Sumber: hipwee.com

Oleh: Ustadz Miftah al-Kautsar*

Assalaamu’alaikum Warohmatullahi wa barakatuhu

Saat melaksanakan akad nikah di-binti-kan (dinasabkan) kepada siapa? jika seorang anak perempuan tidak bernasab, karena dilahirkan tanpa bapak (bisa dalam artian anak hasil zina). Mohon pencerahannya.

Sumarjoko Jakarta Utara

Terima kasih kepada penanya yang dirahmati Allah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan ampunan dan rahmat kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Adapun jawaban pertanyaannya sebagai berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pengertian dari anak zina adalah anak yang lahir sebagai hasil hubungan orangtua yang memang tidak melangsungkan pernikahan di antara kedunya baik secara undang-undang maupun syariat. Dalam redaksi lain Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya, bahwa anak zina adalah anak yang lahir dari seorang ibu melalui jalan yang tidak ditetapkan oleh syara’.

أما ولد الزنا: فهو الولد الذي أتت به أمه من طريق غير شرعي، أو هو ثمرة العلاقة المحرمة. (الفقه الإسلامي وأدلته ج 8 ص430)

“Adapun anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya melalui jalan yang tidak syar’i atau anak dari hasil hubungan yang diharamkan.” (Al Fiqh al Islami wa adillatuhu juz 8 halaman 430)

Status perwalian, nasab, nafkah, dan hak waris bagi anak yang dilahirkan dari hasil zina, para Ulama berbeda pendapat. Masalah mengenai status anak zina juga pernah diangkat dan dibahas dalam forum Munas Alim Ulama Nadlatul Ulama’ di Lombok pada tahun 2017. Adapun hasilnya dari forum tersebut sebagai berikut:

Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i, yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, dan nafkah.

kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada perinciaannya:

  1. Jika anak tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja.
  2. Jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafshil (rincian): a) jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya. b) tetapi, jika lahir kurang dari 6 bulan (dari akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.

Mereka para Ulama yang mengikuti acara tersebut mengutip salah satunya keterangan Imam al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih, sebagai berikut:

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya (ibu). Menurut Mazhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut al-Hasan al-Bashri, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim an-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sangsi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum pesalinan, tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya”. (Abul Hasan al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, juz 8, hlm 162)

Berdasarkan dari hasil Munas Alim Ulama tersebut, bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina dinasabkan kepada ibunya. konsekwensi dari penasaban anak zina ke ibunya mengakibatkan si anak tidak memiliki wali. Oleh karena itu orang yang tidak memiliki wali, maka walinya adalah penguasa / sulthan. Atau dengan kata lain, walinya adalah wali hakim sebagaimana berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.

فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Sulthan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (H.R. Ahmad)

Yang dimaksud dari sulthan dalam hadis di atas adalah wali hakim, ialah pejabat pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau yang mewakilinya sampai tingkat daerah yakni pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) serta jajarannya.

Perlu diperhatikan, bahwa anak zina juga memiliki hak, kesempatan dan keistimewan yang sama dengan anak-anak lain yang bukan zina. Anak zina bukan anak kutukan. Bukan pula anak yang membawa dosa turunan. Dan jangan memberikan perlakuan yang diskriminatif kepada anak zina.

Demikian paparan jawaban dari tim redaksi kami, semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Wallahu ‘alam bisshowab.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.