Ridho guru terhadap santri
Ilustrasi ridho guru terhadap murid

Tulisan ini, saya dedikasikan kepada guru-guru saya yang sebagian telah wafat dan adapula yang bahkan mungkin saya lupakan. Tulisan ini pula sebagai bentuk penghambaan ungkapan terima kasih kepada semua guru-guru yang telah dengan ikhlas tanpa pamrih mengajar serta memberikan ilmu-ilmu kepada murid atau santrinya tanpa mengenal lelah dan putus asa.

Sebuah kutipan kalam hikmah yang memberikan kedudukan istimewa kepada seorang guru berbunyi;

لَوْلا الْـمُرَبّـي ما عَرَفْتُ رَبّـي

“Jika bukan kerana guruku, mana mungkin aku dapat mengenal akan Tuhanku.”

Ungkapan tersebut bukan hanya sebuah isapan jempol belaka. Tetapi mengandung makna yang sangat dalam, sehingga menjadi sebuah renungan bersama kepada seluruh murid bagaimana ia dapat mengenal Tuhan dengan seutuhnya tanpa adanya perantara dari seorang guru.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di sisi lain, terdapat beberapa kategori guru dalam dunia pendidikan bagi setiap murid-muridnya. Menurut hemat penulis, salah satu kriteria guru yang baik adalah guru yang murid atau santrinya dengan bangga mencatumkan nama guru baik dalam currilum vitae pribadinya. “Pernah belajar di Pondok A di bawah asuhan Kiai B” atau “pernah menempuh pendidikan di kampus A yang dengan dibawah bimbingan Profesor B”, kurang lebih seperti itu. Memang tidak semuanya demikian, bahkan ada juga kriteria murid yang justru diam-diam menyembunyikan atau menyamarkan hubungannnya dengan sang guru, hal tersebut diniatkan demi menghormati sang guru.

Atau bisa jadi ada juga seorang murid yang mencatumkan nama sang guru, bukan karena perasaan berhutang di hati. Tapi justru hanya sekedar untuk mendompleng popularitasnya. Maka bila boleh diperinci lagi, saya berpendapat bahwa guru yang hebat itu adalah ia yang “hebat” di hati murid-muridnya.

Pada catatan literatur cerita pesantren, terdapat seorang murid yang telah menjadi seorang tokoh terkenal serta dihormati oleh banyak masyarakat, dan memiliki ribuan santri, tetapi justru di akhir hayatnya berdoa agar dapat diakui sebagai salah seorang santri dari gurunya. Yang mana hal tersebut terinpirasi dari kisah KH. Abdul Karim.

Kala itu saat tiga atau empat haru sebelum wafat, KH. Abdul Karim terbaring sakit di tempat tidur dan ditunggui oleh putra-putrinya. Sambil menangis beliau berkata

Dongakno yo! Mugo-mugo aku mbesuk neng kono diakoni dadi santrine Mbah Kholil.” (Doakan ya! Semoga saya kelak di sana diakui menjadi santrinya Mbah Kholil).

Sontak pada anggota keluarga yang berada di sisi KH. Abdul Karim kebingunan. Umumnya permintaan seseorang sebelum meninggal adalah minta agar didoakan khusnul khotimah, diampuni dosanya atau masuk surga. Tetapi ini lain, tidak denngan biasanya. KH. Abdul Karim, justru meminta didoakan supaya diakui oleh guru beliau yakni Kiai Kholil Bangkalan.

Permintaan doa yang disertai oleh isak tangis di penghujung akhir hayat beliau, adalah bukti bahwa hal itu bukanlah suatu yang tidak main-main dan sangat penting diungkapkan. Lalu apa sebenarnya maksud dari permintaan doa tersebut? Jawabannya adalah pada dhawuh beliau yang berbunyi; “Tanpo aku diakoni santrine Mbah Kholil, aku gak iso mlebu swargo.” (Tanpa saya diakui santrinya Mbah Kholil, saya tidak bisa masuk surga).

Ini adalah salah satu bentuk tawadlu yang luar biasa dan dicontohkan langsung oleh KH. Abdul Karim pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Dalam dirinya, KH. Abdul Karim tidak merasa mempunyai amalan yang cukup bisa mengatarkan beliau masuk surga. Bahkan beliau sendiri tidak cukup percaya diri dengan segala amal ibadah yang dilakukan semasa hidupnya. Sehingga harapan dapat masuk surga hanya dapat ketika beliau mendapatkan pengakuan santri dari gurunya.

Baca Juga: Menjadi Guru yang Baik Menurut KH. Hasyim Asy’ari


Dimas Setyawan, alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari