Ilustrasi Nurcholish Madjid, intelektual dari kota santri, Jombang (sumber: tribhunnews)

Nurcholish Madjid adalah seorang putra kelahiran Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Dilahirkan dari kalangan keluarga pesantren yang Ayahnya adalah KH Abdul Madjid, seorang kiai Alumni Pesentren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh pendiri Nahdatul Ulama (NU) Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Nurcholish Madjid meninggal pada tanggal 29 Agustus 2005 dalam usia 66 tahun. Ia adalah salah satu dari pemikir Islam terbaik Indonesia yang telah mengontribusikan pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya dalam apa yang ia sebut tahun 1990 sebagai mempersiapkan umat Islam Indonesia memasuki zaman modern.

Menempuh Pendidikan di Pondok Pesantren

Dengan basis pengetahuan agama dan kemampuan untuk menguasi kitab kuning pada tahun 1995, Nurcholish Madjid akhirnya melanjutkan pendidikan ke Kulliyyat al-Mu’allim al-Islamiyyah (KMI) di Pondok Pesantren Darussalam, Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dan lulus pada tahun 1960.

Baca Juga: Cak Nur, Cendekiawan Muslim Kontroversial

Melihat kecerdasan dan otaknya yang cermerlang rupanya tidak disia-siakan oleh pimpinan pesantren Gontor, KH. Zarkasyi. ini dibuktikan oleh keinginan KH. Zarkasyi untuk mengirimkan Nurcholish Madjid ke Universitas al-Azhar, Kairo, setelah menamatkan studinya di Gontor. Tetapi karena di Mesir pada saat itu tengah terjadi krisis terusan Suez yang cukup kontroversial, keberangkatan Nurcholish Madjid tertunda. Maka sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir, beliau memanfaatkan untuk mengajar di Pondok Pesantren Gontor selama satu tahun. Namun waktu yang ditunggu-tunggu untuk berangkat ke Mesir tidak kunjung tiba.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Membangun Karir Akademisi dan Organisasi

Akhirnya muncul berita bahwa kala itu Mesir sulit memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid melanjutkan studi ke al-Azhar, Kairo. Tetapi KH. Zarkasyi bisa menghibur dan tidak kehilangan akal. Lalu ia mengirimkan surat ke IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta) dan meminta agar murid kesayangannya itu bisa diterima di lembaga tinggi Islam yang bergengsi itu. Berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang berada di IAIN Syarif Hidayatullah, kemudian Nurcholish Madjid diterima sebagai mahasiswa tanpa menggendong ijazah Negeri.

Di IAIN Syarif Hidayatullah beliau memilih jurusan yang sangat relevan dengan latar belakang pendidikan yang telah diterimanya. Ia mengambil Fakultas Adab jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam. Nurcholish Madjid berhasil menyelesaikan program sarjana lengkapnya pada tahun 1968, dengan menulis skripsi yang berjudul: Al-Qur’an, “Arabiyyan Lughatan wa ‘Alamiyyan Ma’nan”, yang maksudnya adalah “Al-Qur’an dilihat secara bahasa bersifat lokal dan dilihat secara istilah bersifat global“ (ditulis dengan menggunakan bahasa Arab).

Pada saat menjadi mahasiswa itu Nurcholish Madjid berkenalan dengan organisasi yang dari sana kelak ia mengguncang pemikiran Islam di tanah air dan di situ pula ia mengenalkan gebrakan pemikiran Islam sebagai seorang intelektul Indonesia dimulai. Sesuai dengan pribadinya yang suka bereskplorasi, Nurcholish Madjid berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dibesarkan sekaligus membesarkannya. Di HMI beliau sangat aktif sehingga setiap jenjang organisasi dilalui dengan penuh semangat, mulai dari komisariat lalu menjadi ketua umum HMI Cabang Jakarta hingga akhirnya berhasil menjadi ketua umum PB HMI.

Pada saat menjabat sebagai Ketua Umum HMI, Nurcholish Madjid telah menyelesaikan menyusun buku materi perkaderan tentang keislaman yang berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang kemudian diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi bacaan wajib yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota Himpunan Mahasiswa Islam.

Baca Juga: Obituari Bersama KH. Ishaq Latif (65)

Dilatar belakangi aktivitasnya yang sangat intens di HMI, tidak heran kalau pada tahun 1967-1969, Nurcholish Madjid terpilih sebagai presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara). Saat beliau menjabat Presiden PEMIAT, Malaysia berhasil ditarik sebagai salah satu anggota organisasi Islam regional tersebut, dan ketika itu pulalah beliau pertama kalinya berkesempatan pergi keluar negeri, yaitu ke Malaysia.

Berkelana ke Berbagai Negara

Pada tahun Oktober 1968, Nurcholish Madjid berangkat ke Amerika Serikat untuk memenuhi undangan State Departemen, dalam rangka mengikuti “Professional Muda dan Tokoh Masyarakat”. Karena Nurcholish Madjid pada dekade ini masih sangat mencurigai dan anti terhadap pemikiran Barat, maka menurut salah seorang pejabat kedutaan besar Amerika Serikat, ia diundang sekedar memperlihatkan apa yang ia benci selama ini.

Kunjungan Nurcholish Madjid yang atas undangan pemerintah Amerika Serikat berlangsung selama lima pekan. Selepas itu, Nurcholish Madjid tidak langsung kembali ke Tanah Air, melainkan singgah dan melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah. Seperti diakuinya sendiri, semula Nurcholish Madjid kurang bersemangat diundang ke Amerika Serikat dan lebih ingin ke Timur Tengah. Tetapi akhirnya Nurcholish Madjid ke Timur Tengah selepas dari Amerika Serikat dengan sisa bekal yang ada.

Sepulang dari Amerika dan Timur Tengah, Nurcholish Madjid segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah babak kedua. Bedanya pada gelombang yang kedua, Nurcholish Madjid beserta rombongan 10 anggota PB HMI untuk berhaji, atas undangan Menteri Pendidikan Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Hasan bin Abdullah Ali Syaikh, sebagai hadiah atas ketertarikan sang menteri terhadap gerakan kemahasiswaan di Indonesia, seperti dipaparkan Nurcholish Madjid pada kunjungan pertamanya. Bersama rombongan haji PB HMI ini, Nurcholish Madjid meneruskan ke Riyadh, Madinah, Mekkah kemudian ke Khartoum untuk berdialog dengan Hassan Turabi dari Umin University. Rombongan ini kemudian melanjutkan perjalanan ke Irak, Mesir, Libanon, dan ke Pakistan.

Selesai menjabat ketua umum PB HMI yang kedua kalinya pada tahun 1971 Ia lebih banyak menulis untuk mengaktualisasikan pemikiran-pemikiran selama di HMI. Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bersamaan dengan itu, ia pernah juga berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, pada tahun 1990 didampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.

Pada Maret 1978 ia memperoleh beasiswa dari Ford Fondation guna melanjutkan ke Universitas Chicago, dan dari sanalah ia meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Kalam dan Filsafat dengan prediket Summa Cumlaude pada tahun 1984, dengan disertasinya yang berjudul Ibnu Taymiyah On Kalam and Falsafah: A Problem Of Reason and Revealation In Islam (Ibnu Taymiyah tentang Kalam dan Filsafat : Suatu Persoalan Antara Akal dan Wahyu dalam Islam). Selama di Universitas Chicago, pada tahun 1978-1984, secara leluasa Nurcholish Madjid bisa mengunjungi perpustakan Islam Klasik dan Islam abad pertengahan yang begitu luas dan kaya langsung di bawah mentor ilmuan neo-modernis asal Pakistan, yakni Prof. Dr. Fazlur Rahman. Akibatnya pemikiran neo- moderins mulai diserap oleh Nurcholish Madjid dan pengertian baru pemikiran dan praktek neo-modernis.

Baca Juga: Biografi KH. M. Yusuf Hasyim: Kiai Militer Pengawal Ideologi NKRI Berbasis Pesantren

Sejak tahun 1986, bersama beberapa tokoh pemikiran lain, ia mendirikan serta memimpin langsung Yayasan Wakaf  Paramadina yang menurut pemaparannya merupakan lembaga tempat beliau dan teman-teman dengan bebas mencurahkan segala ide-ide pemikiran dan gagasanya. Paramadina adalah nama yang diambil dari bahasa Sansekerta (prama) yang berarti utama atau unggul. Sedangkan (dina) diadopsi dari bahasa arab din yang berarti agama. Jadi paramadina agama pertama dan utama dan leluasa mengembangkan wawasan dan fikiran, karena sesuai dengan tujuan awal pendiriannya adalah sebagai gerakan intelektual Islam di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban.

Pada tahun ini juga, Nurcholish Madjid manjadi salah seorang peserta SSRC (Social Science Research Counci) di New York, Amerika Serikat, sampai pada tahun 1988. Selanjutnya pada tahun 1990 ia bersama istrinya menjadi peserta Eisenhower Fellowship di Philadelphia, Amerika Serikat, yang kemudia pada tahun 1991-1997 telah menjadi anggota dewan pers. Satu tahun setelah itu, yakni pada tahun 1992-1995, Nurcholish Madjid tercatat sebagai salah seorang anggota, Streering Commitie, The Aga Khan Awerd For Architecture. Kemudian pada tahun 1993 ia menjadi anggota KOMNAS HAM (Komite Nasional Hak Asasi Manusia), yang akhirnya juga sebagai anggota Dewan Riset Nasional pada tahun 1994. Pada tahun 1995, Nurcholish Madjid menerima ”Hadiah Budaya” dari ICMI (Ikatan Cedikiawan Muslim Indonesia) Pusat dan MPR RI.



Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary