Tebuireng.online— Ahli Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakir menolak RUU PKS. Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional “Menanggapi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), di Pesantren Tebuireng, Kamis (2/5/19).
Pada kesempatan itu, Prof. Mudzakir menjelaskan bahwa hukum pidana itu merupakan alat pemberantas. “Orang dihukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Jangan sampai untuk memberantas,” tegasnya.
Selain itu, Ahli Hukum UII itu menyampaikan terkait masalah kekerasan seksualitas dan kekerasan yang ada di dalam konteksnya, serta hukum pidana terkait dengan hukum yang lain.
“Dalam struktur sistem hukum terdiri dari nilai hukum, asas hukum, norma hukum, dan bentuk formal hukum atau undang-undang, serta masyarakat hukum. Kekerasan dalam konteks berbeda-beda dalam maknanya. Berbeda dengan penganiayaan,” ungkapnya.
Prof. Mudzakir menegaskan bahwa perlindungan fisik manusia, juga ada perlindungan nyawa manusia. “Adapun pandangan tentang hubungan seks terbagi atas, yang pertama seksualitas dianggap kotor jika ingin dianggap suci harus tidak melakukan hubungan seks, meski sudah menikah sekalipun. Yang kedua, boleh asal sesuai syariat (menikah). Yang ketiga, boleh asal suka sama suka, meski tidak ada ikatan. Yang keempat boleh, karena itu hak dan kebutuhan biologis,” terangnya.
Dalam hukum, lanjutnya cari statistiknya, apa yang harus ditetapkan, bagaimana kepastian hukum, serta bagaimana RUU itu dikemas.
Pada kesempatan itu, Prof. Mudzakir menegaskan bahwa dirinya menolak keras RUU PKS karena sudah ada hukum-hukum yang menanggulangi masalah tersebut.
“Semua sudah diatur dalam UUD, dan RUU PKS berusaha untuk membangun sistem hukum nasional Indonesia dan sistem hukum pidana nasional Indonesia yang berlaku sekarang (hukum positif). Prinsip hukum pidana harus minimalnya 2 alat bukti,” pungkasnya.
Pewarta: Umdatul Fadhilah
Publisher: RZ