sumber gambar: kompas.com

Bulan Dzulqo’dah termasuk salah satu bulan yang mulia, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ فِي حَجَّتِهِ فَقَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثُ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقِعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Telah menceritakan kepada Kami Musaddad, telah menceritakan kepada Kami Isma’il, telah menceritakan kepada Kami Ayyub dari Muhammad dari Abu Bakrah bahwa Nabi berkhotbah pada saat berhaji, dan berkata, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi, satu tahun adalah dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berturut-turut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam dan Rajab Mudhar yang berada di antara Jumadi dan Sya’ban.” (HR.Abu Dawud)

Bulan Dzulqa’dah disebut juga sebagai bulan haji, karena pada bulan ini banyak orang yang melaksanakan perjalanan ke Makkah untuk memenuhi rukun islam yang ke lima, yakni Haji. Selain itu, pada bulan Dzulqa’dah Rasulullah juga melaksanakan ibadah haji yang di sebut dengan haji wada’. Rasulullah tidak lagi melaksanakan ibadah haji setelah haji wada’ karena beliau wafat beberapa bulan setelah melaksanannya. Oleh karena itu haji yang dilaksanakan di bulan Dzulqo’dah tersebut dinamakan haji wada’ (Haji Perpisahan).

Pada bulan Dzulqo’dah Rasulullah dan para sahabat melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji. Perjalanan dimulai dari Madinah menuju ke Makkah, Puncak ibadah haji Rasulullah dan sahabat pada tanggal 9 Dzulhijah tahun 10 hijriyah dan melakukan wukuf di Arafah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketika sedang melaksanakan ibadah haji, seseorang harus mengetahui rukun haji, kewajiban saat beribadah haji, dan Sunnah-sunnah saat melakukan ibadah haji. Dalam kitab Fathul Qorib, karya Syekh Al-‘Allamah Muhammad bin Qasim al-Ghazi disebutkan bahwa Sunnah-sunnah saat menunaikan ibadah haji ada tujuh, yaitu:

Pertama, Melaksanakan haji ifrad

Haji ifrad yaitu mendahulukan ibadah haji daripada umroh, seperti: Mendahulukan ihram, dengan niat beribadah haji dari miqotnya, dan menyeleseikan ihram hajinya tersebut. Kemudian ia keluar dari kota Makkah menuju ke tanah halal terdekat, di tempat ini ia berihram niat umroh dan melaksanakan amalan-amalan yang seharusnya dilakukan ketika umroh.

Kedua, Membaca Talbiyah

Disunnahkan membaca talbiyah ketika masih berada di posisi ihram. Bagi laki-laki disunnahkan mengeraskan suaranya ketika sedang membaca talbiyah. Adapun lafadz talbiyah sebagai berikut:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ،لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika allahumma labbaik, Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk. Laa syariikalak.

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Ketika orang yang ihram tersebut sudah selesei membaca takbiyah hendaknya ia membaca sholawat nabi dan berdo’a memohon kepada Allah agar mendapatkan ridho-Nya,ditempatkan di surga dan terpelihara dari api neraka.

Ketiga, Thawaf Qudum

Thawaf Qudum dikhususkan untuk orang haji yang masuk kota Makkah dan belum mengerjakan wuquf di Arofah. Sedangkan untuk orang yang umroh, apabila ia telah melaksanakan thawaf untuk umroh maka thowaf tersebut telah mencukupi baginya dari thawaf qudum.

Keempat, Bemalam di Muzdalifah

Menganggap bermalam di muzdalifah termasuk sunah-sunahnya haji, merupakan pendapat yang sesuai dengan yang dikatakan oleh Imam Rofi’i. Akan tetapi dalam kitab Raudhoh dan Syarah Nuhadzab ada tambahan keterangan bahwa bermalam di muzdalifah hukumnya wajib.

Kelima, Melaksanakan Sholat Dua Rakaatnya Thawaf

Sholat ini dilaksanakan sehabis dari berthawaf, hendaknya dilaksanakan berada di belakang maqom Nabi Ibrahim as,. Hendaknya orang yang sedang sholat melirihkan bacaannya ketika sholat di siang hari dan mengeraskan bacaannya ketika sholat di malam hari. Apabila tidak memungkinkan untuk sholat dua rokaat di belakang maqom Nabi Ibrahim as, maka boleh di Hijir Ismail, apabila tidak sempat juga maka boleh sholat di masjid, apabila masih tidak sempat maka ia boleh sholat di tempat yang ia kehendaki.

Keenam, Bermalam di Mina

Bermalam di Mina ternasuk Sunnah berdasarkan pendapat yang di anggap shohih untuk Imam ar-Rofi’i. Dalam kitab Raudhoh, imam Nawawi menganggap shohih di dalam keterangan tambahannya, pendapat tentang wajibnya bermalam di mina.

Ketujuh, Thawaf Wada’

Thawaf wada’ atau thiwaf perpisahan yakni thawaf yang dilakukan saat bermaksud hendak keluar dari kota Makkah karena hendak berpergian. Baik berpergiannya termasuk ke dalam rangkaian ibadah haji ataupun untuk keperluan yang lainnya, baik berpergiannya menempuh jarang jauh ataupun jarak dekat. Kesunahan thawaf wada’ merupakan pendapat yang di unggulkan (Qoul Marjuh). Akan tetapi pendapat yang lebih jelas hujjahnya (Qoul Adh-har), menetapkan kewajiban thawaf wada’ tersebut.

Dalam kitab syarah muhadzab disebutkan bahwa bagi laki-laki ketika sedang berihram wajib menggunakan pakaian-pakaian yang tidak ada jahitan, anyaman dan ikatan. Orang yang berihram hendaknya mengenakan kain dan selendang yang berwarna putih dan masih baru. Apabila tidak ada kain baru maka cukuplah ia menggunakan dua kain putih yang bersih dan suci.



Penulis: Almara Sukma (alumnus Mahad Aly Tebuireng)