sumber ilustrasi: news.detik.com

Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Cinta merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan manusia, terkadang cinta membawa kebahagiaan yang luar biasa dan bisa pula berubah menjadi prahara. Kebanyakan orang sulit mendefinisikan apa itu cinta? karena cinta berhubungan dengan emosional, bukan berhubungan dengan intelektual.

Setiap orang bisa memberikan konsep tentang cinta sesuai dengan keadaan emosionalnya. Oleh karena itu muncullah banyak rumusan tentang cinta. Cinta akan semakin sulit didefinisikan lagi karena tidak diketahui pengetahuan tentang cinta disiplin ilmu apa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata cinta diartikan sebagai perasaan kasih dan sayang terhadap sesuatu atau orang lain. Secara istilah maka cinta dapat dimaknai sebagai suatu perasaan yang dialami manusia dan perasaan tersebut menimbulkan kasih sayang bagi yang merasakannya.

Cinta dalam pandangan Islam sendiri adalah limpahan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluknya sehingga Allah menciptakan manusia dan isinya dengan segala kesempurnaan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Definisi cinta secara umum yakni cinta manusia terhadap manusia adalah kebergantungan hati kepada sesuatu sehingga  menyebabkan kenyamanan di hati saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah saat jauh darinya. Sedangkan definisi cinta Allah kepada hambanya adalah bentuk rida dan ampunan dari-Nya atau penghormatan yang Allah berikan kepada semua jenis manusia.[1]

Kebanyakan orang lebih memilih dicintai dari pada mencintai, mereka menganggap dicintai itu lebih mulia daripada mencintai. Karena mereka yakin bahwa apabila mereka dicintai maka orang yang mencintai akal melakukan segala hal untuk membahagiakan orang yang dicintai. Ia akan berusaha keras agar orang yang dicintai selalu bahagia.

Pada dasarnya mencintai bukanlah hal yang buruk, bahkan apabila cinta tidak berbalas mencintai seseorang dengan tulus bisa menjadi privilege. Mencintai Allah merupakan tujuan utama umat Islam, meskipun tidak pernah melihat Allah rasa cinta seorang hamba kepada-Nya akan selalu ada. Dari sini dapat diketahui bahwa cinta tidak selalu tentang rupa.

Sebagian besar manusia ingin cintanya terbalas, ia ingin dicintai Allah begitu juga dicintai hamba-Nya, agar manusia dicintai Allah maka zuhudlah terhadap dunia, dan agar manusia dicintai oleh manusia maka zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Arba’in Nawawi berikut ini,

عن أبي العباس سهل بن سعد الساعدى رضي الله تعالى عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم فقال : يا رسول الله دلني على عمل إذا عملته أحبني الله وأحبني الناس : فقال إزهد في الدنيا يحبك الله وازهد فيما عند الناس يحبك الناس . حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة

Dari Abul-Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idi rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku suatu amal, jika aku lakukan aku akan dicintai Allah dan dicintai oleh manusia. “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam yang lainnya dengan sanad yang hasan).[2]

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhdan atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan yang artinya kecil atau sedikit.[3]

Adapun makna zuhud secara terminologis menurut Ibnu Jauzy mengatakan, Az-Zuhd merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik darinya.

Syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. Siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak memakan tanah, yang tidak dapat disebut orang zuhud. Jadi zuhud itu bukan sekadar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan ada kecenderungan hati kepadanya. Tapi zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaannya jika dibandingkan dengan nilai akhirat.[4]

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] Said Ramadhan Al Buthi, Kitab Cinta Menyelami Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta, hlm. 13

[2] Hadis Arba’in Nawawi no. 31

[3] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.

[4] Imam Ahmad bin Hambal, Zuhud Cahaya Kalbu (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. xv-xvi.