
Sepanjang sejarah manusia, sosok perempuan menempati peran yang sangat penting namun jarang tercatat. Mereka membesarkan, mendidik, merawat, dan menjaga nilai-nilai dalam kehidupan. Namun sayangnya, sejarah yang kita baca saat ini masih banyak yang abai terhadap suara mereka, dan lebih sering hilang begitu saja karena termakan oleh diam. Nama Perempuan sering kali luput dari bacaan buku-buku sejarah besar, yang menjadikan seolah-olah mereka tidak memiliki kontribusi yang cukup penting untuk dicatat dan diabadikan.
Tulisan menjadi salah satu upaya untuk mengisi kekosongan akan sejarah itu. Saat perempuan menuangkan pemikirannya melalui tulisan, mereka sejatinya bukan hanya sedang merangkai kata-kata, tetapi sedang mengambil kembali ruang yang selama ini diisi oleh suara-suara lain. Sehingga di tengah-tengah kebisuan, menulis menjadi bentuk keberanian untuk berbicara. Tulisan mereka memang terbentuk secara sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itulah terdapat kekuatan yang mampu mengubah cerita bahkan dunia dan sekaligus menjadi sarana untuk menyuarakan kehidupan yang selama ini masih sering kali tersembunyi.
Seperti yang dikatakan oleh Ning Khilma Anis, sosok perempuan pegiat literasi yang tumbuh dari lingkungan pesantren, “Ojo mati tanpo aran,” yang artinya “jangan mati tanpa nama.” Ungkapan ini mengandung pesan bahwa setiap orang, khususnya perempuan, layak untuk meninggalkan jejak. Kutipan ini sangat relevan bagi perempuan, terutama di lingkungan pesantren, yang seringkali dibentuk untuk diam dan menyimpan cerita mereka sendiri. Ning Khilma Anis menekankan akan pentingnya menulis untuk dijadikan sebagai perantara guna menyalurkan pemikiran dan perasaan, karena dengan adanya sebuah karya maka seseorang akan meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi orang lain dan tentunya tidak lekang oleh waktu.
Baca Juga: Memperbaiki Mindset Peran Perempuan dan Laki-laki
Di balik sunyi dan kesederhanaan kehidupan pesantren, sesungguhnya ada kekuatan luar biasa yang tak selalu tampak oleh mata. Banyak perempuan hebat yang kita jumpai. Ada sosok Ibu Nyai yang bukan hanya menjadi istri kiai, tetapi juga menjadi ruh kedua yang ikut serta dalam mengembangkan dan melanjutkan tradisi keilmuan.
Ada pula ustadzah, ia bukan hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing dan teladan. Peran yang strategis karena berada di garis untuk pembentukan karakter. Sampai kepada yang tidak pernah tertinggalkan yakni santri-santri perempuan, yang gigih dalam menuntut ilmu lalu merenungi setiap ilmu yang didapatkan dengan jalan ketenangan di pojok-pojok kamar mereka.
Masing-masing dari mereka semua memiliki pemikiran dan perasaan yang layak dibagikan. Sayangnya, seringkali budaya diam meredam suara mereka. Padahal menulis bisa menjadi perjalanan spiritual yang dalam pengabdiannya sejajar dengan berdakwah.
Dalam Islam, bagian yang termasuk amal jariyah adalah menulis. Tulisan yang bermanfaat akan menjadi pahala yang akan terus mengalir, bahkan setelah ia tiada. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pena sebagai alat penting, dan wahyu yang turun pertama adalah perintah untuk iqra’ (bacalah). Hal ini menunjukkan bahwa ada ajakan untuk mencatat dan menyebarkan ilmu. Maka di saat perempuan menulis, mereka turut serta dalam tugas yang mulia, menyebarkan ilmu serta bisa dijadikan upaya untuk memperjuangkan keadilan melalui narasi.
Namun tantangannya tidak sedikit, menulis bagi perempuan tidak selalu gampang. Bukan hanya soal keberanian pribadi, tetapi perempuan masih kerap kali dibentuk untuk menjadi pendengar bukan penyampai suara. Mereka masih banyak dibayangi oleh rasa tidak percaya diri, minder, tidak layak, atau bahkan bingung akan memulai dari mana. Padahal setiap pengalaman dan pelajaran personal perempuan adalah bagian yang layak untuk dibagikan dan didengar. Seperti kisah seorang ibu yang menuliskan perjuangan membesarkan dan mendidik anaknya dalam keterbatasan, santri perempuan yang mencatat perjalanannya dalan pencarian jati diri, dan masih banyak lagi. Semua itu menjadi dokumen penting yang menyimpan banyak perspektif yang sangat layak untuk dibagikan.
Baca Juga: Rekonstruksi Peran Perempuan Perspektif Kiai Husein Muhammad
Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk memberi ruang aman kepada perempuan. Bukan hanya ruang semu, bukan hanya sekadar ruang sebagai bentuk formalitas saja. Melainkan ada ruang aman yang betul-betul mendukung perempuan untuk tumbuh dan berkembang. Sehingga bisa bersama-sama memulai untuk menulis dan mendukung karya-karya perempuan lain. Bukan hanya ruang basa-basi, tetapi ruang yang benar-benar mendukung penuh untuk tumbuh keberanian. Karena menulis bukan hanya perihal teknis, tetapi juga bagian dari proses untuk menemukan diri dan bahkan proses untuk menyampaikan kebenaran.
Perempuan menulis bukan hanya sekadar merangkai kata-kata, tetapi juga mencari makna yang selama ini hilang dalam keheningan. Dengan menulis, perempuan akan mencetak sejarahnya sendiri. Suara mereka dihargai, dan kisah mereka layak untuk didengar.
Baca Juga: Perempuan yang Berani Mengambil Peran
Penulis: Puput Nur Avita, Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Hasyim Asy’ari.
Editor: Rara Zarary