Ilustrasi gambar: www.google.com

Oleh: Fathur Rohman*

Di sebuah perguruan tinggi ada seorang dosen muda yang dulunya merupakan mahasiswa yang belajar di kampus tempat mengajarnya sekarang, sehingga ia akan sering bertemu dengan dosen-dosennya pada waktu ia kuliah di kampus tersebut dan tidak jarang harus berbeda pendapat dengan dosen-dosennya dalam hal beberapa teori keilmuan yang terkadang membuat mahasiswanya bingung.

Satu hari ada mahasiswa yang penulisan skripsinya dibimbing oleh dosen muda tersebut, kemudian ia menjalani ujian skripsi, kebetulan pengujinya adalah dosen-dosen senior yang merupakan dosen yang pernah mengajar dosen muda tersebut. Ketika proses ujian skripsi ada beberapa hal yang disalahkan oleh para pengunjinya yang merupakan pendapat dari dosen muda tersebut. Kebetulan waktu itu dosen muda tersebut tidak bisa mendampingi anak bimbingannya karena ada udzur atau ada kewajiban lain yang harus dikerjakan.

Setelah ujian skripsi selesai beberapa hari, mahasiswa bimbingannya menghadap dosen muda tersebut dan menceritakan bahwa teori, istilah, metode penelitian atau tulisan yang ada dalam skripsinya disalahkan oleh pengujinya, padahal itu semua merupakan pengetahuan yang betul-betul dikutip dari buku-buku referensi yang berkualitas dan ilmiah. Dosen muda tersebut hanya mendengarkan semua keluhan mahasiswanya yang terkesan menyalah-nyalahkan dosen pengujinya.

Setelah mahasiswa bimbingannya selesai bercerita. Dosen muda tersebut bertanya pada mahasiswanya: siapakah dosen yang menguji dan menyalahakan itu? Mahasiswanya menjawab: beliau adalah pak ini. Seketika dosen muda tersebut mengingat bahwa penguji itu adalah gurunya waktu ia jadi mahasiswa di kampus tempat mengajarnya sekarang. Spontan dosen muda tersebut berkata pada mahasiswanya: ikutilah pendapat beliau, dan tinggalkan pendapat saya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mahasiswanya kaget karena selama ini ia mengenal dosen muda tersebut adalah orang yang idealis dan kuat pendiriannya, lantas mahasiswa tersebut bertanya lagi: tapi bapak bukankah pendapat bapak itu semua ada refensinya yang jelas, sementara pendapat dosen penguji itu tidak ada rujukannya yang jelas, karena ketika saya tanyak beliau hanya menjawab: biasanya begini, bukan berbasis buku referensi seperti bapak. Lalu dosen muda tersebut bekata kepada mahasiswanya: karena beliau adalah guru saya, dosen saya waktu saya kuliah di sini, bisa jadi yang kamu sampaikan itu benar dan kamu memang punya hak untuk mengikuti pendapat saya, jadi silahkan bila mau mengikuti pendapat saya, namun saya adalah muridnya dan saya merasa kurang sopan bila saya harus berselisih pendapat yang menyebabkan mahasiswa bingung atau mahasiswa lebih memilih pendapat saya dari pada pendapat beliau, sementara beliau adalah guru saya, saya khawatir beliau malu di hadapan mahasiswanya karena kata-katanya tidak diikuti dan lebih memilih mengikuti kata-kata orang yang dulunya adalah muridnya.

Itulah kenapa saya lebih memilih membuat guru saya tetap terhormat di hadapan mahasiswa dari pada saya harus mengalahkan pendapat beliau di hadapan mahasiswa saya. Mahasiswanya berkata: iya bapak saya mengerti bahwa adab itu di atas ilmu. Dosen muda tersebut berkata: terima kasih sudah memahami apa yang ingin saya ajarkan pada kamu, dan dosen muda tersebut melanjutkan perkataannya: saya dan beliau-beliau, dosen-dosen saya sudah terbiasa berbeda pendapat, bahkan saling adu argumen saat di forum diskusi resmi dan tidak formal, rapat, majelis sidang ujian skripsi, dan forum-forum ilmiah lainnya. Kemudian mahasiswa tersebut berpamitan dengan tanpa adanya rasa kebencian walupun hasil kerjaannya menulis skripsi di salahkan dan harus direvisi dengan bimbingan penuh.

Suatu hari dosen muda dan dosen senior tersebut diundang menghadiri acara anniversary (hari ulang tahun) salah satu prodi di kampus mereka, keduanya menghadiri acara tersebut dan duduk berderet bersama dosen-dosen yang lainnya. Pada saat memasuki sesi sambutan, ternyata dosen senior tersebut diminta untuk memberi sambutan pada acara tersebut.

Ketika memberi sambutan, dosen senior tersebut memuji dosen muda yang notabenenya adalah muridnya dengan mengatakan bahwa dosen muda ini meskipun dulu adalah mahasiswa saya atau murid saya, namun sekarang ia telah melampaui saya karena ilmunya banyak bermanfaat untuk banyak orang, ia sering mengisi seminar-seminar, bahkan menjadi pembicara di kampus lain, ia juga menulis buku-buku yang digunakan sebagai rujukan utama di berbagai perguruan tinggi besar dan kecil di negeri ini, jadi kalau bisa diumpamakan saya dengan dia adalah seperti Ibnu Malik dan Ibnu Aqil yang kedua-duanya merupakan ulama’ nahwu, saya Ibnu Maliknya dan ia Ibnu Aqilnya, karena karya-karya saya dan apa yang saya lakukan tidak seperti beliau.

Keduanya adalah guru murid, Ibnu Aqil adalah murid Ibnu Malik, namun Ibnu Aqil lebih terkenal namanya dan karyanya dari pada gurunya yang bernama Ibnu Malik, namun Ibnu Aqil tetap menghormati gurunya walaupun banyak orang lebih menggenalnya dan mempelajari kita-kitabnya. Dan ketahuilah oleh kalian semua bahwa guru yang sukses adalah guru yang bisa mendidik muridnya melebihi dirinya.

Mendengar perkataan tersebut, dosen muda itu kaget teryata gurunya berani mengatakan hal itu di hadapan banyak orang, tidak mengunggulkan kemampuan keilmuannya dan posisinya sebagai guru dosen muda tersebut, tetapi mendahulukan bagaimana adab keilmuan yang baik sesama dosen agar saling menjaga kehormatan satu sama lain di hadapan para mahasiswanya.

Begitulah indahnya bila orang-orang yang berilmu itu lebih mengedapankan adab dari pada mengedepankan ilmunya masing-masing, bukan hanya saat bertemu namun saat mereka tidak saling bertatap muka, sehingga tidak membuat binggung dan perselisihan di antara para pengagumnya masing-masing. Bukankah perbedaan dalam kebersamaan dan persatuan itu lebih indah!.

Allahu a’lam bisshowab.

*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.