Oleh: Hilmi Abedillah*

Para penduduk kota mendengar tekad baik Raja Erbil, Irak yang membuat tiap tahunnya banyak orang berbondong-bondong datang ke Kota Erbil dari negeri sebelah, seperti Baghdad, Mosul, Jazirah, Sinjar, Nasibin, dan kota-kota lainnya. Yang datang ke situ bukan cuma masyarakat awam, melainkan juga para fuqaha, sufi, penasihat, ahli qiroat, dan penyair. (Wafayatul A’yan, V, 117)

Peringatan maulid Nabi yang kita ketahui tidak ada pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. Menurut catatan sejarah, yang memulai mengadakan Maulid Nabi ialah seorang Raja Erbil yang bernama al Mudzaffar Abu Said. Masyarakat berkumpul dari berbagai kalangan untuk membaca Al Quran, membaca sejarah dan kehidupan Rasulullah, melantunkan shalawat dan syai pujian, serta ceramah agama. (I’anatut Thalibin, II, 364)

Perayaan Maulid Nabi baru ada sekitar abad 4 H dan tidak terjadi perbedaan pendapat antarulama sampai pada abad 7. Oleh karena tidak ada pada masa Nabi, banyak yang berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi ini bid’ah. Itu bukan statemen yang salah, dengan berdasar bahwa bid’ah adalah suatu kebaruan yang tidak ada pada zaman Nabi. Namun, bid’ah bukan berarti haram. Karena, selain bid’ah sayyiah (buruk), juga ada bid’ah hasanah (baik).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jika berpijak pada definisi yang mengatakan bahwa ‘bid’ah ialah pembaruan suatu hal dalam agama yang tidak ada dasarnya dalam syara’ atau ibadah tanpa menggunakan cara Nabi’, maka perayaan maulid bukan termasuk bid’ah. Perayaan dengan bentuk demikian yang disebut di atas memang tidak ada, namun bentuk seperti itu hanyalah rangkaian-rangkaian dari beberapa aktivitas syar’iyyah dan tidak melanggar syara’.

Menurut al Hafidz as Suyuthi, “Perayaan Maulid Nabi merupakan bid’ah hasanah yang pelakunya diberi pahala karena mengagungkan Nabi serta menunjukkan kebahagiaan atas lahirnya Rasul yang mulia.” Namun, redaksi yang lebih tepat bukanlah bid’ah hasanah, melainkan sunnah hasanah. Dikarenakan Nabi pernah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa membuat tradisi yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa ada pengurangan dari pahala mereka sedikitpun.”

Di antara bukti kebolehan perayaan Maulid Nabi dalam Al Quran ialah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmat-Nya (Nabi Muhammad saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira. (QS. Yunus: 58)

Menurut Tafsir Ibnu Abdis Salam, orang Quraisy harus gembira dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW dari kalangan mereka. (Ibnu Abdis Salam, II, 361). Ekspresi rasa gembira itu tentunya bisa bermacam-macam bentuknya, asal tidak bertentangan dengan syara’.

Apa yang ditinggalkan (tidak dilakukan) Nabi bukan berarti kita tidak boleh melakukannya. Pada kenyataannya, Nabi tidak melakukan semua hal sunnah dan mubah. Karena itu, anggapan bahwa semua yang ditinggal Nabi hukumnya haram itu tidak benar, kecuali telah ada dalil shahih yang jelas. Justru Nabi Muhammad SAW mengatakan:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, laksanakanlah semampu kalian.” (HR. ath-Thabarani)

Dari sini bisa dilihat bahwa yang diharamkan oleh agama adalah apa yang dilarang oleh Rasul, bukan apa yang ditinggalkan. Nabi tidak mengatakan ‘apa yang yang tidak kulakukan, tinggalkanlah’. Ini berarti hal yang tidak dilakukan Nabi masih pada hukum asalnya, yaitu mubah. Oleh karena itu, Faisal Mulawi berkata, “Perayaan Maulid Nabi boleh secara hukum Islam, walaupun tidak ada dasarnya dengan artian tidak pernah dirayakan oleh sahabat, tabi’in, maupun tabi’it tabi’in dari ahli fikih, yang mana mereka adalah kurun terbaik.”

Perayaan maulid bukan jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah, melainkan tradisi yang dibuat oleh masyarakat kemudian dimasuki unsur-unsur syariat. Tradisi ini mendapat izin oleh syariat dikarenakan di dalamnya tidak mengandung kemungkaran. Tidak ada yang salah dengan membaca Al Quran, dzikir, membaca shalawat, ceramah agama, menceritakan sejarah Nabi Muhammad juga nabi-nabi terdahulu, pujian kepada Nabi juga sudah ada.

Mungkin yang masih kontroversial adalah penggunaan alat musik dalam acara tersebut yang sudah dijelaskan dalam Maulid Nabi ala Hadrastussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. yang merupakan terjemah kitab at Tanbihat al Wajibat liman Yashna’ al Maulid bi al Munkarat kaya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Dalam artikel itu disebutkan, musik yang dimaksud kecuali terbang (rebana) dengan catatan dilakukan dengan kesopanan dan penuh etika.

Hasil Muktamar NU perdana tahun 1926 juga menjelaskan tentang hukum musik. Kesimpulan jawaban dalam Muktamar itu menyebutkan, “Muktamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, trompet jema’ah haji, seruling gembala, seruling permainan anak-anak dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan untuk dipergunakan hiburan”.

Sejatinya, perayaan Maulid Nabi hanya untuk mengingat sejarah fenomenal dari perjalanan hidup Sang Nabi akhir zaman itu. Akhirnya, bila Maulid Nabi dirayakan tanpa adanya maksiat, maka bukan suatu pelanggaran yang dilarang. Perayaan juga tidak menimbulkan efek negatif sejauh ini, dalam i’tikad maupun amal. Sebagai umatnya, tiada salah kita merayakan Maulid Nabi kita. Kita mengharap syafaat beliau di hari kiamat, yang tiada syafaat kecuali syafaatnya.

Kita mendapat ibrah dari kisah-kisah hidup yang penuh suka dan duka. Kisah perjuangan menegakkan agama Islam hingga seantero jagat raya ini. Akhlak beliau yang begitu tinggi yang patut kita teladani dalam segala aspek. Kesantunan yang di zaman kini makin terkikis, semoga dengan membaca narasi kehidupannya bisa kita tingkatkan lagi.

*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari