Ilustrasi fenomena bank titil

Masyarakat umum menyebutnya bank titil. Sebutan ini digunakan untuk memanggil petugas penagih hutang dari bank yang meminjamkan pinjaman uang dengan pembayaran menggunakan sistem harian, mingguan, atau bulanan dengan bunga yang relatif tinggi.

Berbeda dengan bank-bank umum lainnya yang menggunakan standar pinjaman dengan syarat-syarat tertentu yang ketat, bank titil ini relatif longgar baik dalam persyaratan maupun kemudahan dalam pencairan. Bahkan dengan jaminan KTP atau kartu BPJS atau surat nikah saja sudah bisa mencairkan pinjaman yang diajukan.

Bank titil cenderung memanfaatkan peluang kesempitan dan ketidakmampuan peminjam di tengah himpitan ekonomi daripada rasionalitas peminjam untuk bisa mengembalikan pinjaman. Sasarannya ialah masyarakat kelas bawah yang profesinya pedagang kecil, buruh tani, pekerja serabutan bahkan pengangguran.

Di tengah krisis multidemonsianl dan ketidakpastian ekonomi serta keterdesakan kebutuhan hidup, bank titil (lembaga keuangan kecil) tumbuh kembang di tengah-tengah masyarakat, menjadi ‘idola’.

Ia menjadi solusi sesaat, seiring tingginya permintaan pinjaman dan mudahnya pencairan, meskipun menerapkan bunga yang realatif tinggi dan bunga tunggakan (bunga yang tingkatannya lebih tinggi dari bunga biasa dan dibebankan pada tunggakan atas pembayaran angsuran atau pelunasan uang pokok) serta bunga berganda (bunga yang dibebankan terhadap bunga yang tertunggak).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bunga Bank dalam Sejarah Yunani

Bank yang seharusnya secara fungsional merupakan sendi yang memajukan ekonomi dan  menyejahterakan masyarakat serta memiliki peran yang strategis bagi terciptanya lahan usaha, menjadi beralih fungsi seperti yang dikatakan Cato, ahli politik Romawi Kuno “pekerjaan memungut rente sama dengan membunuh orang”.  

Banyak dampak dan kasus yang terjadi, yang menjadi pemicu bahkan penyebab fenomena dalam masyarakat akibat praktik pinjaman dari bank titil, misalnya konflik keluarga dan saudara, pertikaian suami istri yang berujung perceraian bahkan sampai bunuh diri karena tekanan psikis seperti yang pernah diberitakan salah salah satu media online.

Praktik bunga bank, apalagi bank titil, dalam hukum tertua Perjanjian Lama pernah dilarang berlaku pada budaya hukum Yahudi. Para filusuf Yunani Kuno termasuk Aristoteles berpendapat bahwa uang adalah objek yang bukan tergolong organik dan digunakan sebagai medium pertukaran, karena itu uang tidak bisa ‘beranak’.

Barangsiapa yang meminta bayaran dari meminjamkan uang maka tindakannya bertentangan dengan hukum alam. Plato juga berpendapat bahwa orang tidak boleh meminjamkan uang dengan memungut rente

Di Athena, pada zaman pemerintahan Solon, bunga tidak dilarang tetapi dengan ketentuan suku bunganya harus dibatasi dengan tujuan melindungi penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Tetapi pada tahun 342 M, ada pelarangan pengambilan uang berapa pun tingkat suku bunganya dengan alasan membungakan uang sama dengan melakukan tindak kejahatan. Pada perkembangannya abad 14, Yahudi berubah menjadi pembunga uang.

Charles Gade, seorang ahli ekonomi Prancis berpendapat bahwa mengharamkan riba/rente pada masa silam itu sudah semestinya karena pada masa itu pinjaman bersifat konsumtif dan memperbolehkan riba/rente pada masa sekarang itu sudah semestinya sebab pinjaman bersifat produktif.

Bunga Bank menurut Hukum Islam

Dalam Islam, hukum bunga bank bersifat debatable. Ada tiga pendapat dari para ulama: Pertama, halal sebab termasuk utang yang dipungut rente. Kedua, haram dengan ‘illat hukum tidak ada syarat pada waktu akad sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. Ketiga, syubhat (tidak tentu halal dan haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.

Berbeda lagi dengan pendapat para neo-revivalis (gerakan penafsiran tradisional yang menekankan bahwa setiap bunga adalah riba) Maududi dan Sayd Qutb adalah bagian dari gerakan itu. Secara umum keduanya berpendapat bahwa ada ketidakadilan dari riba, wujud ketidakadilan itu adalah rasion d’etre dari larangan itu. Lebih lanjut, Maududi mengatakan bahwa ada unsur kedholiman dalam pinjaman yang berbunga.

Hal tidak senada juga dikemukakan oleh para modernis seperti Muhamad As’ad dan Fazlur Rahman, tetapi mereka lebih menekankan aspek moral daripada legal formal dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum Islam.

Aspek moral tersebut adanya ketidakadilan dan eksplotasi. Fazlur Rahman berpendapat, mengapa al-Quran mencelanya sebagai perbuatan keji dan kejam, mengapa menganggapnya sebagai tindakan eksploitatif dan melarangnya, dan apa sebenarnya fungsi bank saat ini? Artinya bahwa penyebab dilarangnya riba karena lebih mengandung unsur eksploitatif terhadap fakir miskin daripada faktor bunganya.

Menurut Ibn Qoyyim, larangan riba berkaitan dengan aspek moral, berdasarkan praktik riba pada masa pra-Islam. Dalam banyak kasus peminjam adalah kalangan miskin yang yang tidak punya pilihan lain kecuali menangguhkan pembayaran hutangnya. Berdasarkan larangan ini larangan riba secara moral menopang dalam perubahan sosial-ekonomi masyarakat.

Dalam dunia nyata (lepas dari konteks hukum bunga bank yang bersifat debatable), orang tidak bisa lepas dari praktik pinjam meminjam baik dari jumlah kecil maupun besar. Persoalannya adalah ketika bank titil dengan pinjaman bunga yang relatif tinggi, bunga tunggakan dan bunga berganda ini menjamur di masyarakat lapisan bawah yang terhimpit ekonomi dan tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pada akhirnya pinjaman itu menjadi lingkaran setan.

Dalam hal ini, hadirnya Islam dirasa tidak cukup hanya dengan fatwa dan produk hukum saja. Sebagai agama kemanusiaan yang punya konsepsi kemuamalatan dengan instrumen yang berupa zakat mal, shodaqoh dan infak. Islam harus benar-benar hadir guna memberikan alternatif solusi yang teraasa dan nyata bagi masyarakat yang terjerat pinjaman bank titil yang notabene kelompok fakir dan miskin.

Zakat mal penyaluran dan pembagiannya harus bersifat produktif dan berkelanjutan. Hak mustahiq tidak hanya diberikan secara tunai dan pasif yang fungsinya temporal. Shodaqoh tidak hanya difungsikan untuk pembangunan masjid, musholla, dan sekolah tapi pembangunan ekonomi masyarakat fakir dan miskin dengan formulasi yang produktif, berkelanjutan. Demikian juga infaq.

Pembagian zakat mal ke mustahiq zakat fakir miskin yang punya usaha tapi tidak berkembang bisa diberikan pendampingan untuk mengembangkan usahanya sampai berkembang dan mandiri.

Shodaqoh dan infak diberikan kepada fakir miskin yang punya usaha dan diberikan pendampingan dalam mengembangkan usahanya sampai mandiri. Fakir miskin yang belum punya usaha dibuatkan usaha dan diberi pendampingan sampai usahanya berkembang dan mandiri.

Sementara fakir miskin yang punya usaha dan terjerat bank titil diberikan bantuan serta didampingi untuk mengembangkan usaha dan memberikan edukasi sampai lepas dari bank titil yang merupakan lingkaran setan.

“Reaksi tanpa aksi nyata adalah sebuah kematian”. (Muhamad Iqbal, Filsuf Pakistan)


Penulis Ahmad Farid Hasan S.H.I., Lembaga kajian strategis keislaman dan kebangsaan pc IKAPETE Gresik