
Hadis yang merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Quran sampai saat ini masih cukup relevan untuk dikontekstualisasikan agar bisa diamalkan di zaman modern. Terkait perkembangan ilmu hadis di zaman modern ini, banyak sekali orang yang menggeluti dunia hadis baik dalam institusi pendidikan formal maupun non formal.
Dalam pendidikan formal misalnya, pendidikan hadis dimulai pada jenjang dasar pada tingkat madrasah dan yang paling tertinggi di tingkat universitas, dan pelajaran tentang hadis di pendidikan non formal biasanya didapat dari pengajian bandongan/sorogan, madrasah diniyah, dan sebagainya.
Dari dua tipe pendidikan hadis ini, khususnya di Indonesia telah melahirkan banyak sekali ahli atau sarjana hadis di Indonesia. Sebut saja KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Ali Mustofa Yakub, KH Marzuki Mustamar, Syuhudi Ismail, Ahmad Ubaidi Hasbillah, Muhammad Alfatih Suryadilaga dan yang paling terkenal ahli hadis dari Indonesia yang tinggal di Makkah adalah Syaikh Yasin al-Fadani, dan masih banyak para kyai juga para sarjana yang ahli dalam bidang hadis.
Dari banyaknya peminat kajian hadis khususnya di Indonesia, terbukti bahwa hadis masih banyak peminatnya walaupun juga ada golongan yang mengingkari hadis sebagai salah satu sumber hukum, golongan ini disebut Inkar as-Sunnah. Hal ini membuktikan bahwa warisan dari ulama ahli hadis pada zaman dahulu seperti Imam Bukhari dan Muslim beserta ulama-ulama hadis lainnya masih dilestarikan dan dijaga baik itu dalam bentuk kitab hadis, manuskrip, ataupun metodologi dalam memahami sebuah hadis.
Dari banyaknya peminat dan ahli dalam ilmu hadis ada sebuah keutamaan antara ahli hadis dan mereka yang ahli di bidang ilmu lainnya, di antaranya adalah seperti apa yang dikatakan Imam Ahmad dalam perkataannya dalam sebuah riwayat:
عن صالح بنِ أحمد ابنِ حنبل، قال: سمعتُ أبي يقول: ” مَنْ عَظَّمَ أصحابَ الحديثِ تَعَظَّمَ في عينِ رسولِ الله، ومن حَقَّرَهُمْ سَقَطَ مِن عين رسولِ الله، لأن أصحَابَ الحديث أحبارُ رسولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “.
[أحمد بن حنبل ,مسند أحمد ط الرسالة ,1/18]
Dari hadis Shalih bin Ahmad Ibnu Hanbal beliau berkata: Aku mendengar ayahku berkata: “Barangsiapa yang menjunjung (memuiliakan) para ahli hadis, maka ia akan dimuliakan di mata Rasulullah, dan barangsiapa yang meremehkannya, maka ia akan gugur dari pandangan Rasulullah, karena para ahli Hadis adalah para penyambung berita dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.”
Para ahli hadis juga diumpamakan sebagai penjaga bumi seperti perkataan Sufyan Ats Tsauri dalam sebuah riwayat:
أَخْبَرَنَا أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّازِيُّ، بِنَيْسَابُورَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ: حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: الْمَلَائِكَةُ حُرَّاسُ السَّمَاءِ، وَأَصْحَابُ الْحَدِيثِ حُرَّاسُ الْأَرْضِ
[الخطيب البغدادي، شرف أصحاب الحديث للخطيب البغدادي، صفحة ٤٤]
Abu Nu`aym al-Hafiz memberitahu kami, dia berkata: Ahmad bin Muhammad al-Razi memberitahu kami, di Nisabur, dia berkata: Abd al-Rahman bin Abi Hatim memberitahu kami, dia berkata: Abu Dia berkata: Qabisah memberi tahu kami, dia berkata: Saya mendengar Sufyan Al-Tsauri berkata: “Para malaikat adalah penjaga langit, dan para sahabat hadis adalah penjaga bumi.”.
Lalu apakah yang menjadi alasan dari kemulian ahli hadis? Abu Hatim pernah berkata dalam sebuah riwayat:
أَخْبَرَنَا أَبُو عُبَيْدٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي نَصْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْحَسَن مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ الْعَلَوِيَّ الْحَسَنِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ بُنْدَارٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا حَاتِمٍ الرَّازِيَّ، يَقُولُ: «لَمْ يَكُنْ فِي أُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ مُنْذُ خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ أُمَنَاءُ يَحْفَظُونَ آثَارَ الرُّسُلِ إِلَّا فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ» فَقَالَ: لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا حَاتِمٍ رُبَّمَا رَوَوْا حَدِيثًا لَا أَصْلَ لَهُ وَلَا يَصِحُّ؟ فَقَالَ: ” عُلَمَاؤُهُمْ يَعْرِفُونَ الصَّحِيحَ مِنَ السَّقِيمِ، فَرِوَايَتُهُمْ ذَلِكَ لِلْمَعْرِفَةِ لِيَتَبَيَّنَ لِمَنْ بَعْدِهِمْ أَنَّهُمْ مَيَّزُوا الْآثَارَ وَحَفَظُوهَا.
[الخطيب البغدادي، شرف أصحاب الحديث للخطيب البغدادي، صفحة ٤٢]
“Abu Ubaid Muhammad ibn Abi Nasr al-Naisaburi memberitahu kami, mengatakan: Saya mendengar Abu al-Hasan Muhammad ibn Ali al-Alawi al-Hasani, berkata: ‘Saya mendengar al-Qasim ibn ibn Dar’, dia berkata: ‘Saya mendengar Abu Hatim Al-Razi berkata’, ‘Tidak ada suatu bangsa (qoum) pun sejak Tuhan menciptakan Adam, tidak ada wali yang memelihara jejak-jejak para Rasul kecuali di umat ini’. Kemudian seorang laki-laki berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Hatim, mungkinkah mereka meriwayatkan sebuah hadis yang tidak ada dasarnya dan tidak shahih?’ Beliau bersabda: ‘Para ulama mereka mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, maka riwayat mereka tentang hal itu adalah untuk ilmu agar menjadi jelas bagi orang-orang setelah mereka bahwa mereka membedakan hadis-hadis dan melestarikannya (menghafalnya)’.”
Inilah salah satu yang menjadi keutamaan ahli hadis. Mereka berbeda dari umat-umat nabi dahulu yang tidak bisa melestarikan warisan nabi dan rasul mereka sehingga hilang dan tidak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya. Lain halnya dengan umat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang ada tradisi periwayatan hadis, yang menyebabkan lestarinya hadis sebagai apa yang pernah diucap, dilakukan, dan ditetapkan oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Baca Juga: Ternyata Kiai Hasyim Hafal Qur’an, Tapi Memilih Jadi Sarjana Hadis
Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng