Oleh: Cassidy Fahey

Akbar baru berumur tiga tahun ketika dokter-dokter mengetahui terjadi suatu masalah pada jantungnya.

Mereka menemukan sebuah lubang, yang memperlambat pertumbuhan dan perkembangannya. Akbar membutuhkan penanganan medis, namun orang tuanya tidak dapat membiayai dokter.

Keluarga Akbar dari Jombang, Indonesia, sebuah kota pedesaan dan terpencil dikelilingi oleh kebun tebu dan sawah. Yang dapat dilakukan kedua orang tua Akbar adalah pemberian sederhana, pengobatan di rumah.

Bantuan datang untuk keluarga ini datang dari dalam kota kecil mereka melalui Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT). Insititusi ini bertindak langsung untuk melayani masyarakat lokal, baik membantu orang-orang miskin, memperjuangkan pebisnis, panti asuhan, atau orang-orang jompo.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada kasusnya Akbar, LSPT membayar ambulan untuk mengantarkannya tiga jam tiap perjalanan dari Jombang ke Surabaya, kota besar terdekat. LSPT melakukan ini selama setahun, memastikan Akbar dapat pergi ke dokter dan mendapatkan penanganan medis.

 Sementara banyak pekerja-pekerja sosial pergi ke pekerjaan ini dengan keinginan membantu orang-orang, apa yang membuat LSPT berbeda adalah komitmen pada masyarakat lokal.

Namun demikian, Akbar membutuhkan lebih dari sekedar transportasi. Perawatan medis hanya dapat diberikan penyembuhan jangka pendek. Terdepat penanganan yang tesedia yang dapat memperbaiki permasalahan jantung secara keseluruhan, namun asuransi keluarga tidak dapat membiayainya.

LSPT kembali membantu, mencari dana selama sebulan untuk mencari seorang ahli kardiologi yang dapat melakukan operasi pro bono. Ketika mereka telah menemukan dokter yang bersedia, Akbar dioperasi pada bulan berikutnya. Sekarang, dia tumbuh menjadi seorang anak yang bahagia dan sehat, terima kasih untuk lembaga amal yang membantu masyarakatnya.

Keinginan untuk membantu para tetangga dan kembali pada masyarakat merupakan motivasi pokok untuk semua orang yang bekerja di LSPT. Lembaga amal ini terhubung dengan pihak swasta, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang. Sementara desa bersifat tradisional dan konservatif, orang-orang memberikan dengan murah hati kepada mereka yang membutuhkan. Lembaga amal ini dioperasikan oleh muslim, namun mereka menawarkan bantuan pada semua orang dari agama apapun. Saat ini, LSPT mendanai dan mengarahkan sembilan program untuk Jombang dengan anggaran tahunan 3 miliar rupiah (225.411 dolar Amerika).

Nyai Hj. Farida Salahuddin Wahid, istri pengasuh pesantren, memimpin dan mengawasi proyek-proyek LSPT. Nyai Farida berkata dia melakukan pekerjaan ini karena, “Saya ingin memberikan suatu yang baik.”

Ia memulai pekerjaan nonprofit pada 1980-an ketika dia membantu LSM-LSM mengelola program-program perencanaan. Dia merupakan wanita terdidik mengenai pengendalian kelahiran yang pada waktu itu, menjadi kontroversial karena Nahdlatul Ulama (organisasi Islam terbesar berbasis di Indonesia) belum membentuk kebijakan penggunaan kontrasepsi. Namun Nyai Farida percaya wanita harus memiliki suara mengenai ukuran keluarga. Jadi dia melanjutkan pekerjaannya. Hari ini dia mengelola proyek LSPT yang membantu anak yatim, anak-anak dari orang tua tunggal, orang tua, orang miskin, dan pengusaha yang berjuang.

Sementara banyak amal atau pegawai-pegawai nonprofit pergi ke pekerjaan ini dengan keinginan untuk membantu orang-orang, apa yang membuat LSPT berbeda adalah komitmen pada masyarakat lokal.

“Dibanding dengan yang lembaga amal besar lain, saya kira LSPT bukan apa-apa,” kata Bapak As’ad, mantan direktur LSPT. “Ini hanya lembaga kecil yang hanya dapat membantu orang-orang di masyarakat setempat kita. Anggaran kita tidak cukup besar untuk menyelesaikan masalah-masalah di Jombang, namun setidaknya kita dapat membantu menyelesaikan sebagiannya.”

LSPT akan memberikan bantuan ke kota-kota lain di Indonesia yang tertimpa bencana alam, seperti erupsi merapi, namun fokus utamanya di Jombang. Amal tersebut telah menciptakan model “tetangga membantu tetangga” yang telah menempa sebuah masyarakat yang kuat dan bersatu, sesuai dengan nilai kemandirian dan kemerdekaan yang telah menandai desa-desa di Indonesia selama beberapa generasi.

“Di masa lampau, pemerintah tidak menjangkau masyarakat-masyarakat kecil seperti Jombang,” jelas Rainer Heufers, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Policy Studies di Atlas Network.

“Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk menjangkau semua orang dan untuk waktu terlama mereka tidak tertarik karena kita dalam kediktatoran hingga 1998. Pemerintah sibuk dengan hal lain.”

Sebaliknya, tiap desa harus mengurus dirinya sendiri, yang mana ini dilakukan dengan “gotong royong”, suatu sistem di mana masyarakat desa tersebut membangun sebuah sumur, sekolah, atau rumah ibadah bersama.

Karena Indonesia telah mengalami modernisasi, gotong royong telah tergantikan. Pemerintah daerah mulai menjangkau desa-desa dan pemerintah nasional ingin membuat program pusat seperti perawatan kesehatan universal. Namun, pemerintah tetap tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi keinginan ini, jadi badan amal mengisi kekosongan ini.

“Kita memiliki tempat adegan filantropi yang baru dan yang akan datang di Indonesia,” kata Heufers. “Ini merupakan suatu sistem keuangan di mana orang-orang mendonasikan harta ke lembaga amal, yang kemudian menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat.”

“Upaya berkelanjutan untuk membantu masyarakat ini dimotivasi secara keagamaan,” Heufers menambahkan.

Di Indonesia, sekitar 87 persen populasi diidentifikasi sebagai Muslim. Setiap Muslim wajib untuk memberikan 2,5 persen dari pemasukan mereka untuk amal setiap tahunnya, sebagaimana tercantum dalam Al Quran.

KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng berkata, “Kita melakukan apa yang Nabi Muhammad katakan: Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, apakah itu membantu atau mendukung mereka.”

Apa cara yang lebih baik untuk mengajari bagaimana menjadi seorang tetangga yang baik daripada menjadi yang demikian? Pesantren ini tidak hanya mengajari mengenai amal. mereka benar-benar menerapkannya.

Karyawan LSPT, Teuku Azwani mengatakan hal yang serupa: “Keyakinan kita berkata setiap Muslim menjadi seorang yang baik dan bermanfaat untuk orang lain.”

LSPT boleh kecil, namun tiap bulan memberikan 1.000 hingga 5.000 rupiah kepada sekitar 1.000 orang miskin, berdasarkan donasi bulan tersebut. Ini membantu sebagian 250 orang tua untuk biaya perumahan dan kesehatan. Kurang lebih 250 anak yatim piatu menerima bantuan finansial untuk bersekolah hingga mereka lulus. LSPT juga memberikan beasiswa kepada anak yatim untuk bersekolah, termasuk kuliah.

Tiap Senin, LPST bekerjasama dengan Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) Tebuireng memperbolehkan semua orang di Jombang untuk datang ke fasilitasnya untuk periksa dan layanan kesehatan gratis. Juga, tiap bulan, lima masjid dipilih untuk menerima 5 juta rupiah untuk membantu perawatan.

LSPT juga secara finansial membantu guru-guru yang dikirim ke sekolah-sekolah pedalaman untuk memperkuat program edukasi. Sekarang sekitar 20 bisnis kecil mendapat pinjaman mikro untuk usaha mereka, mempertahankannya hingga bisnis  berjalan tanpa bantuan luar. Akhirnya, uang diberikan melalui situasi darurat atau krisis yang berada di daerah-daerah terpencil Indonesia.

Ini merupakan banyak program hanya untuk satu komunitas, namun LSPT menekankan bagaimana pentingnya ini untuk “tetangga membantu tetangga”.

Direktur LSPT, Abdul Rozaq, berkata, pada TMP bahwa LSPT menawarkan suatu kesempatan bagi Pesantren untuk kembali pada masyarakatnya. Pemerintah daerah tidak tahu banyak mengenai masyarakat setempat karena tidak tahu situasinya.

KH. Salahuddin Wahid berkata bahwa pemerintah hanya mempunyai sedikit uang. Sehingga bergantung pada kegiatan amal untuk membantu orang miskin, panti asuhan, dan orang tua. Meskipun demikian, Rozaq percaya ada tempat untuk pemerintah dalam kegiatan amal, dan dia berpikir pemerintah harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga amal. Dengan demikian, pemerintah dapat menjadi lebih terdidik mengenai kebutuhan masyarakat, dan ini dapat kemudian membantu kegiatan amal mengirim bantuan secara lebih efektif dan efisien.

Tidak seperti Indonesia, pemerintah federasi AS dan negara-negara bagiannya menghabiskan lebih dari 1 triliun dolar untuk 80 lebih program kesejahteraan, dan ini tidak termasuk Medicare or Medicaid. Sementara program ini menguntungkan beberapa orang, mereka sangat tidak efisien, dan mereka telah menyebabkan sikap sinis bahwa kemiskinan tidak dapat dielakkan dan tidak dapat dipungkiri.

Model LSPT merupakan alternatif untuk diterapkan di Federal (AS) melalui asas subsidiaritas. Dengan pendekatan ini, pemerintah nasional akan membatasi perannya dalam kesejahteraan. Sebagai gantinya, tugas ini akan diserahkan ke pihak berwenang atau organisasi lokal untuk memberikan bantuan. Pemberi dan penerima saling berhubungan satu sama lain. Hal itu memungkinkan organisasi lokal untuk dengan mudah mengkonfirmasi jika bantuan efektif atau apakah penerima tidak lagi memerlukan bantuan.

LSPT terus-menerus memeriksa penerimanya untuk melihat apakah uang itu digunakan dengan tepat. Hal ini juga memungkinkan LSPT untuk membentuk hubungan pribadi dengan penerimanya. Kedua belah pihak dapat melihat bagaimana tetangga membantu tetangga, dan siklus ini akan diteruskan ke tetangga berikutnya. Masyarakat membangun dirinya sendiri dengan bantuan eksternal yang sangat sedikit.

Beberapa mungkin mempertanyakan apakah lembaga pendidikan swasta seperti Pesantren Tebuireng memiliki usaha amal, tapi sekolah ini memimpin dengan memberi contoh. Pesantren tersebut berkepentingan untuk membangun karakter siswanya, dan para pemimpin sekolah berharap agar siswa memberi dengan murah hati di luar sekolah mereka sendiri.

Apa cara yang lebih baik untuk mengajar bagaimana menjadi tetangga yang baik daripada menjadi yang demikian? Sekolah ini tidak hanya mengajarkan tentang amal. Ini benar-benar melakukannya.

Zaza, seorang gadis dari Jombang dan lulusan baru Pesantren Teburieng, ingin menjadi seorang akuntan suatu hari nanti. Meskipun dia masih harus banyak belajar, LSPT telah menempatkannya pada bidang keuangan, di mana dia mengembangkan keterampilan profesionalnya.

Dengan mengenakan baju lengan panjang, baju abu-abu dengan rok hitam panjang, dan jilbab berwarna ungu dan krem, dia terlihat cukup muda cocok untuk berada di SMA, tapi hari ini dia mengelola anggaran untuk LSPT.

“Saya bersemangat mengelola uang, dan saya ingin membantu orang,” kata Zaza. Wajahnya bersinar saat dia membicarakan pekerjaannya, bahkan saat dia mengakui betapa rumitnya anggaran karena LSPT mendanai begitu banyak program.

Zaza menemukan cara untuk membantu masyarakatnya sambil juga melakukan apa yang dia cintai. Inilah mentalitas yang membawa orang lain seperti dia secara bersama untuk membantu tetangga mereka di kota kecil Jombang ini.


Cassidy Fahey adalah seorang wisudawan tahun 2017 The King’s College di Manhattan, jurusan Politik, Filosofi, dan Ekonomi. Pada Mei 2017 lalu, dia berpartisipasi pada upaya Media Project ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Indonesia.

Tulisan ini pernah dimuat di https://themediaproject.org/news/2017/6/26/school-based-charity-keeps-care-local-in-indonesia.

Diterjemahkan oleh Farha Kamalia.