Secara gari besar buku ini membahasa hal-hal yang selama ini tidak terpikirkan sebelumnya. Sebuah telaah menyeluruh dalam bidang akidah baik dari sisi metodologi, sejarah, epistimologi, maupun analisa faktual aktual, hingga detil-detil persoalan yang berhubungan langsung dengan akidah dan keimanan, terurai secara logis dalam setiap halaman buku ini.
Dari beberapa uraian panjang dalam buku ini, dapat ditarik titik simpul bahwa ajaran tauhid sejak masa Nabi Saw. hingga abad modern ini terus berkembang dan berubah-ubah, baik dari sisi ajaran maupun pola gerakannya. Tauhid yang pada masa Nabi Saw. dan sahabat hanya dimaknai sebagai penghayatan dan pengamalan, kini sudah bergeser menjadi (sekedar) wacana pemikiran. Akidah yang oleh Nabi Saw. dan sahabatnya dijadikan media peneguh keyakinan hati, disamping pendorong terlaksananya amal-amal ibadah, kini hanya menjadi bahan polemik dan pemanis bibir belaka (bahkan terkadang dibuat sarana mencari uang?).
Nah, kalau kita sepakat bahwa generasi yang paling patut dan (sudah seharusnya) kita ikuti adalah generasi Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya, maka kesimpulannya, corak akidah mereka lah yang harus kita ikuti. Ada tiga hipotesa yang membuat kami berkesimpulan semacam ini;
(1). Jika kita hendak mengaca pada tauhid periode tabiin atau periode munculnya firqah-firqah, maka kita akan terhalang oleh kecenderungan menguatnya kepentingan antar golongan. Sebab perdebatan teologis antar golongan pada periode ini lebih banyak didorong oleh adanya unsur politis dan kepentingan tertentu. Kecenderungan mau menang sendiri dan tidak bersedia menerima pendapat pihak lain, kiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa akidah yang dipertahankan masing-masing golongan lebih banyak didasarkan pada kepentingan golongan (sektarian), bukan untuk mencari kemurnian akidah.
(2). Jika kita hendak mengikuti corak tauhid era penulisan kitab-kitab akidah, yakni sejak penghujung era pemerintahan Bani Umayyah hingga runtuhnya dinasti Bani Abbasyiah, maka kita akan terbentur oleh munculnya polemik yang tak berujung pangkal. Artinya, ajaran tauhid yang berkembang pada masa keemasan Islam ini banyak yang bersifat polemis dan berbentuk perdebatan yang bertujuan saling menjatuhkan antara satu sekte dengan sekte lainnya. Apalagi pada masa itu filsafat Yunani sudah masuk ke dunia Islam, sehingga persoalan-persoalan khusus yang sebenarnya tidak perlu diperbincangkan menjadi bebas diobral dengan perangkat metodologis filsafat. Akhirnya hal-hal yang dulunya oleh Nabi Saw. dilarang untuk dibicarakan, misalnya mengenai zat Allah Swt., pada periode ini begitu vulgar dibicarakan, seakan-akan para teolog periode ini sudah mampu menembus tirai-tirai rahasia Ilahi. Akibatnya, kegersangan akidah menimpa umat Islam. Materi ilmu tauhid pun hanya berhenti di mulut dan berkembang melalui ruang-ruang diskusi saja, sementara sisi serap nurani dibiarkan hampa dan aspek pengamalan akidah menjadi terbengkalai. Padahal aspek pembenaran nurani adalah pelabuhan terakhir dari tujuan tauhid itu sendiri.
(3). Bila kita hendak menerima upaya pengabungan akidah antar agama, seperti didengung-dengungkan oleh para pemikir kontemporer, maka absurditas peran akidah pun tidak dapat terelakkan. Akidah sebagai media pengesaan dan bukti ketundukan seorang hamba kepada Sang Pencipta, akan sulit dicapai bila kita bersedia bertoleransi dengan mengakui bahwa Tuhan itu berjumlah tiga, misalnya, atau agama yang diturunkan oleh Allah Swt. tidak lebih dari sekedar simbol kepatuhan belaka. Keharusan memeluk agama Islam yang didakwahkan Allah Swt. melalui perantara Muhammad Saw., tidak akan ada artinya bila akidah semua agama kita anggap sama. Lalu untuk apa Muhammad Saw. diutus bila ujung-ujungnya semua agama sama saja? Bukankah dengan demikian Allah Swt. hanya main-main mengutus Muhammad Saw.? Sungguh absurd dan irasional.
Karena itu, sudah selayaknya kita kembali ke jalur yang fitri; jalur yang diajarkan oleh Muhammad Saw. bersama sahabat-sahabatnya. Jalur yang tidak memerlukan penalaran analogis maupun filosofis, namun mampu menyirami hati nurani dengan sinar-sinar keimanan dan keyakinan yang teguh dan mantap. Dan itu semua bisa kita peroleh dari perilaku bertauhid Nabi Saw. bersama sahabat-sahabatnya.
Sebagaimana kita ketahui, generasi awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in menerima dan mengajarkan Islam secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif, tanpa menonjolkan salah satu bidang. Ketika mereka menguatkan aspek batiniyah, mereka tidak melupakan aspek lahiriyah. Ketika mereka mengejar urusan ukhrawi, mereka tidak melalaikan urusan duniawi. Ketika mereka meyakini akidah, mereka tidak meninggalkan akhlak dan syariah. Pendek kata, mereka memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasad secara menyeluruh dan seimbang.
Hal ini merupakan bukti bahwa Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya memposisikan ajaran Islam pada jalur-jalur yang fitrah. Jalur yang fitrah berarti memposisikan semangat bertauhid agar sesuai dengan fitrah ketuhanan dan fitrah kemanusiaan. Fitrah ketuhanan adalah pemosisian Tuhan sebagai ”entitas” yang tak mungkin dijangkau nalar, sementara fitrah kemanusiaan berarti meletakkan nalar sesuai batas-batas yang dimilikinya. Hal inilah yang menjadi pondasi tauhid para sahabat; menjalankan tauhid pada area batas nalar yang fitrah, dan memposisikan ”tirai” ketuhanan di luar jangkauannya.
Berbeda dengan masalah penciptaan alam semesta, Allah Swt. justru mendorong agar kita selalu meneliti dan memikirkannya. Dan itu disadari betul oleh Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya. Karena itu, area pemikiran mereka hanya terbatas pada fakta penciptaan ini. Artinya, untuk mengetahui zat Allah Swt. tidak perlu dengan memikirkan zat-Nya, tapi pikirkanlah bagaimana ciptaan-Nya. Pikirkan bagaiamana Allah Swt. menata alam semesta sedemikian teratur dan sistematis. Pikirkan bagaimana Allah menghiasi alam semesta sedemikian indah. Sedangkan manusia, atau makhluk apapun selain Allah Swt., jangankan menciptkan dan mengatur alam semesta, membuat seekor lalatpun pasti tidak mampu (al-Hajj: 73). Selain itu, lihat pula alam sekeliling, bagaimana hujan diturunkan, kemudian bumi nan subur ini terbelah, lalu muncullah benih-benih biji-bijian yang kemudian membesar menjadi pepohonan, dan pada akhirnya menghasilkan buah-buahan guna memenuhi kebutuhan manusia (al-‘Abasa: 28).
Manusia juga diajak memikirkan asal penciptaan dirinya. Ia pada mulanya hanya setetes mani yang membuncah dari tulang-tulang rusuk, kemudian menjadi segumpal darah, lalu membesar menjadi segumpal daging yang kemudian dipakaikan tulang-belulang guna menguatkan dagingnya agar bisa tegak berdiri. Selain itu, pikirkan pula bagaiamana unta diciptakan, bagiamana langit ditinggikan, bagaiamana gunung ditegakkan, dan bagaiamana bumi dibentangkan (al-Ghasyiah:20). Pandang pula malam hari bagaiamana kilauan bintang-bintang di langit, rembulan dengan segala keindahannya, angin semilir yang menyejukkan jiwa, atau ketenangan malam hari dikala manusia telah terlelap tidur.
Ketika Nabi SAW. melihat sekumpulan sahabat sedang berkumpul dan termenung memikirkan sesuatu, beliau bertanya, ”Apa yang kalian pikirkan?”. ”Kami sedang berfikir tentang Allah,” jawab mereka. Mendengar jawaban itu, beliau justru bersabda: لا تفكروا في الله وتفكروا في خلق الله (jangan berpikir tentang Allah, tapi berpikirlah mengenai ciptaan-Nya). Tepat di titik inilah posisi tauhid generasi Nabi Saw. dan sahabat teruraikan, sehingga mereka mempercayai dan meyakini kebesaran dan keesaan Allah tanpa banyak bertanya atau mengandai-andai akan sesuatu yang tidak mungkin atau tidak masuk akal, tertutama yang berkaitan dengan Zat Allah Swt. Karena itu, kesimpulan kami adalah: Tauhid yang paling tepat kita ikuti adalah tauhid yang dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya.[1] Wallahu A’lam.
Tulisan ini merupakan ulasan dari buku yang berjudul Akidah Kaum Sarungan : Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid terbitan santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.