Nina selalu merasa tidak percaya diri dengan penampilannya. Di sekolah, teman-teman sekelasnya sering membicarakan standar kecantikan; wajah yang mulus, kulit cerah, rambut lurus, tubuh langsing—semua hal yang Nina merasa tidak dia miliki. Meski demikian, Nina bukan anak yang lemah. Di dalam dirinya, ada semangat besar untuk berubah, untuk menjadi lebih cantik. Tapi, setiap kali dia bercermin, yang dia lihat hanyalah kekurangannya.
Suatu hari, ketika pulang sekolah, Nina duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandang wajahnya dengan sorot mata penuh keraguan. “Bagaimana caranya aku bisa cantik?” gumamnya, menghela napas panjang.
Dia sering melihat tutorial makeup di internet, membandingkan dirinya dengan para influencer yang sempurna di media sosial. Mereka selalu terlihat cantik dengan make-up yang sempurna dan kulit yang bersinar. Nina mencoba beberapa produk kecantikan, tetapi hasilnya tidak pernah sesuai harapan. Alih-alih merasa lebih baik, Nina malah merasa semakin terpuruk.
Namun, suatu sore, ibunya masuk ke kamar Nina dan melihat putrinya termenung di depan cermin. “Kenapa kamu terlihat begitu sedih, Nak?” tanya ibunya lembut.
Nina menarik napas dan berbisik, “Bu, kenapa aku tidak bisa secantik mereka? Aku sudah mencoba berbagai cara, tapi aku tetap tidak merasa cantik.”
Ibunya tersenyum, lalu duduk di samping Nina. “Kamu tahu, Nina, kecantikan itu bukan hanya tentang apa yang orang lain lihat di luar. Banyak orang yang terlihat cantik di luar, tetapi hatinya mungkin kosong. Kecantikan sejati datang dari dalam diri kita.”
Nina menatap ibunya, sedikit bingung. “Maksud ibu?”
Ibunya memandang Nina dengan lembut. “Kecantikan itu dimulai dari bagaimana kamu melihat dirimu sendiri, dari bagaimana kamu merawat dirimu bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional. Kamu cantik, Nina, ketika kamu percaya bahwa dirimu berharga. Ketika kamu tersenyum, ketika kamu bersikap baik pada orang lain, dan ketika kamu percaya diri, saat itulah kecantikanmu bersinar.”
Nina terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Sesuatu di dalam hatinya mulai terasa berbeda. Mungkin kecantikan bukan sekadar soal makeup atau penampilan fisik, tapi soal bagaimana dia memandang dirinya sendiri.
Esok harinya, Nina memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Dia mulai menjalani rutinitas perawatan diri, bukan lagi dengan tujuan untuk mengikuti standar kecantikan orang lain, tetapi untuk membuat dirinya merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Setiap pagi, dia meluangkan waktu untuk merawat kulitnya dengan lembut, bukan untuk menutupi kekurangannya, tetapi untuk menghargai tubuh yang dia miliki.
Selain itu, Nina juga mulai melakukan hal-hal yang membuatnya merasa baik. Dia kembali melukis—hobi yang dulu dia tinggalkan karena merasa tidak punya waktu. Dia mulai berjalan-jalan di taman setelah pulang sekolah, menikmati udara segar, dan tersenyum kepada orang-orang yang dia temui di jalan.
Perlahan tapi pasti, Nina mulai merasa berbeda. Setiap kali dia bercermin, dia tidak lagi melihat kekurangan, tetapi seorang gadis yang sedang tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Senyumnya lebih tulus, dan sorot matanya lebih cerah. Orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan perubahan pada Nina.
“Hei, Nina, kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Kamu kelihatan lebih bahagia,” kata seorang temannya suatu hari di sekolah.
Nina tersenyum mendengar pujian itu. Bukan karena dia merasa telah memenuhi standar kecantikan orang lain, tetapi karena dia merasa cantik dengan caranya sendiri. Dia tidak lagi terobsesi dengan apa yang orang lain anggap cantik. Dia menemukan bahwa kecantikan sejati adalah perasaan nyaman dan bahagia dengan diri sendiri.
Pada akhirnya, Nina menyadari bahwa menjadi cantik bukanlah tentang berubah menjadi seseorang yang berbeda, melainkan tentang menemukan dan menghargai apa yang sudah ada di dalam dirinya.
Dan di hari itu, untuk pertama kalinya, Nina tersenyum kepada bayangannya di cermin, merasa cantik di mata sendiri.
Penulis: Ayu