hukum sikat gigi puasa
hukum sikat gigi puasa

Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Allah SWT memberi banyak keutamaan di dalamnya. Ada satu kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam ketika Ramadhan tiba, yaitu puasa. Puasa adalah menahan diri dari makanan, minuman dan segala hal yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Di antara hikmah diwajibkan puasa adalah merasakan apa yang dialami orang yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan begitu kita akan lebih simpati dan tidak mementingkan diri sendiri.

Orang yang berpuasa memiliki banyak keutamaan, di antaranya, bau mulutnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:

‌لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Bagi Allah bau mulut orang yang berpuasa di hari kiamat lebih wangi daripada wanginya misik

Selain membahas tentang keutamaan orang yang berpuasa, hadits ini juga membahas tentang hukum siwak atau menggosok gigi saat puasa. Ulama berbeda pendapat mengenai masalah tersebut. Qodhi Abu Syuja’ dalam Ghayatul Ikhtishar-nya memberi hukum makruh bersiwak setelah tergelincirnya matahari ke arah barat, sedangkan dalam syarah fathul qarib al-mujib menampilkan pendapat yang dipilih Imam An-Nawawi, yaitu tidak makruh secara mutlak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(والسواك مستحب في كل حال) ولا يكره تنزيها (إلا بعد الزوال للصائم) فرضا أو نفلا؛ وتزول الكراهة بغروب الشمس. واختار النووي عدم الكراهة مطلقا.

“Siwak/menggosok gigi disunnahkan setiap saat, dan tidak dimakruhkan kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa wajib atau sunnah sampai terbenamnya matahari. Imam An-Nawawi memilih pendapat tidak makruh secara mutlak”

Di antara alasan pendapat yang memakruhkan menggosok gigi setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa adalah hadis di atas. Hadis tersebut menjelaskan tentang bau mulut orang yang berpuasa, dan secara tidak langsung memerintahkan untuk mempertahankan bau tersebut, menggosok gigi/siwak dapat menghilangkan kekhasan bau mulut orang yang berpuasa, sehingga dihukumi makruh. Meskipun siwak juga memiliki keutamaan, akan tetapi keutamaannya tidak dapat mengalahkan keutamaan bau mulut orang yang berpuasa.

Mereka juga menyamakan bau mulut orang yang puasa dengan darahnya orang yang mati syahid. Dikatakan bahwa darah syuhada’ wanginya seperti misik dan menjadi saksi di hadapan Allah kelak atas perjuangannya. Oleh karena itu, para syuhada’ tidak boleh dimandikan. Ketika memandikan mayit yang asalnya wajib, boleh ditinggalkan karena pertimbangan di atas, maka apalagi siwak/menggosok gigi yang hukumnya hanya sebatas sunnah.

Sedangkan Imam An-Nawawi beralasan bahwa hadits di atas sama sekali tidak menjelaskan tentang kemakruhan menggosok gigi dan perintah untuk mempertahankan bau mulut orang yang berpuasa, akan tetapi hanya menjelaskan tentang keutamaan bau mulut orang yang berpuasa.

 Imam Hanafi dan Imam Malik menjadikan siwak/menggosok gigi sebagai rukhshah (keringanan) bagi orang yang berpuasa, mereka tidak membeda-bedakan antara setelah tergelincirnya matahari atau tidak, siwak yang basah atau kering, karena mereka berlandaskan pada hadits nabi:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Andaikan tidak memberatkan umatku, maka aku akan mewajibkannya siwak dalam setiap salat”.

Dalam hadits ini nabi tidak membedakan antara bulan Ramadhan dan selainnya, sehingga hukum siwak atau menggosok gigi bagi orang yang berpuasa tidak dihukumi makruh.

Semua pendapat di atas adalah ijtihad ulama yang tentunya tidak melangkahi al-Quran dan hadis. Perbedaan pendapat dalam fikih adalah suatu hal yang wajar, karena fikih adalah ruang untuk berijtihad atau mendayagunakan akal. Pendapat-pendapat di atas boleh dipakai, meskipun di Indonesia kita mengikuti madzhab Syafi’i. Disebutkan bahwa hukumnya boleh mengikuti pendapat madzhab empat, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanbali, dan selainnya dari madzhab-madzhab yang dikembangkan oleh pengikutnya, sebagaimana penjelasan dalam kitab tuhfatul muhtaj bi syarhi minhaj, karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami:

وَحَاصِلُ الْمُعْتَمَدِ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ يَجُوزُ ‌تَقْلِيدُ ‌كُلٍّ ‌مِنْ ‌الْأَئِمَّةِ ‌الْأَرْبَعَةِ وَكَذَا مَنْ عَدَاهُمْ مِمَّنْ حُفِظَ مَذْهَبُهُ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ وَدُوِّنَ حَتَّى عُرِفَتْ شُرُوطُهُ وَسَائِرُ مُعْتَبَرَاتِهِ.

“Kesimpulan dari pendapat muktamad adalah boleh mengikuti imam empat, begitu juga kepada selain mereka yang madzhabnya tetap terjaga dan terdokumentasi sehingga dapat diketahui syarat-syarat dan hal-hal yang menjadi ketentuan dalam madzhabnya”.

Baca Juga: Apakah Sikat Gigi Membatalkan Puasa?


Referensi:

Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarhi Ghayatul Ikhtishar, Muhammad bin Qasim Al-Ghazi

At-Tamhid lima fil Muwattha’ minal Ma’anni wal Masanid, Abu Umar Yusuf Al-Qurthubi

Syarah An-Nawawi alal Muslim, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi

Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami


Ditulis oleh Samsul Arifin, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang.