Grup Facebook Fantasi Sedarah
ilustrasi

Keluarga merupakan sebuah institusi yang setiap anggotanya berperan untuk saling melindungi satu sama lain, baik secara fisik maupun mental. Ketika ada seseorang mengalami ancaman fisik dan mental, keluargalah yang menjadi garda terdepan untuk melindunginya.

Namun, pengertian keluarga yang penuh dengan peran mulia tersebut seolah-olah menjadi pudar, ketika media sosial ramai informasi akan fenomena sebuah grup di media sosial Facebook yang berisi tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Di dalam grup tersebut membincangkan fantasi seksual yang dilakukan/akan dilakukan kepada keluarganya sendiri (selain suami-istri), termasuk dengan saudara kandung dan anak kandung sendiri. Anggota dari grup tersebut berjumlah sekitar 32,000. Para anggota dari grup tersebut saling berbagi pengalaman akan fantasinya.

Hubungan seksual seseorang dengan saudara, anak, orang tua pada dasarnya merupakan hal yang dilarang. Karena termasuk dari kategori mahram (haram untuk dinikahi). Jika orang termasuk kategori haram untuk dinikahi, maka dia haram untuk digauli pula. Adapun tanpa digauli, namun dengan cara masturbasi, maka hal itu tetap dilarang, karena masturbasi yang diperbolehkan hanya dilakukan oleh suami ataupun istri.

Larangan Menceritakan Hubungan Seksual

Dalam Shahih al-Muslim, hadits nomor 1437, Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “Sesungguhnya termasuk orang yang kedudukannya paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang berhubungan dengan istrinya, kemudian dia menyebarkan rahasia ranjang mereka kepada orang lain.” (HR. Muslim)

Hadits ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَحْرِيمُ إِفْشَاءِ الرَّجُلِ مَا يَجْرِي بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ مِنْ أُمُورِ الِاسْتِمْتَاعِ وَوَصْفِ تَفَاصِيلِ ذَلِكَ وَمَا يَجْرِي مِنَ الْمَرْأَةِ فِيهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ وَنَحْوِهِ

Artinya: “Hadits ini melarang seorang laki-laki untuk menceritakan hubungan seksual antara dirinya dengan istrinya, menceritakan detailnya dan apa yang dilakukan oleh wanita tersebut, baik dengan perkataan, perbuatan, dan sebagainya”.(Abu Zakariya An-Nawawi, Sharhun Nawawi ‘ala Muslim [Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabiy, 1392 H] Juz 10 Hlm 8)

Dari uraian hadits beserta penjelasan dari Imam An-Nawawi tersebut, kita bisa memahami bahwa di dalam menjalani hubungan pernikahan, antara suami dan istri tidak diperbolehkan untuk menceritakan pengalaman seksualnya kepada orang lain, baik itu cerita secara langsung maupun virtual.

Hubungan seksual yang dilakukan setelah pernikahan antara suami dan istri merupakan sesuatu yang menjadi legal atau diperbolehkan. Jika kita perhatikan dengan logika yang disebut qiyas aulawi, hubungan seksual yang diperbolehkan tersebut saja dilarang untuk diceritakan kepada orang lain, apalagi hubungan seksual yang jelas-jelas tidak diperbolehkan.

Larangan Menceritakan Maksiat ke Media Sosial

Pelarangan menceritakan maksiat atau aib sendiri telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ:

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Artinya: “Semua umatku dima’afkan kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam hari, kemudian ketika pagi dia berkata (kepada orang lain), ‘Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu!’, padahal di waktu malam Rabbnya telah menutupinya (yaitu tidak ada orang yang mengetahuinya), namun di waktu pagi dia membongkar tirai Allah terhadapnya (yaitu menyampaikan kepada orang lain)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan bahwa termasuk al-Mujahir adalah orang yang menceritakan dosanya:

وَالْمُجَاهِرُ الَّذِي أَظْهَرَ مَعْصِيَتَهُ وَكَشَفَ مَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيُحَدِّثُ بِهَا

Artinya: “Mujahir (orang yang terang-terangan berbuat dosa), lalu menampakkan apa yang disembunyikan Allah darinya, kemudian membicarakannya”. (Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari Syarhi Bisyarhil Bukhari [Mesir: Al-Maktabah As-Salafiyah, 1390 H] Juz 10 Hlm 487)

Hadits ini menjelaskan bahwa kita tidak boleh melakukan maksiat secara terang-terangan. Salah satu dari melakukan maksiat secara terang-terangan adalah dengan cara menceritakan maksiat-maksiat yang telah dilakukannya kepada orang lain, lebih-lebih kepada orang banyak sebagaimana banyak yang terjadi di media sosial.

Menceritakan pengalaman bermaksiat di media sosial lebih-lebih dengan perasaan bangga seolah-olah menjadi prestasi, secara psikologis akan berdampak pada paradigma publik bahwa melakukan kemaksiatan bukan lagi menjadi hal memalukan, tapi membanggakan.

Contoh mudahnya adalah kasus grup Facebook yang telah diuraikan di atas. Bisa jadi, beberapa anggota dari grup tersebut sebenarnya malu untuk menceritakan aib mereka. Namun, karena mereka merasa ada orang serupa yang menceritakan dengan bangga, mereka sedikit banyak akan terpengaruh untuk ikut-ikutan.

Selain dari kasus tersebut, contoh lain bisa dilihat dari kasus beberapa pengguna Tiktok yang merasa bangga menceritakan bahwa dia sudah tidak perawan sebelum menikah, bangga sudah tidak perawan meski baru umur belasan tahun, bangga sudah digauli oleh banyak lelaki, dan sebagainya.

Dari paradigma publik yang seperti itu, kemudian banyak orang yang terpengaruh untuk ikut-ikutan menceritakan aibnya ke media sosial, yang pada awalnya ada yang hanya berani menceritakan secara samar (anonim), lama-lama akan menceritakan secara terang-terangan tanpa menutupi identitas. Ketika banyak orang yang melakukan hal demikian, maka yang dikhawatirkan adalah syiar-syiar kebaikan yang ada di media sosial secara algoritma akan tertutupi oleh hal yang berbau kemaksiatan. Wallahu A’lam.

Baca Juga: Waspada Konten Menyimpang di Media Sosial


Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi  

Editor: Muh Sutan