Oleh: Ust. Saifullah
اَلْحَمْدُ لِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُهُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَي اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Kewajiban kita bertakwa kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya takwa. Yaitu imtitsalu al-awamirillah wa ijtinabu nawahihi, berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah Allah, dan berusaha seoptimal mungkin untuk menjauhi semua larangan-Nya.
Hadirin Sidang Jumah yang Berbahagia
Alhamdulillah, kita sudah memasuki tahun baru Islam, 1440 H. Dimana tahun baru Hijriyah ini dinisbatkan kepada hijratu ar-Rasul, hijrah Rasulullah Saw. yang perlu kita renungi dan kita ambil hikmah dari peristiwa tersebut. Ketika Rasulullah menyampaikan perintah hijrah kepada Abu Bakar, bahwa Rasulullah diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan hijrah dan mengajak semua sahabatnya untuk ikut serta dalam berhijrah.
Maka Abu Bakar menangis, terharu, kegirangan penuh dengan kesenangan. Ketika itu, Abu Bakar membeli dua ekor unta. Untuk dipersilahkan kepada Rasul agar memilihnya, dan digunakan untuk perjalanan menuju Madinah. Rasul mengatakan, “Saya tidak akan mengendarai unta yang bukan milik saya.” Lalu Abu Bakar mengatakan, “Ini hadiah bagi engkau wahai Rasulullah.”
Nabi mengatakan, “Baiklah. Tapi, saya akan bayar harganya.” Kemudian Abu Bakar bersikeras untuk menyerahkan unta itu sebagai hadiah kepada Rasul. Tetapi, Nabi menolaknya. Pada akhirnya, Abu Bakar bersedia dibeli unta itu oleh Rasulullah Saw.
Pertanyaannya, mengapa Nabi bersikeras untuk membeli unta tersebut? Bukankah Abu Bakar itu adalah sahabat beliau. Bukankah sebelum hijrah dan sesudahnya, Nabi selalu menerima hadiah atau pemberian dari Abu Bakar. Disini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga. Rasulullah ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang.
Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya. Berhijrah dengan tenaga, pikiran, materi, bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar dan kepada kita semua bahwa dalam mengabdi kepada Allah, jangan mengabaikan sedikit pun kemampuan kita. Selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah berfirman;
إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰ
“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu lah tempat kembali.”
Hadirin Sidang Jumah yang Berbahagia
Rasulullah Saw. berangkat ke Madinah sambil berpesan kepada keponakannya yaitu Ali bin Abi Thalib, agar tidur di tempat pembaringan Rasul sambil berselimut dengan selimut beliau, guna mengelabui kaum musyrikin. Ali bin Abi Thalib seketika itu siap mengganti posisi Rasul, walaupun itu taruhannya adalah nyawa. Tapi demi membela agama Allah, Ali bin Abi Thalib bersedia untuk mengganti posisi itu.
Disini, sekali lagi kita menarik pelajaran tentang apa sebenarnya arti hidup menurut pandangan agama. Hidup itu bukan sekedar menarik dan menghembuskan napas. Tapi hidup itu, ada perjuangan, ada prestasi. Ada orang-orang yang telah terkubur, tapi oleh al-Quran masih dinamakan orang yang hidup dan mendapatkan rizki.
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Jangan engkau mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Tapi mereka hidup, mereka mendapatkan rizki dari sisi Tuhannya.”
Artinya bahwa orang yang hidup ini tidak hanya sekedar makan dan minum saja, tapi disini ada perjuangan. Sehingga ketika kita mati sekalipun, orang-orang lain itu masih mengenang kita. Karena dengan perjuangan membela agama Allah, perjuangan membela kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kemunkaran dan kemaksiatan, itu merupakan suatu prestasi. Dan oleh Allah dinilai sebagai sesuatu yang berharga. Sehingga walaupun mati sekalipun, “nama”nya tetap hidup, tetap ada di tengah-tengah masyarakat.
Di belakang masjid (Tebuireng) ini, banyak para syuhada’. Banyak para mujahidin. Walaupun sudah terkubur lama, sudah puluhan tahun. Bahkan ratusan tahun. Tapi “nama”nya masih sering kita dengar. Masih diperbincangkan. Masih dibicarakan. Masih didiskusikan. Kenapa? Karena mereka hidup memiliki perjuangan. Perjuangan membela agama Allah, perjuangan menegakkan kebenaran. Memberantas kemaksiatan dan kemunkaran. Perjuangan menegakkan keadilan dan lain sebagainya. Sehingga nama mereka tetap harum, tetap hidup.
Tapi sebaliknya, dalam kata al-Quran, ada orang-orang yang justru sebenarnya dia hidup tapi mereka dianggap mati. Apalagi mati hatinya. Karena mereka tidak punya prestasi, tidak punya perjuangan. Yang mereka lakukan dalam hidup hanya makan, tidur, dan seterusnya, tanpa memikirkan perjuangan di masa depan agama, bangsa, dan negaranya. Maka orang ini, walaupn hidup tapi dianggap sebagai orang mati.
Oleh karena itu, maka ‘hidup’ dalam pandangan agama adalah kesinambungan antara dunia dan akhirat dalam keadaan berbahagia. Karena kita pun nanti akan hidup di akhirat, dan merasakan nikmatnya berjuang membela agama Allah di dunia ini, sehingga di akhirat memiliki kebahagiaan dan kemuliaan.
عِشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْدًا
Hidup mulia, atau mati syahid.
Hadirin Sidang Jumah yang Berbahagia
Ketika Rasulullah bersama Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur, dan para pengejar mereka sudah berdiri di depan pintu gua. Maka Abu Bakar merasa khawatir, gusar, dan bimbang. Kemudian Rasulullah menenangkan sambil mengatakan;
لَاتَخَفْ وَلَاتَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنا
Jangan takut, jangan bersedih, Allah pasti bersama kita.
Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada peperangan Badar. Kira-kira satu setengah tahun setelah hijrah. Ketika itu, justru yang ragu dan khawatir adalah Rasulullah. Dan Abu Bakar yang menenangkan beliau. Mengapa terjadi dua sikap yang berbeda dari Nabi dan Abu Bakar.
Disini sekali lagi kita mendapatkan pelajaran yang sangat dalam. Menyangkut arti hakikat keagamaan yaitu tawakkal dan usaha. Perintah hijrah kepada Nabi, itu begitu mendadak tanpa ada persiapan apa-apa dan langsung seketika itu berhijrah. Maka Nabi yakin, tanpa persiapan pun Nabi yakin bahwa perjalanan hijrah itu akan sukses, selamat, dan pasti ditolong oleh Allah. Tawakkal kepada Allah.
Tetapi ketika perang Badar, Allah memerintahkan untuk bersiap-siap untuk menghadapi perang itu. Maka disini Nabi merasa ragu, khawatir, bimbang, dan seterusnya, karena takut kalah. Khawatir umat Islam, agam Islam ini tidak bisa jaya dan berkembang. Tapi kemudian dengan hidayah Allah, pertolongan Allah, dalam peperangan itu dimenangkan oleh Nabi dan para sahabat.
Sekali lagi, kita mendapatkan pelajaran tentang arti tawakal. Kapan digunakan, dan bagaimana batasan-batasannya. Serta arti penting usaha atau ikhtiar dalam kehidupan ini. Selamat tahun baru Islam, tahun 1440 H. Semoga kita semua dapat meningkatkan prestasi kita, meningkatkan amal saleh kita, ibadah dan takwa kita kepada Allah Swt. demikian khutbah singkat ini. Semoga bermanfaat.
إِنَّ أَحْسَنَ الْكَلَامِ، كَلَامُ اللهِ الْمَالِكُ الْعَلَّامُ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَسآءَ فَعَلَيْهَا، وَمَارَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ مِنَ اْلآيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ،وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ