Ilustrasi konten menyimpang di media sosial (sumber: pantaucom)

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat dibuat terkejut oleh terungkapnya grup media sosial yang berisi konten “fantasi sedarah.” Grup ini tersebar di platform besar seperti Facebook, yang beranggotakan ribuan orang dan telah beroperasi selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi atau ditindak tegas. Kasus ini bukan hanya memalukan, tetapi juga membuka mata kita bahwa media sosial kini telah menjadi ruang yang tidak hanya bebas, tetapi juga rawan bagi konten menyimpang dan merusak.

Dari sudut pandang kemanusiaan, fantasi sedarah merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar yang menjaga martabat manusia. Hubungan keluarga dibangun atas dasar kasih sayang, perlindungan, dan batas moral yang tegas. Ketika seseorang mulai menarasikan atau membayangkan hubungan seksual dalam lingkup keluarga sebagai “fantasi,” ia bukan hanya mengkhianati makna cinta keluarga, tetapi juga mereduksi manusia menjadi objek nafsu semata.

Fantasi semacam ini juga berpotensi membuka jalan bagi perilaku kekerasan seksual di dalam keluarga (incest), yang secara global diakui sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar soal imajinasi pribadi; ini adalah awal dari rusaknya batas etis dan emosi yang menjaga keseimbangan sosial.

Baca Juga: Marak Terjadi Flaming, Begini Cara Menjaga Etika di Media Sosial

Etika sosial mengatur perilaku manusia agar tetap berada dalam koridor wajar, pantas, dan bertanggung jawab. Membiarkan ruang digital diisi oleh konten seperti ini berarti membiarkan penyimpangan dinormalisasi. Ketika masyarakat mulai terbiasa melihat hal yang salah sebagai hiburan atau “fantasi pribadi,” maka batas antara etis dan tidak etis menjadi kabur.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lebih parah lagi, media sosial dengan algoritmanya cenderung memperkuat konten yang banyak mendapat perhatian. Ini berarti fantasi menyimpang bisa mendapat panggung luas hanya karena banyak dikomentari atau dibagikan. Platform media sosial seharusnya tidak netral dalam perkara seperti ini. Diamnya platform terhadap penyimpangan adalah bentuk kegagalan moral yang serius.

Tidak Hanya Merusak Moral

Fantasi sedarah tidak hanya mengganggu secara moral, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental, baik bagi pelaku, korban, maupun penontonnya. Individu yang terjebak dalam jenis fantasi ini sering kali memiliki trauma masa kecil, ketidakseimbangan emosi, atau kecanduan pornografi ekstrem. Alih-alih diatasi, mereka justru menemukan komunitas daring yang memperkuat dan memvalidasi penyimpangan tersebut.

Bagi yang hanya sekadar membaca atau tidak sengaja terpapar, konten ini dapat memicu rasa jijik, cemas, bahkan trauma, terutama bagi penyintas kekerasan seksual. Ini adalah bukti bahwa dampak konten digital tak selalu langsung terlihat, tapi dapat menghancurkan secara perlahan.

Baca Juga: Lemahnya Literasi Digital Menyumbang Keretakan Bersosial

Permasalahan yang kita hadapi bukan hanya tentang keberadaan konten menyimpang, tetapi juga lemahnya literasi digital dan minimnya kontrol platform terhadap konten yang berbahaya. Grup-grup seperti ini tidak hanya menyimpang secara moral dan sosial, tetapi juga berisiko menormalisasi perilaku tabu seperti inses, yang dalam banyak budaya dan agama, termasuk Islam, jelas dilarang karena alasan biologis, moral, dan sosial.

Hubungan sedarah dapat menyebabkan keturunan memiliki risiko tinggi terhadap penyakit genetik karena pewarisan alel resesif yang serupa. Dari sisi agama, larangan ini sudah jelas dalam QS. an-Nisa’: 23, yang menegaskan bahwa menjaga garis keturunan dan kehormatan keluarga merupakan tujuan syariat Islam. Maka, konten yang membahas atau bahkan mempromosikan fantasi semacam ini bukan hanya tidak pantas, tetapi juga sangat berbahaya.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu upaya bersama dari berbagai pihak:

  1. Literasi Digital dan Etika Bermedia Sosial

Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang batas-batas etis dalam mengakses dan menyebarkan konten. Pendidikan literasi digital harus diperkuat di sekolah, kampus, dan komunitas, dengan menekankan pada aspek tanggung jawab moral dan sosial.

  1. Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Lebih Tegas

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih aktif mengawasi konten-konten menyimpang di media sosial. Platform seperti Facebook harus diminta pertanggungjawaban atas kelalaian mereka, dan perlu diberi sanksi tegas bila gagal menindak konten yang berbahaya.

  1. Optimalisasi Fitur Keamanan Platform

Pengguna media sosial harus memanfaatkan fitur-fitur keamanan seperti pelaporan konten, pengaturan privasi, dan filter konten. Edukasi tentang cara menggunakannya harus disosialisasikan secara masif.

  1. Peran Aktif Keluarga dan Tokoh Agama

Keluarga harus menjadi benteng pertama dalam membentuk kesadaran moral dan nilai. Tokoh agama juga berperan penting dalam memberikan pemahaman tentang bahaya perilaku menyimpang dan pentingnya menjaga kehormatan keluarga serta generasi.

Baca Juga: Menjaga Etika Komunikasi di Media Sosial

Kasus grup fantasi sedarah adalah peringatan keras bagi kita semua. Ini bukan hanya soal penyimpangan moral individu, tetapi juga cerminan lemahnya kontrol sosial dan algoritma yang gagal membedakan mana konten yang berbahaya. Jika kita tidak segera bertindak, ruang digital akan semakin dipenuhi oleh konten destruktif yang mengancam kesehatan moral dan genetik masyarakat kita.

Isu ini harus menjadi pemantik bagi semua pihak, platform media sosial, pemerintah, tokoh masyarakat, hingga individu pengguna internet, untuk bersikap lebih tegas. Grup semacam ini bukan ruang “kebebasan berekspresi,” melainkan ruang bahaya yang membungkus kekerasan, penyimpangan, dan pelanggaran nilai kemanusiaan dengan kedok fantasi.

Sudah saatnya media sosial tidak hanya menyediakan fitur berbagi, tetapi juga tanggung jawab etis dalam menjaga ruang publik digital tetap sehat. Kita tidak bisa lagi hanya mengutuk setelah viral, kita harus mencegah sebelum bahaya meluas.



Penulis: Ayu Amalia
Editor: Rara Zarary