Nyai Masruroh Hasyim (sumber foto: gusmirza)

Oleh: Dimas Setyawan*

Masa Kanak-kanak

Nyai Masruroh atau kerap disebut Nyai Kapu merupakan sosok perempuan hebat sekaligus isteri terakhir dan pendamping hingga akhir hayat dari KH. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan putri terakhir dari tiga bersaudara, yang terlahir dari pasangan Kiai Hasan Muchyi dengan Nyai Khodijah. Ayah beliau merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Salafiyah Kapurejo. Kiai Muhyi merupakan mantan prajurit Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Mas Ronowijoyo, kemudian hari mendirikan pesantren di daerah Kapurejo Kec. Pagu Kediri (di kemudian hari terkenal dengan Ponpes Salafiyah Kapu).

Sejak kecil Nyai Masruroh hidup berlatar belakang keluarga yang kental dengan ajaran agama Islam. Maka tak heran jika keilmuan agama beliau tidak diragukan. Adapun pendidikan agamanya, beliau peroleh langsung dari ayah dan ibu kandungnya sendiri. Mulai belajar dasar-dasar agama, membaca Al-Qur’an, kitab turast dan lain sebaginya. Beliau terima dengan baik materi yang diajarkan oleh kedua orang tuanya. Berkat kesungguhannya dalam belajar menghantarkan beliau bisa menguasai semua materi. Hingga beliau mampu membantu mengajar santri-santri putri di pesantren keluarganya. Selain unggul dalam penguasaan turast, beliau juga dikenal keluarga dan orang-orang disekitarnya sebagai seorang yang ahli tirakat.

Lika-Liku Kisah Percintaan

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Karena keluhuran akhlak dan kealiamnya dalam penguasaan kitab turast, akhirnya beliau disunting oleh pengarang kitab Siraj At-Thalibin yang menomenal itu, KH. Ihsan Dahlan yang merupakan pengasuh pesantren Jampes Kediri. Namun hanya sampai beberapa waktu. Kemudian mereka furqoh atau bercerai dan tidak memiliki keturunan. selanjutnya, Nyai Masruroh dinikahkan dengan Sayyid Shodaqoh dari Bani Dahlan. Dalam pernikahannya dengan suami kedua beliau dikaruniai seorang putri bernama Nur Jannah, sayangnya tidak bertahan lama. Beliau furqoh dengan Sayyid Shodaqoh. Sedangkan putri beliau Nur Jannah ikut bersama sang ayah, Sayyid Shodaqoh.

Dari Kapu Hingga Tebuireng

Hingga suatu ketika Nyai Masruroh mengalami sakit yang cukup serius. Sehingga Keluarga tidak tega melihat keadaan Nyai Masruroh yang semakin parah, pada akhirnya Kiai Hasan Muchyi membuat sebuah sayembara. Dalam sayembara tersebut siapa yang bisa membantu untuk menyembuhkan Nyai Masruroh, jika perempuan akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami untuk Nyai Masruroh. Kabar sayembara tersebut sampai pada KH. Hasyim Asy’ari. Hingga akhirnya KH. Hasyim Asy’ari datang ke Kapurejo dengan menaiki delman untuk membantu kesembuhan Nyai masruroh. Berkat kuasa Allah, Nyai Masruroh akhirnya sembuh.

Keadaan KH. Hasyim Asy’ari memang sudah menduda – setelah ditinggal Ny. Nafiqoh binti Kiai ilyas – sebelum menikahi Nyai Masruroh. Dalam pernikahan dengan isteri terakhir ini, KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putra-putri: 1. Abdul Kadir (lahir 1360 H); 2. Nyai Fatimah (lahir 1361 H); 3. Nyai Khodijah (lahir 1364 H) dan 4. Gus Ya’qub (lahir 1366 H).

Setelah melangsungkan akad nikah, KH. Hasyim dan Nyai Masruroh sering bolak-balik antara Tebuireng dan Kapurejo. Mengingat ada tanggung jawab yang dipanggul oleh keduanya. KH. Hasyim Asy’ari bertanggung jawab untuk merawat Pesantren Tebuireng dan juga diamanahi untuk terus mengembangkan pondok pesantren yang saat ini terkenal dengan sebutan pondok Kapu. Sedangkan, Nyai Masruroh mengambil peran sebagai ibu nyai dan penerus pesantren Salafiyah Kapurejo. 

Kehadiran Kiai Hasyim Asy’ari ke Pesantren Kapu dalam kurun waktu singkat langsung mengembangkan sektor bidang pendidikan. Karena sebelumnya KH Hasan Muchyi hanya mengajar ngaji untuk masyarakat sekitar saja. Sementara pada masa KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Masruroh mulai merumuskan sistem pendidikan dan pembangunan madrasah yang masih berjalan hingga saat ini.

Teladan Perempuan di Era Milenial

Nyai Masruroh merupakan sosok istri yang sangat tawadhu kepada suami dan sangat sederhana. Beliau tidak pernah menuntut untuk dibelikan ini dan itu. Kesederhanaan beliau bisa dilihat dari cara berpakaian yang tidak terlalu mewah. Bahkan kerudung yang diberikan suaminya, KH. Hasyim Asy’ari selalu beliau simpan rapi dan akan dipakai dalam acara khusus. Nyai Masruroh sering berpesan kepada para santri beliau, terutama santri putri untuk menjadi isteri yang baik bagi suaminya kelak.

Beliau sering berpesan “Inget yo nak, perempuan itu ibarat pakaian bagi laki-laki, menghangatkan di musim hujan dan meneduhkan di saat kemarau” Nasihat ini beliau serap dari QS. Al- Baqarah ayat 187. Nyai Masruroh juga sangat tekun dalam bertirakat, setiap harinya beliau hiasi hidupnya dengan melakukan puasa dan shalat malam tanpa henti. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT dan agar mendapat barokah yang bisa bermanfaat bagi anak cucu atau keturunan beliau.

Nyai Masrurah selalu siap untuk mendukung sang suami dalam berjuang. Beliau juga sangat sigap jika ada masalah-masalah yang perlu dihadapi. Pada suatu ketika di tahun 1942 KH. Hasyim Asy’ari ditangkap oleh Tentara Jepang untuk dipaksa menghormati Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Amarterasu Omikami atau Dewa Matahari.

Pada saat kejadian itu para santri beliau berusaha untuk membebaskan dan membuntuti KH. Hasyim Asy’ari guna memastikan keadaan beliau. Nyai Masruroh yang waktu itu berada di Tebuireng sampai rela mengungsi ke Denanyar sesuai permintaan KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang isteri jelas kekhawatiran dan kesedihan Nyai Masruroh diuji saat itu. Namun, beliau tidak berdiam diri. Nyai Masruroh tetap semangat mengajar santri putri dan selalu memohonkan doa untuk sang suami tercinta

Menuju Hari Tua

Setelah wafatnya Hadratussyikh pada tahun 1947, Nyai Masrurah sempat bertempat tinggal di tempat kelahirannya, Pesantren Kapurejo untuk membimbing para santri di sana. Namun karena beliau sudah sepuh dan sakit-sakitan, akhirnya keluarga memboyong beliau untuk bertempat tinggal di ndalem yang berada di depan pesantren Tebuireng. Hingga pada akhirnya pada tahun 1977, ada beberapa orang tua murid datang kepada Nyai Masruroh, dengan tujuan menitipkan putrinya untuk belajar ilmu agama kepada beliau sambil menuntut ilmu di sekolah formal. Nyai Masruroh menerima amanah tersebut dan menempatkan para santri di kediaman beliau. Santri pertama berjumlah 7 orang, rata-rata berasal dari Jawa Barat dengan tingkat pendidikan SMP-SMA.

Rumah Nyai Hj. Masruroh yang hanya memiliki 1 kamar mandi dan wc, akhirnya dirombak total untuk dijadikan beberapa kamar, dengan harapan bisa menampung jumlah santriwati yang semakin tahun kian meningkat. Nyai Masruroh mendidik para santri dengan tekun dan telaten. Beliau dibantu oleh putrinya yang bernama Hj. Chodidjah Hasyim. Karena semakin banyaknya jumlah santriwati, maka atas inisiatif Hj. Chodidjah bersama suaminya KH. Abdurrahman Utsman, asrama yang sudah ada dikembangkan menjadi sebuah pondok pesantren. Pesantren kecil itu diberi nama Al-Masruriyyah.

Nyai Masruroh binti Kiai Hasan Muchyi tutup usia pada hari Selasa, 1 Mei 1979 M atau 4 Jumadal Akhirah 1399 H, dalam keadaan sakit diabetes. Beliau dimakamkan di Pemakaman keluarga Tebuireng bersama dengan mendiang suaminya KH. Hasyim Asy’ari beserta dzuriyah yang lain. Setelah itu estafet kepemimpinan Al-Masruriyyah dipegang oleh putrinya, Hj. Chodidjah Hasyim beserta suaminya, KH. Abdurrahman Utsman. 

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.