Manusia adalah makhluk yang lemah, ia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Sakit akan menimpa siapa saja, tidak peduli ia orang cantik atau jelek, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, baik atau buruk, semua sama saja. Penyakit tidak bisa diprediksi kapan datangnya, dan tidak bisa dilarang untuk datang kepada siapa saja, jika sudah waktunya semua akan merasakannya.
Ada seorang ibu muda, sebut saja namanya Tia. Ia sangat bahagia setelah melihat hasil test pack garis dua. Untuk membuktikan keakuratan test pack tersebut, ia segera pergi ke rumah sakit terdekat untuk memeriksakan dirinya. Sebab siklus haidnya tidak menentu, terkadang haid satu kali dalam tiga bulan, dan terkadang lebih dari itu. Sesampainya di rumah sakit, kandungan ibu muda tersebut di USG oleh dokter yang memeriksanya. Namun, hasil USG belum melihatkan bakal calon janin. Dokter menyarankan untuk dideteksi lewat dalam. Sebuah alat yang berfungsi semacam detektor akan dimasukkan lewat vagina untuk memeriksa kandungannya.
Tia ragu karena harus melihatkan auratnya kepada dokter yang berbeda jenis kelamin tersebut. Dokter tersebut meyakinkannya, dengan berkata, “anggap saja saya tidak melihatnya, ini untuk kepentingan medis. Saya tidak akan macam-macam karena saya sudah disumpah untuk menjaga nama baik dan bertindak sesuai dengan kaidah kedoteran, Ibu”. Bagaimana hukumnya menurut kacamata Islam?
Pada dasarnya, melihat aurat antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu dilarang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an;
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . .”[1]
Seorang wanita yang akan berobat hendaknya ia datang kepada dokter wanita terlebih dahulu. Apabila ia sudah mencari dokter wanita dan tidak menemukan barulah ia berobat kepada dokter lain jenis.
Melihatnya dokter ke perempuan bukan mahram dalam kitab Hasyiyah al-Bajury, hukumnya boleh dengan beberapa ketentuan, diantaranya:
فيجوز نظر الطبيب من الاجنبية الى المواضع التي يحتاج اليها في المداوة حتى مداوة الفرج ويكون ذلك بحضور محرم اوزوج اوسيد وأن لاتكون هناك امرأة تعاجلها
Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke perempuan yang bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran mahram, suami, atau sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya.”[2]
Disebutkan dalam hadis bahwasannya pada zaman dahulu ketika peperangan sahabat menolong dan membantu irang yang terluka;
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِينَةِ
Telah bercerita kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah telah bercerita kepada kami Bisyir bin Al Mufadhdhal telah bercerita kepada kami Khalid bin Dzakwan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz berkata: “Kami ikut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam peperangan) dimana kami memberi minum pasukan, mengobati yang terluka dan membawa pulang yang gugur ke Madinah”.[3]
Dalam kitab Fathul Bari Ibnu Hajar menjelaskan kebolehan berobat kepada lawan jenis dalam keadaan darurat baik dalam hal memandang atau menyentuh dengan tangan, alat atau yang lainya, selama hal tersebut berhubungan dengan upaya pengobatan.
Dari penjelasan di atas seharusnya Ibu muda tersebut mencari dokter yang berjenis kelamin sama, bukan dokter yang tempatnya terdekat. Apabila ia tidak menemukannya barulah ia boleh berobat kepada dokter laki-laki dengan syarat ia membawa mahramnya. Dokter laki-laki boleh menyentuh atau melihat dengan catatan selama berhubungan dengan upaya pengobatan.
Penulis: Almara Sukma (Alumnus Mahad Aly Tebuireng)
[1] QS. An-Nur, 30-31
[2] Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99
[3] HR. Imam Bukhori, 2882