Adab Imam Membaca Zikir setelah Shalat
Shalat berjamaah

Khusyuk saat shalat merupakan salah satu kesunahan yang sulit untuk dikerjakan. Karena shalat seseorang baru bisa dianggap khusyuk apabila dia mampu untuk membayangkan sesuatu yang sedang dia kerjakan saja, tanpa membayang sesuatu yang lain. Seperti hanya memikirkan makna bacaan tasbih saat berada di posisi rukuk dan sujud.

Tidak sebatas itu, akan tetapi dia harus mampu juga untuk tidak bermain-main dengan anggota badannya. Seperti menggerak-gerakkan jari dan mengedip-ngedipkan mata tanpa adanya keperluan.

Khusyuk saat shalat disunahkan karena Allah SWT memuji hamba-hambanya yang shalat dengan khusyuk dalam Al-Qur’an berikut:

۩قَد أَفلَحَ ٱلمُؤمِنُونَ ۩ ٱلَّذِينَ هُم فِي صَلَاتِهِم خَٰشِعُونَ 

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya”. (Q.S. al-Mukminun ayat 1 dan 2).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cara seseorang untuk bisa khusyuk saat shalat berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sampai meninggalkan shalat berjama’ah dan memilih untuk shalat sendiri di rumahnya demi bisa shalat dengan khusyuk, dengan alasan ketika shalat berjama’ah tidak dapat shalat dengan khusyuk karena terganggu dengan jamaah yang lain.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tindakan seperti di atas dapat dibenarkan, sehingga manakah yang lebih utama antara shalat sendiri dengan khusyuk dan shalat berjama’ah tanpa khusyuk? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu terlebih dahulu untuk mengetahui hukum dari shalat berjamaah.

Perdebatan Ulama Terkait Khusyuk dan Shalat Berjamaah

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait hukum shalat berjamaah untuk shalat fardhu selain shalat Jum’at. Yang mana terdapat empat pendapat berbeda, yakni fardhu kifayah, sunah mu’akkad (yang sangat dianjurkan),  fardhu ain, dan sebagai syarat sahnya shalat, dalam arti shalat baru dianggap sah apabila dilaksanakan dengan berjamaah. Namun yang berkaitan dengan pembahasan saat ini adalah pendapat yang pertama dan kedua.

Salah satu ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah adalah imam An-Nawawi. Shalat berjamaah dihukumi fardhu kifayah karena berlandasan pada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

مَا ‌مِنْ ‌ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ أَوْ بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيْهَا الْجَمَاعَةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Tidaklah tiga orang berada di suatu kampung atau daerah yang tidak didirikan shalat berjamaah kecuali mereka dikuasai oleh setan”. (Abu Bakar Syata Ad-Dimyati, I’anah At-Talibin, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiah, 2009], juz 2, halaman 8).

Dalam hadis di atas, terdapat ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Hal inilah yang menuntut untuk menghukumi shalat berjama’ah dengan fardhu kifayah.

Apabila kita mengikuti pendapat tersebut maka kalangan ulama fikih berpendapat bahwa shalat berjamaah tanpa khusyuk lebih utama dibanding shalat sendiri dengan khusyuk. Dengan alasan karena fardhu kifayah merupakan suatu kewajiban, yang mana kewajiban lebih utama dibanding kesunahan.

Namun imam Al-Ghazali sedikit berbeda dengan pendapat kalangan ulama’ fikih di atas. Beliau berpendapat bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama bagi seseorang yang ketika shalat berjama’ah sebagian besar dari shalatnya tidak bisa khusyuk.

Di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Imam Ibnu Hajar Al-Haitami memberi penjelasan terkait pendapat imam Al-Ghazali di atas, beliau menyatakan bahwa pendapat tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang sudah lama menjalankan riyadhah (kegiatan spiritual) khalwat (meninggalkan keramaian). Yang mana faedah yang didapat oleh orang tersebut lebih banyak ketika melaksanakan shalat dengan sendiri, karena derajat ketaatannya akan menurun ketika dia bergaul dengan orang lain.

Dalam salah satu kitabnya, imam Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama bagi orang yang ketika shalat berjamaah tidak bisa khusyuk sama sekali. Pendapat ini disampaikan oleh muridnya syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in, namun penjelasan muridnya tersebut dikomentari oleh syaikh Abu Bakar Syata dalam kitabnya I’anah At-Talibin bahwa pendapat imam Ibnu Hajar di atas tidak ditemukan di antara kitab-kitab karangannya.

Sedangkan di dalam kitabnya Fathul Jawad imam Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa shalat berjamaah tanpa khusyuk lebih utama dibanding dengan shalat sendiri dengan khusyuk, bahkan bagi orang yang ketika shalat berjama’ah tidak bisa khusyuk sama sekali. Yang mana pendapat ini sekaligus menolak pendapat imam Al-Ghazali di atas.

Alasan imam Ibnu Hajar terkait penolakannya terhadap pendapat imam Al-Ghazali adalah karena mempertimbangkan ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardhu ain dan syarat sahnya shalat. Yang mana dengan adanya dua pendapat di atas menunjukkan bahwa shalat berjamaah sangat diprioritaskan mengungguli khusyuk.

Juga dengan alasan karena shalat berjamaah merupakan salah satu dari bentuk media untuk memperkenalkan agama Islam, maka mempertahankannya menjadi lebih utama. Dan apabila kita mengatakan bahwa shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama niscaya banyak orang yang meninggalkan shalat berjamaah, dengan beralasan ketika shalat berjama’ah tidak bisa khusyuk, maka menurut Imam Ibnu Hajar hukum menutup kemungkinan-kemungkinan buruk seperti di atas adalah wajib.

Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa hukum melaksanakan shalat secara berjamaah adalah sunah mu’akkad, mereka berlandasan pada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Artinya: “Shalat berjama’ah lebih utama dibanding shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat”. (Zainuddin Al-Malibari, Fathul mu’in, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiah, 2009], halaman 70).

Hadis di atas menjelaskan adanya keutamaan dalam shalat berjamaah, yang mana para ulama fikih memahami bahwa suatu keutamaan itu hanya menunjukkan hukum kesunahan, tidak sampai pada hukum wajib. Sehingga mereka berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunah mu’akkad.

Apabila kita mengikuti pendapat ini maka shalat sendiri dengan khusyuk lebih utama dibanding shalat secara berjamaah tanpa khusyuk. Dan pendapat ini mutlak, dalam arti baik saat shalat secara berjama’ah tidak bisa khusyuk sama sekali ataupun tidak.

Kesimpulan

Dari adanya perbedaan di atas, sebaiknya kita mengikuti pendapat imam Ibnu Hajar Al-Haitami, yang memprioritaskan shalat berjama’ah. Karena dengan mengikuti pendapat tersebut kita bisa menutup kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dan yang mana kemungkinan buruk tersebut bisa menurunkan tradisi baik orang islam yang telah lama berjalan.


Ditulis oleh Dicky Feryansyah, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang