Oleh: Much. Taufiqillah Al Mufti*
Mencintai dan melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika adalah keniscayan bagi kita warga negara Indonesia. Mengingkari dan menolak Bhinneka Tunggal Ika secara langsung atau tersembunyi sama halnya melawan konstitusi negara. Negara sudah berusaha mengayomi seluruh warganya yang beragam, maka warga sudah sepatutnya patuh pada aturan yang dicanangkan agar terbingkai pergaulan yang harmonis.
Kendati perbedaan pendapat, ajaran, dan keyakinan tidak dapat lagi dinafikan. Kita dipersilakan untuk membenarkan keyakinan sendiri, karena dengan itu kita yakin terhadap Tuhan beserta agama kita. Namun, kita sangat dilarang untuk bermusuhan dan berperang karena alasan perbedaan kepercayaan dan agama.
Apalagi dalam agama Islam, tidak dianjurkan menentang suatu kelompok karena berbeda ajaran. Bahkan mengucapkan kafir pun Islam melarangnya keras. Orang mengatakan kafir pada seseorang atau sekelompok kaum akan kembali pada dirinya sendiri. Memangnya siapa yang berhak memvonis si Paijo Kafir dan si Karmin tidak kafir? Memang bahasa kafir itu bahasa Allah atau bahasa manusia? Kadang kita terlalu percaya diri, hingga tak sadar mengambil posisi Tuhan.
Pelarangan kegiatan keagamaan umat Buddha di Kabupaten Tangerang yang terjadi baru-baru ini (7 Februari 2017), memperpanjang deretan luka perih yang terjadi pada bangsa kita. Bermula dari kesalahpahaman warga Desa Babat, kepada umat Buddha, terlebih kepada Biksu Mulyanto Nurhalim menjadikan mereka kalap dan darah tinggi. Kecurigaan warga sampai pada titik puncaknya ketika melarang umat Buddha yang dipimpin Biksu Mulyanto Nurhalim memberikan makan ikan di danau bekas galian pasir.
Ada pun kecurigaan warga di Desa Babat, di antararanya: pertama, Biksu Mulyanto Nurhalim dituduh menyebarkan dan mengajak orang sekitar untuk masuk agama Buddha; kedua, rumah Biksu Mulyanto Nurhalim dianggap tidak digunakan sebagaimana mestinya tempat tinggal, melainkan sebagai tempat ibadah. Kecurigaan tersebut sebenarnya tidak perlu, mengingat Desa Babat, Kabupaten Tangerang, adalah tanah airnya Biksu Mulyanto Nurhalim sendiri. Di samping memiliki KTP yang beralamat di sana. Saya menduga, warga Desa Babat tidak mengenal dan tidak ada upaya bergaul dengan Biksu tersebut.
Kesalahpahaman tersebut sangat nyata ketika terjadi duduk bersama dengan segenap stakeholder desa. Ada perwkilan Polsek, MUI, tokoh agama, dan Camat serta Kades setempat. Warga mulai tercerahkan, karena sebetulnya seorang Biksu tidak diperbolehkan membawa uang dan membeli makanan sendiri, maka kedatangan warga lain ke rumah Biksu Mulyanto Nurhalim untuk ngalap berkah dan meminta doa. Hemat kata, rumah Biksu Mulyanyo Nurhalim tetap digunakan sebagaimana mestinya.
Walau demikian, warga bersedia berdamai asal kegiatan keagamaan yang dilakukan Biksu Mulyanto Nurhalim dan jamaahnya tidak mencolok. Tidak mengundang perhatian. Kemudian, jika memiliki ornamen yang memperlihatkan identitas kebuddhaan harus disembunyikan. Berdamai tapi membungkam keberadaan warga Buddha sama halnya kekerasan kebebasan beragama dalam bentuk lain.
Di sini, pemerintah seharusnya hadir. Tidak membeda-bedakan mana yang mayoritas dan minoritas, karena semua warga ialah sama di mata negara. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya pada WNI dan WNA. Dalam hal ini, warga Buddha yang notabene WNI adalah korban dari tindak kekerasan warga Desa Babat. Permintaan warga Desa Babat kepada Biksu Mulyanyo Nurhalim dan jamaahnya merupakan diskriminasi lanjutan. Dan apa bila negara mengamini permintaan warga maka negara telah melalukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, negara senyata-nyatanya tidak adil dalam memperlakukan warga dan menyelesaikan masalah. Semestinya, yang harus ditindak adalah pelaku pelarangan kegiatan keagamaan Buddha, karena mereka telah melanggar konstitusi pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945.
Saya menukil pendapat Gus Dur, “Tuhan tidak perlu dibela”. Sekalipun kita ragu terhadap keberadaan Tuhan, sama sekali tidak mengurangi atau meniadakan wujud Tuhan. Justru, kalau kita merumuskan Tuhan akan menjerumuskan pada kekafiran. Tuhan tidak perlu dibela sekalipun orang lain mengingkari, dan Tuhan tidak perlu disesali dan dicemooh walau kita dalam keadaan sulit.
“Al-Quran sudah menetapkan agama yang benar disisi Allah adalah Islam. Namun tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan yang sama di muka hukum.”
Ada sesuatu yang seharusnya lebih dibela, yaitu masyarakat lemah (mustadh’afin) yang mengalami kemiskinan struktural; TKI yang kerap mendapat perlakuan sadis oleh majikannya; buruh-buruh pabrik yang mendapat PHK mendadak karena alasan tidak jelas dan tidak diberikan jaminan sama sekali; Ibu hamil dan akan melahirkan tetapi tidak punya cukup biaya untuk bersalin; anak-anak yatim piatu yang membutuhkan biaya pendidikan dan kehidupan yang layak; dan PKL-PKL yang terkena penggusuran Satpol PP dan tidak diberikan tempat relokasi yang layak oleh pemerintah. Kalau kita beriman kepada Tuhan, hak mereka harus dibela dan nasib mereka perlu diperjuangkan. Bukankah anak yatim, ibu-ibu hamil, dan buruh juga ciptaan Tuhan? Sebagai sesama ciptaannya bukankah lebih baik saling bahu-membahu?
Kalau kata Abdurrahman Wahid: “Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju”. Tetapi Anda, bisa tidak sepakat dengan tulisan ini. Hanya jangan pernah berhenti pada pendapat yang saat ini Anda yakini, teruslah gali, karena tidak menutup kemungkinan saya salah, dan Anda pun demikian. “Bukankah masalah ketuhanan memang rumit? Mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak”.
*Penulis adalah mantan Ketua Mahasiswa Alumni Tebuireng Surabaya (Manteb’s Surabaya) Periode 2013-2014.