Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Ajaran Ahlus sunnah wal Jamaah (Aswaja) yang menjadi pegangan jemaah dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama sudah hadir di Nusantara sejak sekitar 1.000 tahun lalu. Ajaran itu dibawa penyebar Islam yang bersedia berdialog dengan budaya setempat dan memakai media tradisional dalam menyebarkan Islam.Pesantren yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Pesantren tertua yang kini masih aktif adalah Pesantren Sidogiri, berdiri pada 1718.
Pesantren Tebuireng didirikan pada 1899 oleh KH Hasyim Asy’ari, jadi daya tarik bagi para pemuda berpotensi dari berbagai daerah. Sejumlah santri terpilih yang dibina khusus oleh KH. Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan pesantren di tempat mereka tinggal setelah meninggalkan Tebuireng. Pesantren-pesantren itu kelak menjadi pesantren besar, seperti Lirboyo, Ploso Kediri, Tegalrejo Magelang, dan Denanyar Jombang.
Pesantren-pesantren yang didirikan oleh alumni Tebuireng itu membentuk jama’ah (komunitas) penganut paham Islam Ahlus sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang mengikuti mazhab empat (terutama mazhab Syafi’i). Para kiai dari komunitas pesantren itu merasakan kebutuhan untuk mendirikan jam’iyyah (organisasi) untuk bisa meningkatkan pengabdian mereka.
Penggagas awal berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah KH. A. Wahab Hasbullah, santri KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab menyampaikan usul itu kepada gurunya yang merupakan tokoh utama para kiai pesantren di Jawa, karena paham bahwa organisasi NU hanya akan bisa tumbuh kalau dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari. Setelah mendapat perintah dua kali dari Syaikhona Kholil, guru yang dihormatinya, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan berdirinya organisasi NU pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344).
Mandiri dan maju
Organisasi NU lalu dikembangkan melalui jaringan pesantren, terutama alumni Pesantren Tebuireng, yang tersebar di banyak tempat. Ternyata metode itu amat efektif. Tahun 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota. Tahun 1938, berkembang jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa. Organisasi baru ini tumbuh secara mandiri. Sampai 1940, setiap tahun diselenggarakan 15 muktamar. Itu menunjukkan bahwa organisasi NU dikelola dengan baik, dilandasi ruh jihad yang kuat.
Pada 1937 MIAI didirikan sebagai bagi seluruh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Serikat Islam, dan banyak lagi lainnya termasuk dari luar Jawa. MIAI adalah wadah pergerakan Umat Islam mempersiapkan kemerdekaan. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan oleh pihak Jepang dan sebagai gantinya dibentuklah Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dengan Ketua KH. Hasyim Asy’ari dan Wakil Ketua KH. Mas Mansyur serta KH. A. Wahid Hasyim.
Pimpinan Militer Jepang juga membentuk Shumubu (semacam kantor agama) di Jakarta dan berbagai daerah. Untuk pemimpin Shumubu tingkat Nasional ditunjuk KH. Hasyim Asy’ari yang sehari-hari diwakili oleh KH. A. Wahid Hasyim. Dengan memimpin Shumubu dan tinggal di Jakarta, KH. A. Wahid Hasyim bisa berkomunikasi dengan tokoh pergerakan kemerdekaan dan masuk ke dalam Panitia Sembilan BPUPKI (yang membersiapkan Pembukaan UUD 1945.
Para Tokoh NU memanfaatkan latihan kemiliteran bagi santri oleh Jepang, dengan membentuk Lasykar Hizbullah. Dalam membentuk TNI, Lasykar Hizbullah menjadi salah satu unsur PETA dan eks-KNIL. Pada Oktober 1945, para ulama NU mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang menggelorakan semangat jihad pemuda di Surabaya dan sekitarnya sehingga terjadi pertempuran sengit menghadapi tentara sekutu pada November 1945.
Keislaman dan Kebangsaan
Dalam Muktamar 1938 di Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai “Dar al-Islam”, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasannya, penduduk Muslim dapat menjalankan syariat Islam yang dilakukan oleh para pegawai yang juga Muslim. Ini pertama kalinya NU menerapkan tradisi Sunni dalam pengesahan kekuasaan yang dapat diterima bila berfaedah bagi kehidupan beragama.
Walaupun sudah menerima Hindia Belanda sebagai “Dar al-Islam”, dalam persidangan BPUPKI, bersama ormas Islam lain NU memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Komprominya ialah Mukadimah UUD yang terkenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Di dalamnya tercantum bahwa dasar negara ialah Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Pada 18 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam bertemu Bung Hatta untuk membahas penolakan kelompok Kristen di Indonesia Timur terhadap “tujuh kata Piagam Jakarta” itu. Menghadapi pilihan sulit itu, para tokoh Islam itu setuju untuk mencoret tujuh kata itu sehingga sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam persidangan Konstituante (1956-1959), partai-partai Islam meneruskan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pemungutan suara, dasar negara Pancasila meraih suara di atas 56 persen dan dasar negara Islam meraih lebih dari 43 persen. Karena Konstituante mengalami jalan buntu, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pertimbangan dekrit itu, dinyatakan Piagam Jakarta menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 dan menjiwainya.
PBNU membentuk tim yang diketuai oleh KH. Achmad Siddiq untuk menyusun naskah tentang “Hubungan Islam dengan Pancasila”. Pada Desember 1983, naskah tersebut dipaparkan Kiai Achmad Siddiq di depan Munas Alim Ulama NU. Walaupun amat sulit, para ulama NU bisa diyakinkan untuk menerima naskah itu. Pada Muktamar NU 1984, naskah itu ditetapkan sebagai keputusan muktamar.
NU dan partai politik
Pada 1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana KH. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Majelis Syuro. Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi. Tokoh-tokoh NU adalah lulusan pesantren dan tokoh-tokoh Masyumi adalah lulusan sekolah Barat dan universitas. Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan. Pada 1952, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, yang jadi pemenang ketiga Pemilu 1955.
Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960 dan PKI dibubarkan oleh Pak Harto pada 1966. PNI merosot karena sebagian tokohnya terlalu dekat dengan PKI. Sementara itu muncul kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Dalam Pemilu 1971, Partai NU yang masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, adalah partai yang paling lantang mengkritisi pemerintah. Tak heran jika banyak juru kampanye NU diturunkan pihak keamanan dari podium kampanye. Aktivis NU di Departemen Agama diharuskan memilih jadi PNS atau NU. Maka, NU kehilangan banyak tokohnya.
Pada 1973, Partai NU bergabung dengan partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PNI bergabung dengan sejumlah partai menjadi PDI. Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah. Pada Muktamar 1984, NU menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai Islam. Penegasan itu dimaknai NU keluar dari PPP. Maka, di berbagai daerah tokoh-tokoh NU muncul sebagai aktivis Golkar.
Hanya 14 tahun NU mampu tidak terlibat dalam politik praktis. Pasca Orde Baru, saat pemerintahan BJ Habibie membuka kesempatan mendirikan partai baru untuk bisa ikut dalam Pemilu 1999, lima tokoh PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga NU. PKB berhasil mengantarkan Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. NU bergeser dari ranah masyarakat sipil menuju ranah politik. Kini timbul kesan kuat bahwa NU meninggalkan Khittah NU 1926 dalam masalah politik. PKB yang dimaksudkan sebagai sayap politik NU, kini justru terkesan mengendalikan organisasi NU dan organisasi di bawah NU. Nuansa paradigma partai politik dan pragmatisme amat terasa di dalam organisasi NU dan sejumlah badan otonom di bawahnya.
Perbedaan Tafsir Aswaja
Ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (1984-1999) terjadi perubahan mendasar. Gus Dur mampu mendinamisasi organisasi NU secara luar biasa. Banyak pihak mengatakan bahwa Gus Dur telah membuka jendela pesantren untuk bisa melihat dunia luar. Para pemuda tamatan pesantren merasakan adanya iklim yang mendorong mereka untuk berani melakukan pengembaraan keilmuan. Keadaan itu diperkuat dengan adanya kesempatan bagi banyak anak muda dari kalangan pesantren untuk melanjutkan pendidikan di berbagai universitas di negara Barat.
Kenyataan seperti itu tentu menimbulkan adanya perubahan tafsir terhadap ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) al-Nahdliyah yang selama ini menjadi dasar dan acuan berpikir bagi organisasi NU. Ajaran itu tercantum di dalam Qanun Asasi yang disusun oleh KH Hasyim Asy’ari. Secara sederhana Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fiqh mengikuti imam empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali). KH Bisri Mustofa menambah rumusan itu : dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
Sejak lama sejumlah anak muda dan tokoh NU menyatakan perlunya dilakukan redefinisi terhadap konsep Aswaja NU. Mohammad Luthfi Tomafi (alumni al Azhar Kairo) menulis (2002) bahwa konsep Aswaja NU sudah terasa sempit. Pada tataran fiqh, keempat madzhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini. Dr Said Aqiel Siradj (SAS) menyatakan didepan Musyawarah Pimpinan PMII (1995) bahwa “batasan tentang Aswaja yang dikemukakan oleh KH Hasyim Asy’ari itu membuat kita agak risih, katakan saja cukup memalukan karena kesederhanaannya”. Pemuda-pemuda NU yang dulu menggugat konsep Aswaja karena dianggap sempit dan tidak bisa mengikuti tuntutan keadaan, kini sudah menjadi tokoh didalam PBNU.
Sebagian besar ulama NU masih berpegang pada Aswaja NU sesuai rumusan KH. Hasyim Asy’ari. Mereka sependapat bahwa konsep Aswaja KH. Hasyim Asy’ari memungkinkan perubahan pola bermadzhab, dari secara “qauli” (produknya) menuju secara “manhaji” (metodologis). Mereka kuatir ada rencana sistematik untuk mengubah ajaran Aswaja KH. Hasyim Asy’ari yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan keadaan.
Masalah perbedaan tafsir terhadap Aswaja NU itu harus diselesaikan dengan baik. Siapapun juga tidak berhak untuk melarang SAS dkk serta tokoh-tokoh muda NU untuk menganggap bahwa rumusan Aswaja Kyai Hasyim Asy’ari dianggap sempit dan terlalu sederhana, tetapi mereka tidak bisa mengubahnya begitu saja dengan mengabaikan pendapat mayoritas. Untuk mengetahui dengan jelas pendapat mayoritas ulama, yang ideal tentu diadakan semacam referendum. Perlu dipahami bahwa kekuatan NU terletak pada jama’ah (komunitas) bukan pada jam’iyyah (organisasi).
Perlu dirawat
Organisasi NU didirikan oleh para ulama yang penuh keikhlasan, jauh dari popularitas. NU pernah diejek sebagai kelompok sarungan, “teklekan”, dan dianggap oportunis saat menjadi partai politik, serta ketinggalan zaman. Kini banyak kiai NU tidak canggung memakai sarung tampil dalam berbagai kesempatan, termasuk di Istana Merdeka, bahkan Presiden hadir dalam pembukaan Muktamar NU dengan memakai sarung.
Bersama Muhammadiyah, NU kini menjadi organisasi dan komunitas yang dianggap sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa. Tentu itu harus disyukuri dengan merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing bisa menerapkan apa yang diperolehnya di pesantren. Berarti para santri harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.
Untuk bisa berperan menjadi penjaga moral bangsa, terlebih dulu moral para petinggi NU harus baik. Petinggi NU harus bisa betul-betul menjadi pemimpin. Petinggi NU harus belajar pada pemimpin NU masa lalu, terutama saat NU belum menjadi partai politik, karena NU kini bukan partai politik.
Petinggi NU harus bisa menjadi negarawan bukan politisi. Roh jihad yang amat menipis perlu segera ditumbuhkan kembali. Petinggi NU harus bisa betul-betul memberi manfaat bagi NU, bukan hanya pandai memanfaatkan NU.
*Artikel ini adalah versi lengkap dan yang asli dari yang pernah dimuat oleh Harian Kompas tanggal 30 Januari 2016.