Oleh: Lian*
Aku tidak pernah bahagia dengan pernikahan kedua mamahku, walau kata mamah itu untuk kebahagianku kelak. Aku tidak pernah setuju dengan pernikahan itu, bagaimanapun sosok papahku tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Mamah menikahi om Wijaya dengan alasan agar hidupku lebih terjamin ke depannya, padahal kenyataan yang aku lihat adalah mamah hanya memikirkan cintanya saja dengan om Wijaya.
Semenjak pernikahan kedua mamahku, aku merasa mamah tidak lagi mempedulikan diriku. Dia hanya mempedulikan suami barunya dan anak tirinya. Ya, om Wijaya punya anak perempuan bernama Meiya Wijaya yang berumur 13 tahun, kami semua tinggal bersama di rumah om Wijaya yang bisa dibilang rumahnya cukup mewah. Anak Perempuan om Wijaya selalu menggangguku dan selalu mencari cela untuk bisa mendekatiku, jujur aku risih dengan sikap saudari tiriku itu. Aku dan dia selisih umur 6 tahun. Aku memang selalu mendambakan seorang adik dari dulu, tapi yang aku inginkan adalah adik kandung bukan adik tiri seperti dia. Aku selalu muak Ketika melihat adik tiriku itu bermanja-manjaan ke mamah.
*****
Seperti biasa sebelum aku pergi ke kampus aku selalu mengantar meiya untuk pergi ke sekolah, dan seperti biasa di dalam mobil meiya selalu berisik dengan segala ocehannya yang justru makin membuat kepalaku makin pusing. Dia memang anak yang ceria dan kata mama juga meiya anak yang cerdas, tapi bagiku meiya hanya seorang bocah ingusan yang berisik dan pengganggu.
Disore hari aku akan menjemput dia, aku heran kenapa Pelajaran anak SMP begitu banyak seperti tidak mau kalah dengan anak SMA. Tapi sore ini aku merasa kalau meiya terlihat berbeda dengan biasanya, dia terlihat murung dan sedih. Sepanjang jalan pulang hanya ada keheningan tidak ada lagi ocehan meiya yang bikin sakit kepala, ya.. setidaknya sore hariku terasa lebih tenang karna hal itu.
Setelah makan malam aku selalu menuju ke kamarku dan meninggalkan anggota keluarga lainnya yang sedang asik nonton film di ruang keluarga. Tidak lama setelah itu pintu kamarku diketuk.
“tok, tok, tok…” suara ketukan pintu.
“abang Naufal ini Mey, aku masuk ya? Ok baiklah, aku akan tetap masuk walau tidak di izinkan sekalipun,” teriak gadis itu dari luar pintu kamarku.
Ya, begitulah si Mey yang selalu menganggu hidupku, seperti dia tidak mengizinkanku untuk tenang sebantar saja.
“abang, bantuin Mey ngerjain tugas karya seni dong.. Mey nggak bisa gambar sketsa, bu guru nyuruh buat gambar sketsa binatang tapi mey nggak bisa,” rengeknya sambil menyodorkan buku gambar kearahku.
“tolong dong bang, Mey nggak mau nilai karya seniku jelek. Lihat nih hasil gambaran ku tadi!” rengeknya lagi sambil menunjukkan gambaran hewan singa yang dia buat tadi.
Sebenarnya aku ingin tertawa karna hasil gambarannya yang begitu buruk, tapi aku gengsi untuk melakukan hal itu.
“kalo tidak bisa gambar ya nggak usah gambar, gitu aja kok repot. Cari di google banyak tinggal print,” jawabku malas dan mencoba untuk mengabaikannya
“ihh mana bisa seperti itu, nanti bu guru tau terus marahin Mey lagi,” balasnya sambil cemberut.
“kamu nggak liat aku lagi ngapain sekarang? Aku lagi sibuk, dah sana keluar kerjakan sendiri tugasmu itu,” ucapku ketus dan mulai asik dengan leptopku.
Tak lama raut wajah meiya berubah menjadi sedih dan tanpa sepata katapun dia pergi meninggalkan kamarku.
Beberapa hari ini Meiya menjadi pendiam saat tidak ada mamah dan om Wijaya di sekitarnya, sebenarnya aku seneng-seneng aja Meiya menjadi pendiam, tapi entah kenapa aku malah merasa kosong. Meiya tak lagi mengusikku di malam hari dan dia selalu terlihat sedih dan murung setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Apa yang sebenernya terjadi dengan dia? Apa dia masih marah dengan kejadian tempo hari yang aku menolak dia untuk membantu tugas sekolahnya? Atau dia sedang mendapatkan masalah disekolahnya?
*******
bersambung part (2)