sumber ilustrasi: ensgo.id

Menjaga perasaan orang lain merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh setiap orang muslim. Dalam agama Islam apabila seseorang menutupi aib (kesalahan) orang lain maka Allah akan menutupi aibnya.

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Salim dari Bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat dzalim dan aniaya kepada saudaranya yang muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.”[1]

Jika kita mendengar akan kesalahan seseorang lebih baik kita pura-pura tidak mendengar kesalahannya dan tidak menyebarkannya. Hal ini bertujuan untuk menjaga perasaan orang tersebut. Apabila ia melakukan kesalahan dan tidak ada orang yang mengetahuinya ia tidak perlu merasa malu kepada orang lain dan kehormatannya tetap terjaga.

Berpura-pura tidak mengetahui sesuatu terkadang bisa menjadi hal yang lebih baik dari pada mengetahuinya. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh ulama besar Khurasan yang mendapatkan julukan Al-Ashom (si tuli).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Syaikh Hatim bin Ulwan Al-Ashom merupakan Ulama besar yang masyhur (terkenal) di zamannya. Beliau menjadi rujukan masyarakat untuk segala bentuk permasalahan. Rumah Beliau selalu terbuka kapan saja, dan untuk siapa saja tanpa memandang kedudukan, usia dan jenis kelamin.

Pada suatu hari seorang perempuan mendatangi rumah beliau untuk berkonsultasi atas permasalahan yang sedang menimpanya. Mengawali pembukaan dengan basa-basi, kemudian perempuan tersebut menceritakan kronologi permasalahannya panjang, lebar, kali tinggi. Namun, ditengah-tengah ceritanya ia tidak sengaja mengeluarkan kentut dengan suara yang lumayan keras. Ia sudah berusaha keras menahannya agar tidak keluar, akan tetapi usahanya sia-sia.

Dengan sedikit gelisah, ia melanjutkan ceritanya, sampai akhirnya ia bertanya kepada Syaikh Hatim. Tetapi, tidak sengaja ia mengeluarkan kentut dengan suarang keras yang sudah pasti Syaikh Hatim bisa mendengarnya. Wajah wanita tersebut memerah karena menahan malu karena telah melakukan hal memalukan di depan Ulama besar.

Syaikh Hatim yang menyimak cerita wanita tersebut dari awal sampai akhir, Beliau berusaha menjaga perasaan wanita tersebut dengan berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Beliau bersikap seakan-akan beliau tidak mendengar wanita tersebut, dan beliau berkata kepada wanita tersebut: “Apa bisa di ulangi lagi pertanyaannya?” Wanita terebut mengulangi pertanyaannya dan syaikh hatim berkata lagi, “Apa bisa diulagi pertanyaannya, keraskan suaramu?”

Kalimat permintaan pengulangan dari Syaikh membuat wanita tersebut merasa lega. Ia merasa bahwa Syaikh Hatim memiliki gangguan pendengarannya karena faktor sudah tua. Konon setelah kejadian itu Syaikh Hatim berpura-pura tuli sampai wanita tersebut meninggal dunia.

Demi menjaga hati dan perasaan wanita tersebut Syaikh Hatim mendapatkan gelar Al-Ashom  yang artinya tuli. Di kalangan masyarakat ia terkenal dengan nama “Hatim Al-Ashom” atau “Hatim si tuli”.

Menjaga perasaan orang lain menjadi hal yang sangat penting. Kita harus sebisa mungkin menjaga lisan kita, anggota tubuh kita agar tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan kita bisa meneladani perilaku Ulama besar diatas.

*Ditulis oleh Almara Sukma

Alumnus Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.


[1] HR Muslim no 4677