Oleh: KH. Ahmad Roziqi, Lc., M.H.I.*

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah

Kita hidup di dunia ini sudah dibekali oleh Allah SWT dengan seperangkat nikmat-nikmat yang luar biasa. Kalau menurut Al-Quran, kita sudah diberikan oleh Allah ini sudah cukup banyak, hingga nikmat tersebut  tidak mungkin dapat dihitung sama sekali, wa in ta’uddu nikmatallahi la tuhshuha (ketika kalian menghitung nikmat Allah, maka tidak akan bisa menghitungnya). Tapi kemudian nikmat-nikmat ini tidaklah dalam satu level yang sama. Abul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Qimatuzzaman indal Ulama’ mengatakan, bahwasanya nikmat-nikmat itu terbagi menjadi nikmatul ushul wal furu’ (pokok dan cabang).

Di antara nikmat pokok itu adalah al-zaman (waktu). Dan Allah SWT dalam banyak ayat memang menggunakan zaman, waktu, masa dalam sumpah-Nya. Sebut saja surat Al-‘Asr, wal ‘asr (demi masa). Dan sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah ini tentu bukan hal yang biasa-biasa saja, pasti merupakan hal yang luar biasa. Belum lagi kalau kita lihat sumpahnya di ayat selanjutnya, innal insana lafi khusrin (sungguh manusia berada dalam kerugian).

Terlepas dari itu kita ingin menekankan bahsawannya masa/waktu merupakan nikmat yang luar biasa. Karena merupakan nikmat yang pokok. Lebih shorih (jelas) lagi ketika kita melihat hadis Nabi:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

Hadraturrasul mengatakan bahwa dua nikmat ini banyak disia-siakan oleh manusia, sehingga mafhum mukhalafah (penetapan kebalikan hukum) hanya sedikit manusia yang tidak menyia-nyiakan dua nikmat ini. Layaknya kita semua yang hadir di majelis shalat Jumat ini, kita semua termasuk orang-orang yang sehat. Kalau sakit kita tidak mungkin berada di sini. Maka para santri dan hadirin Jamaah Jumat semua dari kita mendapat dua nikmat (kesehatan dan waktu).

Lalu bagaimana ketika hadis Nabi tersebut ditarik kepada waktu belajar kita? Sudah selayaknya kita melihat bagaimana para ulama’, orang-orang besar, hebat itu menghargai sebuah waktu dan kesempatan yang mereka punya. Abul Fattah Abul Ghuddah dalam kitab yang sama menggambarkan sosok Imam Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim (santri Abu Hanifah). Beliau adalah sosok santri yang aktif menyebarkan keilmuan dari gurunya. Bahkan ketika beliau menghadapi sakaratul maut—saat itu dijenguk oleh muridnya , Ibrahim—masih membicarakan soal keilmuan. Dikatakan dalam kitab tersebut, ya ibrahim, ma taquluna fil mas’alah? (wahai Ibrahim, bagaimana pendapatmu soal masalah ini?), tanya Abu Yusuf kepada muridnya. Dijawab oleh muridnya, fi mitsli hadihil hal? (wahai guruku, Anda sakit kok bicara soal begini? Dijawab oleh gurunya, la ba’sa bidzalik, la’allahu nadrusu la’allahu yanju bihi najin (kita ini akan terus belajar, dan mudah-mudahan dengan barokahnya belajar ini kita semua selamat).

Bisa dibayangkan meskipun saat-saat beliau sakit, ia masih membahas ilmu. Inilah tauladan yang baik yang harus kita bawa dalam kehidupan sehari-hari ini. Karena kita masih punya banyak kesempatan dan waktu. Maka bagi kita harusnya mampu mengelola waktu tersebut dengan baik, terlebih dalam hal tahsilul ilmi (menggali keilmuan).

Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim membuat rancangan mengenai waktu-waktu belajar seorang santri. Mulai dari kapan kita harus menghafal, kapan kita harus muthola’ah, kapan kita harus berdiskusi. Kalau dilihat para ulama mengisi waktu mereka dengan menggali keilmuan. Oleh sebab itu kita sebagai santri juga seharusnya turut meniru sikap para ulama’ dalam menghargai waktunya.

Boleh kita bergurau, ke kantin, ke tempat lain, tapi cukup dengan waktu singkat tanpa berlama-lama. Jangan sampai kita termasuk orang yang tidak mampu memanfaatkan waktu dengan baik.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ,

وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ,

وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


*Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari


Pentranksip: Yuniar Indra Yahya