
Shalat dalam perspektif tasawuf, banyak yang mengatakan, fikih itu harus integritas dengan tasawuf. Karena, dua hal ini merupakan syaiun talazum (sesuatu yang tak dapat dipisahkan). Oleh karenanya, sufistik dunia memberikan perhatian lebih pada hal tersebut. Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari salah satunya.
Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari merupakan tarekat sufi yang terkemuka di dunia. Sejak kecil, beliau dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu al-Abbas Ahmad ibnu Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan Asy-Syadzili, pendiri tarekat Asy-Syadzili. Dalam bidang fikih, ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki. Sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat Asy-Syadzili.
Tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Karya ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya (Mahakarya). Kitab itu sudah beberapa kali di-syarah, di antaranya: Muhammad bin Ibrahim bin Ibad ar-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Abu Husain An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya.
Kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekadar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarekat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Shalat Menurut Ibn Athaillah
Shalat merupakan kewajiban umat Islam sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT. Di balik shalat, terdapat rahasia-rahasia yang dapat mendekatkan manusia lebih dekat kepada Allah SWT. Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab monumentalnya yang berjudul Al-Hikam mengatakan:
الصَّلاَةُ طُهْرَةٌ لِلْقُلُوبِ مِنْ أَدْنَاسِ الذُّنُوبِ، واستفتاحٌ لِبَابِ الغُيوب .الصَّلاةُ مَحَلُّ المُناجاةِ ومَعْدِنُ المُصافاةِ؛ تَتَّسِعُ فيها مَيادينُ الأسْرارِ، وَتُشْرِقُ فيها شَوارِقُ الأنْوارِ. عَلِمَ وُجودَ الضَّعْفِ.
Artinya: “Shalat adalah pembersih hati dari kotoran-kotoran dosa dan pembuka bagi pintu rahasia ghaib. Shalat adalah kesempatan untuk bermunajat dan penjernihan jiwa yang mana wilayah-wilayah rahasia terbentang begitu luas dan cahaya-cahaya Tuhan berkilauan di dalamnya.”
Dijelaskan, bahwa makna shalat yang sesungguhnya adalah hal yang menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa. Serta, sifat-sifat lain yang menjauhkan pelakukanya dari pandangan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.
Ibnu Athaillah as-Sakandari menjelaskan, shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yang tak pernah dimiliki oleh seseorang, yakni berupa makrifat dan rahasia ilahiyyah. Makrifat dan rahasia ilahiyyah ini diumpamakan dengan harta karun yang tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat. Sehingga, dia bisa melihat rahasia-rahasia ghaib yang tak bisa dilihatnya.
Dalam shalat kita tidak hanya dituntut sekedar memenuhi syarat dan rukunnya secara formal. Melalui shalat kita juga dituntut untuk memenuhi kewajiban shalat, aturan-aturan formal, dan kesempurnaan shalat sedapat mungkin.
Memang tidak ada batasan sejauh mana seseorang mewujudkan shalat juga esensinya, mengingat perbedaan kemampuan setiap individual. Namun, di sisi lain kita juga masih dituntut untuk mengejar esensi shalat.
Shalat Sahabat Abbad bin Bisyr
Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: “Ada tiga orang sahabat Anshar yang keutamaannya tidak bisa dilampaui siapapun, yaitu Sa’ad bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair, dan Abbad bin Bisyr.”
Nama terakhir di hadis itu merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW dari kalangan Anshar yang dikenal sebagai ahli ibadah. Sejarah Islam mengukir namanya dengan tinta emas kepada sahabat tersebut. Memiliki suara merdu, yang menyempatkan diri untuk belajar Al-Quran kepada Mush’ab bin Umair. Selain itu, Abbad bin Bisyr juga dikenal sebagai sosok yang pemberani. Saking cinta dan setianya kepada Baginda Nabi, ia selalu siap mendampingi dan menjalankan titah Rasulullah.
Dikisahkan dalam Buku Companions of The Prophet, Vol.1, karya Abdul Wahid Hamid. Suatu hari, usai perang Dzatur Riqa, Rasulullah dan pasukan kaum muslimin beristirahat di sebuah lembah. Tak lama berselang, Rasulullah bertanya: “Siapa yang akan berjaga malam ini?” Suara lantang terdengar dari Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir. Keduanya kompak menjawab: “Kami, wahai Rasulullah!”
Abbad dan Ammar merupakan dua pemuda yang disatukan dalam sebuah persaudaraan oleh Rasulullah SAW, setelah beliau tiba di Madinah. Keduanya lantas menuju pintu masuk lembah untuk berjaga malam menunaikan perintah Sang Nabi. Abbad dari kalangan Anshar, sedangkan Ammar dari kaum Muhajirin.
Ammar lalu memilih untuk berjaga pada awal hingga tengah malam. Sedangkan bagian Abbad bin Bisyr dari tengah hingga di penghujung malam. Ammar langsung berjaga saat itu juga. Sementara Abbad sambil menunggu giliran berjaga ia melaksanakan shalat beberapa rakaat.
Seiring berjalannya waktu, mungkin akibat kelelahan tak sengaja Ammar bin Yasir ketiduran. Ketika telah memasuki dimensi khusyuk, Abbad bin Bisyr tak menyadari jika partner jaganya telah lelap tertidur. Ia nampak asyik beribadah kepada Rabb-nya.
Di lain pihak, musuh kaum muslimin yang sedari malam mengintai mereka pun memanfaatkan kelengahan itu. Sang musuh melepaskan anak panah ke arah tubuh ke Abbad bin Bisyr. Tiga anak panah menghujam tepat di tubuh sahabat mulia itu. Namun, sang ahli ibadah sama sekali tidak terusik sedikitpun karena shalatnya yang begitu khusyuk.
Setiap anak panah mengenai tubuhnya, Abbad mencabut lalu melemparkannya, seraya kembali melanjutkan gerakan shalat. Usai shalat, ia pun baru merasakan sakit akibat hujaman anak panah itu. Abbad lalu membangunkan Ammar bin Yasir dan meminta untuk bergantian berjaga.
Alangkah terkejutnya Ammar melihat Abbad sudah berlumuran darah. Ammar lalu bertanya kepada Abbad mengapa tidak membangunkannya saat terkena anak panah. Jika saja Abbad membangunkannya, maka tidak akan banyak anak panah yang mengenai tubuh Abbad.
“Saat itu aku sedang membaca Surah Al-Kahfi. Aku tidak ingin rukuk sebelum menyelesaikan shalat itu. Namun, beberapa anak panah bersusulan menusukku sehingga aku memperpendek bacaan dan rukuk agar bisa segera membangunkanmu,” begitulah jawab Abbad bin Bisyr.
“Demi Allah, seandainya aku tidak mengkhawatirkan lembah ini sebagaimana telah diperintahkan Rasulullah, aku tidak akan menyelesaikan shalatku sebelum membaca Surah Al-Kahfi seluruhnya,” kata Abbad.
Baca Juga: Shalat Khusyuk atau Berjamaah, Mana yang Lebih Utama?
Ditulis oleh: Moehammad Nurjani, Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo.