Sumber: Google.com

Oleh: Silmi Adawiya*

Islam menganjurkan agar para orangtua agar memberikan nama kepada anaknya dengan benar dan baik, karena nama adalah sebuah do’a. Maka dari itu pemberian nama dalam Islam pun tidak boleh sembarangan. Di antara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat membawa pengaruh pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab mengatakan,

لِكُلِّ مُسَمَّى مِنْ اِسْمِهِ نَصِيْبٌ

Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.

Ini menunjukkan  jika nama yang diberikan adalah nama yang terbaik, maka atsar-nya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa nama yang terbaik adalah ‘Abdullah karena nama tersebut menunjukkan penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, dalam beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama dengan sebab-sebab tertentu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nama yang dimakruhkan adalah  nama yang mengandung arti keberkahan atau yang menimbulkan rasa optimisme. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah keganjalan hati ketika mereka dipanggil namun orang tersebut tidak ada di tempat. Hal itu sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shahih :

عن سمرة بن جندب. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (أحب الكلام إلى الله أربع: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر. لا يضرك بأيهن بدأت. ولا تسمين غلامك يسارا، ولا رباحا، ولا نجيحا، ولا أفلح، فإنك تقول: أثم هو؟ فلا يكون. فيقول: لا)

Dari Samurah bin Jundub ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Perkataan yang paling dicintai oleh Allah ada empat : Subhaanallaah, alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, dan allaahu akbar. Tidak masalah yang mana di antara kalimat itu akan engkau mulai. Dan janganlah engkau namai anakmu dengan Yasaar, Rabaah, Najiih, dan Aflah. Sebab, engkau nanti akan bertanya : ‘Apakah ia ada di tempat ?’. Jika ternyata tidak ada, maka akan dijawab : ‘Tidak ada’” [HR. Muslim ]

Maksud hadis di atas adalah jika orang tersebut bernama Rabaah (yang bermakna beruntung), lantas ada seseorang yang mecarinya: “apakah rabaah ada di rumah?”, jika tidak ada maka akan dijawab; “Rabaah tidak ada di rumah’. yang juga bermakna keberuntungan tidak ada di rumah ini. Begitupun dengan nama-nama lain yang yang semisal dengan Rabaah.

Nama yang mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri juga dimakruhkan. Sebagaimana Rasulullah yang pernah mengganti nama Barrah menjadi Zainab.

عن أبي هريرة : أن زينب كان اسمها برة، فقيل: تزكي نفسها، فسماها رسول الله صلى الله عليه وسلم زينب

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Zainab dulu bernama Barrah. Maka pernah dikatakan padanya : “Ia telah men-tazkiyyah-i (menganggap suci) dirinya sendiri”. Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Zainab [HR. Al-Bukhari ]

Imam Ath-Thabari dalam kitab Fathul Baari juga menjelaskan bahwa tidak sepantasnya memberikan nama seorang anak dengan nama yang mengandung makna buruk, nama yang mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri, dan nama yang mengandung celaan. Sekalipun hanya sekedar untuk pengenal bagi seseorang, tidak dimaksudkan untuk hakekat sebenarnya. Namun tetap saja sisi kemakruhannya adalah ketika nama itu disebutkan, orang mengiranya bahwa sifat tersebut memang ada pemilik nama tersebut. Beliau menyebutkan:

فلذلك كان صلى الله عليه وسلم يحول الاسم إلى ما إذا دعي به صاحبه كان صدقا، وقد غير رسول الله صلى الله عليه وسلم عدة أسماء

“Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama-nama tersebut dengan nama yang sesuai dengan orangnya

Nama-nama yang dimakruhkan di atas layaknya kita hindari. Alangkah lebih indahnya jika anak diberikan nama yang mengandung doa (Mar’atus Sholihah), nama sahabat nabi yang saleh (Umar) atau nama-nama indah lainnya. Asalkan tidak mengandung tazkiyah (pujian) terhadap diri sendiri


*Penulis Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.