Salah satu hewan kurban yang diterima oleh panitia kurban di Pesantren Tebuireng (foto: panitia)

Hari Raya Iduladha merupakan momen suci yang tidak hanya dirayakan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, tetapi juga sebagai refleksi nyata dari rasa kemanusiaan dan solidaritas sosial. Salah satu bentuk ibadah utama pada hari besar ini adalah penyembelihan hewan kurban. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, kurban sejatinya adalah sarana untuk berbagi dengan mereka yang tidak mampu, agar seluruh lapisan masyarakat, terutama golongan miskin, bisa turut merasakan nikmatnya daging yang mungkin jarang mereka nikmati dalam keseharian. Namun, kenyataannya, pelaksanaan distribusi kurban di Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, masih menghadapi tantangan serius terkait keadilan dan pemerataan.

Salah satu fenomena yang kerap terjadi di Indonesia adalah ketimpangan distribusi daging kurban antara masyarakat kota dan desa, bahkan antara warga dalam satu wilayah yang sama. Di perkotaan, khususnya di wilayah padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, sering terlihat tumpukan daging kurban di tangan warga yang relatif mampu. Tidak jarang seseorang bisa menerima lebih dari satu bungkus daging kurban, sementara di wilayah lain yang terpencil atau tidak dikenal, banyak yang bahkan tidak mendapatkan sama sekali.

Baca Juga: Kresek Putih di Hari Kurban

Di sinilah nilai kemanusiaan seharusnya menjadi fondasi utama dalam pelaksanaan ibadah kurban. Kemanusiaan mengajarkan kita untuk peka terhadap penderitaan orang lain, untuk menyadari bahwa dalam kebahagiaan yang kita rasakan, ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah memerintahkan kurban bukan hanya sebagai bentuk ketaatan individual, tetapi juga sebagai mekanisme sosial untuk mengangkat martabat kaum dhuafa.

Rasa kemanusiaan yang tulus akan mendorong panitia kurban dan para shohibul qurban (orang yang berkurban) untuk tidak sekadar menyerahkan daging kepada siapa saja yang datang, melainkan mendistribusikannya secara cermat, terdata, dan berbasis kebutuhan. Mereka yang paling membutuhkan, seperti fakir miskin, lansia sebatang kara, anak yatim, buruh harian, dan masyarakat di pelosok harus menjadi prioritas utama dalam penerimaan daging kurban.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di desa-desa, terutama yang terpencil, tantangan utamanya adalah jumlah hewan kurban yang sangat terbatas. Banyak desa hanya mampu memotong satu atau dua ekor sapi, yang kemudian harus dibagi kepada ratusan kepala keluarga. Di sisi lain, semangat gotong royong dan rasa kekeluargaan yang tinggi sering kali membuat pembagian lebih merata dan adil. Para panitia kurban di desa umumnya mengenal betul kondisi ekonomi warganya, sehingga mereka bisa dengan mudah menentukan siapa yang benar-benar layak menerima.

Sementara di kota-kota besar, walau jumlah hewan kurban melimpah, tantangan utama justru terletak pada data dan sistem distribusi. Banyak panitia kurban tidak memiliki data akurat tentang siapa yang layak menerima, sehingga pembagian dilakukan secara umum—siapa cepat dia dapat. Tidak jarang pula masyarakat menengah ke atas ikut mengantre daging kurban, bukan karena butuh, tetapi karena merasa berhak. Hal ini mencerminkan bahwa rasa empati dan tanggung jawab sosial belum tumbuh secara merata di semua kalangan.

Kolaborasi dan Pemanfaatan Teknologi

Untuk menciptakan pembagian kurban yang adil dan merata, dibutuhkan langkah konkret dari berbagai pihak. Pertama, panitia kurban di setiap masjid atau lembaga sebaiknya bekerja sama dengan RT, RW, atau lembaga sosial lokal yang sudah memiliki data warga miskin. Pendataan yang akurat menjadi kunci untuk menghindari tumpang tindih atau pembagian yang tidak tepat sasaran.

Baca Juga: Sudahkah Kita Benar-benar Berkurban?

Kedua, perlu dikembangkan sistem distribusi berbasis teknologi. Di era digital, aplikasi atau sistem informasi geografis bisa membantu memetakan wilayah-wilayah yang kekurangan kurban dan mengarahkan kelebihan dari satu daerah ke daerah lain. Lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa dan ACT telah memulai inisiatif ini, dengan mengirimkan kurban ke daerah pelosok dan terdampak bencana.

Ketiga, edukasi kepada masyarakat sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, melainkan tentang keadilan sosial. Mereka yang mampu harus rela tidak menerima daging, agar bisa dialokasikan bagi mereka yang lebih membutuhkan.

Hikmah Kurban untuk Semua

Kurban adalah pelajaran tentang keikhlasan, pengorbanan, dan empati. Ketika pembagiannya dilakukan secara merata dan adil, maka hikmah kurban dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mereka yang hidup dalam keterbatasan akan merasakan bahwa mereka tidak sendiri, bahwa masih ada saudara seiman yang peduli.

Baca Juga: Meningkatkan Kualitas Iman dari Keikhlasan Berkurban

Lebih dari itu, kurban mampu menumbuhkan kembali rasa persaudaraan di tengah masyarakat yang semakin individualistis. Ia mengingatkan kita bahwa dalam harta yang kita miliki, terdapat hak orang lain yang wajib kita keluarkan. Dengan kurban, jurang sosial bisa dipersempit, dan kesenjangan ekonomi sedikit demi sedikit bisa teratasi, jika semangat kemanusiaan menjadi ruh dari setiap tindakan.


 


Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary