tebuireng.online- Jakarta—Berdasarkan penelitian dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, masih banyak sekolah berbasis agama yang menolak memenuhi kebutuhan siswanya untuk mendapatkan hak pelajaran agama sesuai yang dianutnya. Kenyataan ini menunjukan bahwa implementasi kebijakan pendidikan agama sesuai peraturan yang berlaku belum bisa berjalan maksimal.

Hasil penelitian tersebut, meliputi ruang lingkup: akses dan layanan pendidikan, eksistensi madrasah, pesantren dan penyelenggaraan pendidikan agama di tengah perubahan sosial. Pendidikan agama terkait radikalisme dan toleransi, dan multikulturalisme dan paham kebangsaan pada guru dan dosen.

Pada Januari 2013 di Blitar, Jawa Timur, media massa menyoroti lembaga pendidikan Katolik di kota Blitar. Lembaga pendidikan tersebut menolak memberi pelajaran agama non-Katolik kepada siswa agama lain.

Saat itu, data dari Dinas Pendidikan setempat jumlah siswa Katolik tidak dominan karena dari total 3.168 murid di enam sekolah hanya 22,5 persen atau 713 murid beragama Katolik. Selebihnya Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Pihak lembaga bersikeras tidak memberikan pelayanan pendidikan agama atau menyediakan guru agama non-Katolik.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama, dijelaskan bahwa apabila terdapat sedikitnya 15 persen peserta didik yang seagama dalam satu kelas maka sekolah wajib memberikan pendidikan agama kepada mereka di kelas.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kasus layanan pendidikan agama pada anak berkebutuhan khusus dan lembaga pendidikan anak usia dini, tingginya semangat masyarakat menyelenggarakan pendidikan belum diimbangi dengan ketersediaan tenaga pengajar dan bahan ajar yang tepat. Mayoritas tenaga pengajar yang kini banyak memberikan pelajaran agama di sekolah anak kebutuhan khusus dan pendidikan anak usia dini, tidak berasal dari lulusan pendidikan tinggi agama, serta sangat minim pengalaman pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tugasnya. (ul)

ROL