ghibah agar tidak terus tumbuh di masyarakat.
Baca Juga: Kamu Tipe Orang Suka Ghibah? Ini 8 Tips Melawannya
Ditulis oleh Inggar Saputra, Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.