Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #25

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Karena kajian dalam seri ini lebih pada Sosio-Historis, penulis sangat suka menyajikan bahasan-bahasan soal kisah-kisah menarik yang dapat ditarik dari situ, nilai-nilai etis dan filosofisnya. Tentu agar menjadi hikmah bagi kita semua. Kali ini tentang ajaran kemandirian perempuan.

Sebelumnya, tentu kita sering mendengar “Di balik lelaki-lelaki hebat ada perempuan-perempuan hebat pula”. Untuk itulah, kenapa perempuan dalam Islam dianggap sebagai madrasah pertama bagi calon manusia-manusia dewasa.

Tak heran di sekeliling Kiai Hasyim, ada perempuan-perempuan keren yang mempengaruhi keberhasilan dakwah Kiai Hasyim. Sebut saja, istri-istri beliau. Nyai Khodijah misalnya, perempuan pertama yang mengisi relung hati Kiai Hasyim yang menemani selama masa awal perjuangan belajar di Tanah Haram. Dedikasi beliau sangat tinggi mengikuti jejak suami.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nyai Nafisah apalagi, perempuan tangguh yang satu ini, bahkan menemani perjuangan awal Kiai Hasyim mendirikan Tebuireng, rela tidur di ruangan sempit, untuk nirakati perjuangan sang suami, padahal merupakan seorang putri kiai ternama di Kediri. Saat Tebuireng baru umur 2 tahun, beliau malah kapundut ke Hadirat Allah. 

Nyai Nafiqoh juga demikian, tirakat yang kuat. Ahli puasa, ahli ibadah, wiridan kuat. Tak heran keturunan-keturunannya juga hebat-hebat, yaitu Nyai Khoiriyah, Nyai Aisyah, Nyai Azzah, Nyai Hannah, Kiai Abdul Wahid, Kiai Abdul Kholik, Kiai Abdul Karim, dan Kiai Muhammad Yusuf.

Lalu Nyai Masruroh, seorang pendidik yang kuat, istri terakhir Kiai Hasyim ini membesarkan pondok putri al Masruriyah, di mana saat itu Tebuireng belum membuka pondok khusus untuk putri. 

Salah satu putri beliau, Nyai Khoiriyah misalnya. Putri tertua Kiai Hasyim ini sangat nyentrik pada zamannya. Membawa segudang kitab untuk dibawa ikut sebuah majlis bahtsul masa’il yang sejak dulu didominasi oleh pria.

Di Mekkah bahkan beliau mendirikan sekolah mandiri, khusus untuk perempuan. Di Jombang pun, beliau mendirikan pondok dengan disokong sang ayah, tentu khusus untuk putri, di daerah Seblak dekat Tebuireng. 

Mengenai kemandirian dan ketangguhan perempuan, ada peristiwa menarik yang disaksikan oleh Muhammad As’ad Shihab, intelektual asal Lebanon yang kala itu berkunjung ke Tebuireng untuk mewawancarai Hadratussyaikh.

Hal itu ia tuangkan dalam buku hasil penelitiannya berjudul “’Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia” atau “Mahaguru Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia” (diterbitkan ulang oleh Pustaka Tebuireng dengan judul “Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia”).  

Dalam catatan itu, ia menceritakan ada sejumlah ibu-ibu muslimat (kemungkinan embrio Muslimat NU) mendatangi beliau dan memberikan beberapa uang sumbangan hasil penarikan di bulan Ramadan kepada beliau. Dengan tujuan uang itu bisa berguna untuk beliau dan pondok. Apalagi pada waktu itu merupakan Ramadan yang bisa saja dipakai untuk kegiatan menyemarakkan bulan suci.

Namun, Kiai Hasyim justru mengembalikan uang itu dengan halus. Beliau malah memberikan nasihat bahwa penting sekali bagi perempuan untuk mandiri, terdidik, dan kerja keras. Kiai Hasyim menjelaskan sebaiknya uang itu dipakai untuk membangun madrasah khusus kalangan perempuan.

Beliau tidak mau memanfaatkan ketokohan dan kepemimpinan beliau untuk mendapatkan belas kasih dan sumbangan dari orang lain. Beliau berkata, “Sekarang giliran saya menyerahkan sejumlah uang ini kepada kamu sekalian, agar kalian membangun madrasah untuk mendidik putra-putri muslimah agar mereka, menjadi wanita-wanita teladan yang baik, yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama”. 

Setelah pulang, dalam buku Abu Bakar Atjeh “Karangan Tersiar” menyebut perempuan-perempuan tangguh itu kembali ke daerah-daerah masing-masing, dan menjadi pioner perjuangan pendidikan dan kemandirian perempuan. Mereka mendirikan lembaga yang sampai sekarang ada. Sayang tidak disebutkan nama dan asal daerah perempuan-perempuan itu. 

Setelah peristiwa itu, KH. Hasyim Asy’ari dalam kesempatan memberikan ceramah dan pengajaran kepada para santrinya menjelaskan pentingnya mandiri dan kerja keras sebagai bagian dari ajaran Islam.

Beliau mengutip perkataan Umar bin Khattab ra. yang membantah sebagian orang yang menganggap bahwa tawakkal dan sabar sebagai pasrah kepada Allah sepenuhnya tanpa ikhtiar dan usaha.

“Umar berkata, ‘Allah tidak akan menurunkan emas dari langit’.”

“Tidak hanya Umar, Abu Hanifah juga pedagang kain yang rajin. Untuk itu dijuluki al  Bazzar,” tambahnya.

“Ayah Imam al Ghazali juga seorang pemintal benang. Sari al-Saqathi, seorang sufi besar, seorang saudagar bangunan. Abu Qosim al-Junaidi, memiliki toko pemecah kaca, dan dilayani sendiri. Mereka bekerja bukan karena kedonyan (keduniawian) tetapi memang begitu ajaran Islam.”

Apa yang beliau sampaikan bukanlah isapan jempol, Kiai Hasyim mempraktikkan hidup mandiri itu dalam kehidupan beliau. Selain bertani dan bercocok tanam. Kiai Hasyim juga berdagang kuda di pasar Cukir pada hari Pon. Saat hari itu, ngaji santri diliburkan seharian. Kegiatan diganti dengan roan (kerja bakti).

Hasil berjualan kuda itu dipakai beliau untuk membeli kitab untuk bahan menulis atau mengarang kitab. Kebiasaan berdagang kuda ini dari sahabatnya Marto Lemu, sahabat sekaligus santri beliau yang juga mantan preman yang diinsafkan beliau.

Marto Lemu punya jaringan luas soal perdagangan kuda, bahkan hingga pasar luar kota. Kuda-kuda mandor tebu dijual untuk keperluan judi. Marto Lemu menginformasikan kepada Kiai Hasyim dan langsung berangkat ke pasar untuk berjual-beli kuda. Setelah jual beli kuda, bersama Marto Lemu ini, Kiai Hasyim naik kereta ke Pasar Gubeng Surabaya untuk membeli buku atau kitab berbahasa Melayu, Arab, dan Jawa.

Saking banyak yang membeli, sampai tidak kuat membawa. Saking banyaknya kuda yang diperjualbelikan, sampai harus membuat kandang kuda di dekat kolam ikan. Kitab-kitab yang dibeli menjadi koleksi di perpustakaan Tebuireng. Setiap dua minggu sekali, Kiai hasyim menjualkan hasil kebun di pasar Cukir. Beliau sendiri yang menjualnya, ditenami oleh dua orang santri beliau, yang kelak juga jadi kiai besar, Kiai Ahyat Khalimi Mojokerto dan Kiai Muchtar Syafaat Banyuwangi.

Dengan pembelajaran kepada para santri dan umatnya itu, Kiai Hasyim telah menginspirasi Muslimat NU menjadi Banom yang paling mandiri saat ini. Bahkan saat ini Muslimat NU telah memiliki 144 panti asuhan, 9.800 PAUD, TK dan RA, klinik, rumah Sakit, serta koperasi. Muslimat NU menjelma menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia dengan jaringan internasional yang mumpuni.

Mungkin saja, nasihat Kiai Hasyim dalam peristiwa yang disaksikan oleh Muhammad As’ad Shihab itu benar-benar marasuk ke sanubari para pengurus Muslimat NU kala itu hingga sekarang menjadi benar-benar terwujud. Perempuan harus mandiri. Sebuah ajaran yang harus diterapkan oleh para perempuan muslimah, khususnya Nahdliyat di seluruh belahan dunia.

Sumber:

M Sanusi, Kebiasaan-kebiasaan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari terbitan Diva Press Yogyakarta tahun 2013

M. As’ad Shihab, Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia, diterbitkan Dar as Shadiq, Beirut, Lebanon

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari.