Perempuan dan bunga. (sumber: Ist)

Kita yang telah menjadi kisah
bersama merajut kasih
bertukar kabar
saling mengisi

hujan, kopi dan kenangan
kopi itu telah menjadi kenangan dikala hujan waktu itu
hangatnya kedekatan denganmu
yang pada akhirnya

menyayat hati
terluka namun tak berdarah

banyak yang terlukis
lalu akhirnya terkikis
tergeruslah sudah rasa kagumku padamu
diujung setiap perpisahan

penuh kehilangan namun juga penemuan
tentang keabadian cinta yang tak lekang

meski harus terpisah waktu dan ruang
bahwa keutuhan tidak selalu datang dari kebersamaan
namun keberanian untuk menerima diri
mengajarkan tak takut melangkah

meski jalan yang ditempuh dipenuhi duri
bak bunga mekar pada musim gugur
setiap perpisahan adalah awal
babak baru yang indah


Hujan
Disaat aku sudah akrab dengan hujan
aku masih dibawah bayang-bayangmu
berlari mengejar apa yang aku harap
harapku tentang mu masih terbungkus rapi

seguyur air dan seuntai bunga
dan nyanyian hujan terasa bersahabat
gemericik air dengan melodi indahnya

dengan segenap rindu yang mengalir dalam diriku
yang menjadi tawanan bayangmu

lalu bagaimana kabarmu disana?
apakah sama denganku?
kita berada dalam langit yang sama
dari kejauhan aku selalu menantikan sosokmu

indahnya bayangmu
yang menjadikan semangat ku melewati hari demi hari
jauh dekatnya jarak
tak mempengaruhi kesucian kasih bersama sayang
bagiku kau tetaplah air hujan di kehidupanku


Terima Kasih
Akalku menentang
namun hatiku menginginkan
entah aku tak bisa mengetahui
kenapa aku harus membenci duri

dari setangkai mawar yang ku cintai
dan inilah pertempuran paling berat
antara apa yang aku ketahui oleh kepalaku
dan apa yang dirasakan oleh hatiku

entah apa aku yang terlalu perasa
dan terkadang pemikir
banyak janji yang aku terima
namun tak ada pembuktiannya

secara tak langsung
perkataan dan sikapmu kala itu
membuka mataku
tersadar akan segala hal

ku ucapkan terima kasih
kali ini aku akan bersikap biasa saja

dan setelah ini
aku akan lebih banyak diam
dan tidak berlebihan lagi

asinglah selamanya
tenang, aku tak segila kemarin



Penulis: Amalia Dwi Rahmah, Anggota Sanggar Kapoedang

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online