Beredar di media sosial sebuah fatwa yang menyatakan keharaman mencium kuburan orang saleh, sebuah praktik yang lazim dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu situs web yang memuat fatwa tersebut adalah www.dakwahmanhajsalaf.com. Dalam artikel yang dipublikasikan di situs tersebut, mereka mendasarkan argumen pada pandangan yang dikemukakan oleh Imam al-Nawawi, seorang ulama besar dan mujtahid tarjih dalam Madzhab Syafi’i seakan mereka ingin mengatakan bahwa selama ini para ulama yang mengaku bermadzhab Syafi’i pada kenyataannya tidak mengikuti ulama tersohor dalam mazhab Syafi’i, hal ini terbukti dengan tulisan yang mereka tulis

Andai saja mereka yang selama ini ngaku-ngaku bermadzhab Syafi’i mengikuti imam-imam dari kalangan Madzhab Syafi’i yang tulen seperti di atas dan bukan mengikuti imam pendusta yang hanya ngaku bermadzhab Syafi’i, tapi prakteknya bermadzhab Khurafat dan perdukunan.[1]

Tuduhan keji yang tak bermoral seperti di atas bukan suatu hal yang baru dalam tradisi kelompok Wahabi, pemicunya tiada lain adalah kebencian dan kedengkian mereka terhadap orang yang tidak seideologi dengan mereka. Pada kesempatan kali ini penulis akan menanggapi kesalahpahaman orang-orang Wahabi atas pandangan Imam Nawawi dalam majmu’-nya serta membuktikan bahwa praktik mencium dan mengusap kuburan telah dicontohkan oleh para sahabat nabi yang agung, berikut ulasannya:

Pertama, pendapat Imam Nawawi yang dijadikan argumen oleh kelompok Wahabi sebenanya berawal dari perkataan Imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuq Al-Za’farani terkait larangan mencium dan mengusap kuburan. Karena hal tersebut dianggap sebagai bid’ah yang munkaroh dan termasuk tradisi yang dilakukan orang Nashrani. Pendapat ini dibenarkan oleh Imam Nawawi, berikut pandangan Ibn Marzuq yang dibenarkan Imam Nawawi:

وقال الإمام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعفراني وكان من الفقهاء المحققين في كتابه في الجنائز ولا يستلم القبر بيده ولا يقبله قال وعلى هذا مضت السنة قال أبو الحسن واستلام القبور وتقبيلها الذي يفعله العوام الآن من المبتدعات المنكرة شرعا ينبغي تجنب فعله وينهى فاعله قال فمن قصد السلام على ميت سلم عليه من قبل وجهه وإذا أراد الدعاء تحول عن موضعه واستقبل القبلة قال أبو موسى وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت يسلم ولا يمسح القبر ولا يقبله ولا يمسه فإن ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لأنه قد صح النهي عن تعظيم القبور ولأنه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من أركان الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استلام الركنين الآخرين فلأن لا يستحب مس القبور أولي والله أعلم.( المجموع شرح المهذب ,5/311)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Imam Abu al-Hasan Muhammad bin Marzuq al-Za’farani, yang merupakan salah satu ahli fikih yang mendalam pengetahuannya, berkata dalam kitabnya tentang jenazah: “Tidak diperbolehkan menyentuh (mengusap) kubur dengan tangan, juga tidak diperbolehkan menciumnya.” Ia melanjutkan: “Sunnah berjalan di atas prinsip ini.” Abu al-Hasan berkata: “Menyentuh dan mencium kubur, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang awam saat ini, termasuk bid’ah yang secara syar’i diingkari. Perbuatan tersebut seharusnya dihindari, dan pelakunya perlu diberi nasihat agar meninggalkannya. Barang siapa yang bermaksud menyampaikan salam kepada seorang yang telah wafat, hendaknya ia memberikan salam dari arah depan kuburnya. Jika ia ingin berdoa, hendaknya ia berpindah dari tempat tersebut dan menghadap kiblat.”Abu Musa berkata: “Para ahli fikih dari kalangan Khurasan yang mendalam ilmunya menjelaskan bahwa yang dianjurkan dalam ziarah kubur adalah berdiri membelakangi kiblat dan menghadap wajah si mayit untuk memberi salam. Tidak diperbolehkan mengusap kubur, mencium, atau menyentuhnya, karena hal tersebut adalah kebiasaan orang-orang Nasrani.” Imam Nawawi berkata: “Apa yang mereka sebutkan itu benar, karena telah ada larangan dari Rasulullah tentang pengagungan kubur. Selain itu, jika menyentuh dua sudut (rukun) Syamiyah dari Ka’bah saja tidak disyariatkan—padahal disunnahkan menyentuh dua sudut lainnya—maka lebih utama lagi bahwa menyentuh kubur tidak disyariatkan.”[2]

Sebenarnya perihal mencium dan mengusap kuburan masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, dan perbedaan pendapat tersebut hanya bermuara pada hukum boleh dan makruh, tidak ada satu pun dari mereka yang berpendapat bahwa mencium dan mengusap kuburan hukumnya haram. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan pernyataan Syekh Zainal ‘Abidin al-‘Alawi asy-Syafi’i berikut

مَا حُكْمُ التَّمَسُّحِ بِالْقُبُورِ وَتَقْبِيلِهَا الْحُكْمُ فِي ذَلِكَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ مَكْرُوهُ فَقَطْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ مُبَاحٌ وَجَائِزُ لِلتَّبَرُّكِ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ بِتَحْرِيمِهِمَا. (الأجوبة الغالية ص: 85-86)

Apa hukum mengusap dan mencium kuburan? Hukumnya menurut kebanyakan ulama hanya sebatas makruh, dan sebagian ulama berkata, bahwa hal itu boleh jika bertujuan tabaruk, dan tidak ada satupun ulama yang mengharamkannya.[3]

Pernyataan Syekh Zainal ‘Abidin di atas membuktikan bahwa meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama madzhab Syafi’i namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan mencium kuburan dan mengusapnya hukumnya haram. Selain itu, perkataan Syekh Zainal ‘Abidin ini juga di dukung oleh Ashab Syafi’i yang lain seperti Syekh Abd Hamid al-Makky al-Syarwani beliau berpendapat bahwa mencium dan mengusap kuburan di anggap bid’ah apabila di dasari oleh niat mengagungkan sedangkan apabila hal tersebut di niati untuk bertabarruk maka di perbolehkan dan tidak makruh.

(قوله وتقبيله) أي تقبيل القبر واستلامه وتقبيل الأعتاب عند الدخول لزيارة الأولياء نهاية ومغني (قوله بدعة إلخ) نعم إن ‌قصد ‌بتقبيل أضرحتهم التبرك لم يكره كما أفتى به الوالد. (حاشية الشرواني على التحفة 3/ 175)

Mencium kukubran, mengusap, dan mencium patokan-nya ketika berziarah ke makam para wali adalah bidah. lya, namun jika mencium kuburan para wali itu dengan tujuan tabaruk, maka tidak dimakruhkan, sebagaimana fatwa ayah kami.[4]

Bahkan lebih dari itu, Imam al-Ramli seorang ulama tersohor dalam mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mencium kuburan para wali bukan hanya boleh, bahkan hal itu sunnah.

وفي تقبيل ‌ضرائح ‌الأولياء خلاف، فعند (حج): مكروه، وعند (م ر): سنة. (بشرى الكريم بشرح مسائل التعليم» ص474)

Dalam masalah mencium kuburan para wali terdapat perbedaan pendapat ulama; menurut al-Imām Ibnu Hajar al-Haitamī hukumnya makruh, dan menurut al-Imām ar-Ramlī hukumnya sunah.[5]

Dengan demikian, tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok Wahabi melalui berbagai media, termasuk situs web mereka, sebenarnya mencerminkan keterbatasan pemahaman mereka terhadap ilmu agama. Mereka cenderung menuduh bid’ah terhadap para ulama yang selama ini konsisten mengikuti mazhab Syafi’i. Tuduhan tersebut sering kali didasarkan pada pemahaman yang keliru atau parsial terhadap pendapat seorang mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi’i, seperti Imam Nawawi.

Seolah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa para ulama yang mengklaim berpegang pada mazhab Syafi’i adalah orang-orang yang terjebak dalam khurafat dan tidak mengikuti ajaran mazhab Syafi’i yang murni. Padahal, sikap semacam ini justru memperlihatkan keterbatasan mereka dalam memahami keragaman pendapat yang sah dalam mazhab Syafi’i. Tuduhan tersebut tidak hanya menampakkan kedangkalan pengetahuan mereka atas keragaman pendapat dalam mazhab Syafi’i, tetapi juga mengabaikan tradisi intelektual yang kaya dalam mazhab ini.

Kedua, praktik mengambil berkah kepada tempat-tempat mulia sebenarnya telah dicontohkan di masa salafussalih. Sebagaimana yang dilakukan oleh Husain bin ‘Abdullah salah seorang keturunan Rasulullah, yang mana ketika beliau merasakan sakit pada anggota tubuhnya beliau mengusapkan kerikil yang menempel di makam Rasulullah kepada anggota tubuhnya yang sakit sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Sakhawi:

قال يحيى بن الحسن بن جعفر في كتابه أخبار المدينة ولم أر فينا رجلا أفضل منه كان إذا اشتكى شيئا من جسده كشف الحصى عن الحجر الذي كان ببيت فاطمة الزهراء يلاصق جدار القبر الشريف فيمسح به. (التحفة اللطيفة في تاريخ المدينة الشريفة 1/ 292)

Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbāril- Madīnah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari beliau (al-Husain bin ‘Abdullāh). Apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang ada di rumah Sayidah Fāţimah az-Zahrā’ yang menempel ke makam Nabi yang mulia, lalu ia mengusapkannya.[6]

Keterangan di atas juga didukung oleh pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal yang disampaikan oleh putranya yakni Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Disebutkan bahwa beliau memperbolehkan seseorang yang menyentuh dan mencium mimbar nabi dengan niat mengambil berkah. Berikut pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal:

سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ للهِ وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوِ هَذَا يُرِيدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ. (العلل لأحمد بن حنبل ٤٨٥/٣)

Saya bertanya kepada beliau (al-Imam Ahmad bin Hanbal) mengenai seseorang yang menyentuh mimbar Nabi dan bertabaruk dengan memegangnya dan menciumnya, dan ia juga melakukannya seperti itu kepada kuburan Nabi atau semacamnya, serta bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: tidak apa-apa.[7]

Dengan demikian, semua tuduhan yang dilontarkan kelompok Wahabi di atas telah tertolak dengan sendirinya, argumen yang mereka bangun malah menjadi senjata makan tuan bagi mereka. Selain itu, dalam disiplin fiqh empat mazhab, mengingkari suatu perkara hanya boleh dilakukan dalam hal yang telah disepakati atas keharamannya, sedangkan suatu yang masih diperselisihkan atas status halal haramnya maka hal tersebut tidak boleh diingkari secara langsung. Sebagaimana dalam keterangan berikut

المختلف فيه هو ما يقع بين المذاهب لاختلاف الأدلة، فلا يجب إنكار المختلف فيه؛ لأنه يقوم على دليل، وإنما يجب إنكار فعل يخالف المجمع عليه، لأنه لا دليل عليه. وإن الإنكار المنفي في القاعدة مراد به: الإنكار الواجب فقط، وهو لا يكون إلا لما أجمع على تحريمه، وأما ما اختلف في تحريمه فلا يجب إنكاره على الفاعل لاحتمال أنه حينئذ قلد من يرى حله، أو جهل تحريم. (القواعد الفقهية وتطبيقاتها في المذاهب الأربعة 2/ 757)

Hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat (khilaf) di antara mazhab terjadi karena adanya perbedaan dalam dalil yang digunakan. Oleh karena itu, tidak seharusnya seseorang mengingkari atau mencela perkara yang masih menjadi perbedaan pendapat, karena setiap pendapat tersebut didasarkan pada dalil. Sebaliknya, yang wajib diingkari adalah perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan perkara yang telah disepakati (ijma’), karena tidak ada dalil yang mendukung perbuatan tersebut Adapun pengingkaran yang disebutkan dalam kaidah ini maksudnya adalah pengingkaran yang bersifat wajib. Pengingkaran wajib hanya berlaku pada perkara yang telah disepakati keharamannya. Sedangkan perkara yang masih menjadi perbedaan pendapat dalam keharamannya tidak wajib untuk diingkari, karena ada kemungkinan pelaku tersebut mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya atau mungkin ia tidak mengetahui bahwa hal tersebut dilarang.[8]

Maka dengan demikian mencium dan mengusap kuburan tidak bisa diingkari secara mutlak, karena hal tersebut masih diperselisihkan atas status halal haramnya, bahkan dalam mazhab Syafi’i tidak ada yang mengharamkan praktik ini. Sehingga seseorang yang melakukan hal ini dianggap mengikuti pendapat ulama yang membolehkan atau menganggap sunnah seperti al-Imam Ramli.

Baca Juga: Perempuan Ziarah Kubur, Bagaimanakah Hukumnya?


[1] https://www.dakwahmanhajsalaf.com/2020/09/mengusap-dan-mencium-kuburan.html

[2] Yahya Bin Syarf Al-Nawawi, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Juz 5, Hal 311.

[3] Zanal ‘Abidin al-‘Alawi, Al-Ajwibah al-Ghaliyah, Hal 85-86.

[4]Abd Hamid al-Makky al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘Ala Tuhfah, Juz 3, Hal 175.

[5] Sa’id Bin Muhammad Ba’ali, Busyra Al-Karim Bisyarhi Masa’ili Ta’lim, Hal 474.

[6] Al-Hafiz al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Latifah Fi Tarikh al-Madinah asy-Syarifah, Juz 1, Hal 292

[7] Ahmad bin Hanbal, Al-‘Ilal Li Ahmad Bin Hanbal, Juz 3, Hal 485.

[8] Musthafa al-Zuhayli, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah Wa Tatbiqatiha Fi al-Madzahib al-‘Arba’ah, Juz 2, Hal 757.


Penulis: Ma’sum Ahlul Choir, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari