Rieke Diah Pitaloka sampaikan alasan memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), saat seminar nasional di Pesantren Tebuireng, Kamis (2/5/19). (Foto: Bagas)

Tebuireng.online— Seminar Nasional ‘Menanggapi RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual)’ yang diadakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng bersama Gerakan Indonesia Beradab (GIB), dihadiri oleh Nahe’i (Komisioner Komnas Perempuan), Prof. Mudzakir (ahli Hukum UII Yogyakarta), Prof. H. Moh. Mahfud (Guru Besar UII Yogyakarta), dan Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari, (Politisi PDIP & artis kondang Indonesia).

Menurut Mudzakir perihal RUU PKS adalah seharusnya tidak ada yang namanya undang-undang penghapusan kekerasan seksual. “Ya, seharusnya tidak berbicara tentang penghapusan kekerasan seksual atau -yang sudah terjadi seperti- kekerasan dalam rumah tangga. Namun, yang semestinya menjadi perbincangan adalah penegakan hukum atau keadilan terhadap undang-undang kekerasan seksual,” terang ahli Hukum UII Yogyakarta ini.

Karena menurutnya, RUU PKS ini bukan sebuah solusi atas permasalahan yang ada. Melainkan berusaha membangun sistem hukum sendiri, di luar sistem hukum nasional Indonesia dan sistem hukum pidana nasional yang sudah berlaku sekarang (Hukum Positif).

Kendati begitu, dalam sambutannya, Rieke Diah Pitaloka menegaskan: bagaimana itu namanya, istilahnya, sebutannya, jika itu yang paling benar -baik Ibu Rieke dan orang-orang dibalik Ibu Rieke yang sudah memperjuangkan RUU PKS ini seperti, Komnas Perempuan dan fraksi yang lainnya- menyetujui adanya keputusan tersebut.

“Kami mengikuti Pak Mudzakir, selaku pihak yang ahli dalam hukum dan yang mengerti bagaimana hukum pidana tersebut. Maka kami mohon bantuan bapak,” ungkapnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun sebelum itu, Rieke menjelaskan dari awal sambutannya, latar belakang kemunculan dan proses penggodokan dari RUU PKS ini. Ada sebuah perjalanan yang sangat panjang dan berbagai pedebatan, penyeleksian, dan persyaratan prosedur yang telah dilalui untuk RUU PKS ini diajukan.

“Saya bercerita sedikit tentang sejarahnya, ya. Jadi, dalam membuat suatu undang-undang, DPR bisa menerima usulan dari satu anggota atau beberapa anggota, dari satu fraksi atau lintas parlemen, dan sebagainya. Nah, untuk RUU PKS ini berasal dari inisiasi KOMNAS Perempuan yang berkolabolarasi dengan kami anggota parlemen lintas fraksi,” jelasnya.

Setelah itu, Rieke dan fraksinya, PDIP, meminta dukungan dari anggota-anggota DPR dari beberapa fraksi, barulah bisa masuk pada program legislasi nasional. Proses ini memakan waktu 5 tahun lamanya. Yang kemudian baru bisa masuk pada program legislasi nasional prioritas tahunan.

“Untuk masuk di sini itu tidak bisa satu fraksi. Tidak bisa satu DPR saja, tetapi harus kesepakatan bersama antara DPR yang terdiri dari 10 fraksi dan pemerintah. Seingat saya, pada saat itu hanya satu fraksi yang tidak setuju. Intinya panjang bnget deh pokoknya,” imbuhnya.

Rieke Diah Pitaloka saat itu menegaskan kepada peserta seminar bahwa RUU PKS ini dibuat, diperjuangkan, bukan untuk menghukum laki-laki dan memberikan ruang untuk perempuan mendominasi.

“Tidak. Bukan untuk itu. Tetapi perjuangan kami kaum perempuan tidak untuk melakukan dominasi dan membangun pondasi di atas laki-laki. Kita bagian dari manusia. Dan menurut saya itulah islam rahmatan lil ‘alaamin,” tegasnya.

Tetapi kami mengajak kalian, lanjut Rieke untuk lebih bijak membuat undang-undang, lalu agar tidak terjadi perpecahan antar bangsa dan menjadi jalan untuk menuju satu ideologi yaitu pancasila.

“Jika ada kesalahan teknis, dan butuh adanya harmonisasi dalam undang-undang. Maka kami mengajak bapak Mudzakir, bahkan kalau perlu KOMNAS perempuan juga, untuk bermusyawarah mencari mufakat. Untuk membahas secara tuntas isu-isu yang tengaj terjadi. Baik RUU PKS ini,” tegasnya diakhir pembicaraan.

Pewarta: Fitrianti Mariam Hakim
Publisher: RZ