Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945, Mohammad Yamin menyampaikan perlunya pembentukan kementerian yang berhubungan dengan agama. Yamin mengatakan, “Pendek kata menurut kehendak rakyat bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan wakaf, masjid, dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yang kita namai Kementerian Agama.” Namun, pendapat Yamin itu belum bisa meyakinkan semua anggota BPUPKI.
Saat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945 tentang pembentukan kabinet, usul pembentukan Kemenag ditolak Johannes Latuharhary dan kelompok non-Muslim. Maka, di Kabinet 1 (September 1945) dan Ka binet 2 (November 1945) belum ada menteri agama.
KNIP menyetujui usul mereka. Pada 3 Januari 1946, Pemerintah Republik Indone sia mengeluarkan maklumat berdirinya Kementerian Agama RI dan mengangkat Haji Mohammad Rasyidi sebagai menteri agama pertama. Keberadaan Kemenag mempertegas bahwa agama adalah elemen yang penting dan ter kait secara fungsional dengan kehidupan ber negara di Indonesia. Keberadaan Kementerian Agama membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Kementerian Aga ma adalah perpaduan Islam dan Indonesia.
Dalam persidangan DPR awal 1950-an, muncul lagi gugatan terhadap keberadaan Ke menag. Syukur bahwa gu gatan itu bisa ditepis oleh KH A Wahid Ha syim. Suara serupa muncul lagi pada awal Reformasi. Saat diskusi yang diadakan oleh “Tim Lima PBNU”, ketika ada pihak yang mengusulkan namanya menjadi menteri agama, seorang tokoh petinggi PBNU menjawab tindakan pertama yang akan dilakukannya kalau menjadi menteri agama ialah membubarkan Departemen Agama.
Setelah diangkat sebagai menteri agama pertama, H Rasyidi datang sendiri kepada IJ Kasimo, pimpinan Katolik, dan mengatakan harus ada wakil dari Katolik di Kemenag. Kemudian, Pak Kasimo menunjuk seorang wakil untuk duduk di Kemenag. Pihak Kristen, Hindu, dan Buddha juga menunjuk wakil mereka di Kementerian Agama.
Maka berdirilah unit-unit dalam Kemenag yang kini kita kenal sebagai Direktorat Jenderal Bimas (Bimbingan Masyarakat) Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Buddha, dan Ditjen Bimas Islam. Keberadaan Ditjen itu terkait enam agama yang diakui resmi oleh negara, kecuali Ditjen Konghuchu yang tidak ada.
Ada beberapa masalah pelik terkait keberadaan sekian banyak agama di negara kita. Pertama, pencantuman agama mereka di KTP. Kedua, boleh tidaknya pernikahan menggunakan tata cara sesuai agama masing-masing. Ketiga, pernikahan antaragama. Keempat, izin mendirikan rumah ibadah. Kelima, keberadaan sekte di agama tertentu, seperti Syiah dan Ahmadiyah di Islam.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) mengatakan, dia adalah menteri semua agama. Dibanding dengan Suryadharma Ali (SDA), LHS bisa dibilang menteri semua agama.
Kerukunan umat beragama
Pada 2003, Departemen Agama dan DPR setuju membahas RUU Kerukunan Beragama. Seingat saya, muncul banyak penolakan atas campur tangan negara dalam masalah ke rukunan umat beragama. Jika masalah kerukunan umat beragama mesti diatur negara dengan perangkat hukum, itu berarti pluralisme agama mengalami proses mundur.
Sudah hampir setahun Kemenag menyusun naskah RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB). Menteri Agama mengaku sering dihubungi Polri terkait landasan hukum penyelesaian soal keagamaan. Dibanding menteri-menteri agama yang lalu, LHS lebih memahami hubungan agama dan HAM, bagaimana posisi agama dalam UUD.
Pendidikan tertua di nusantara ialah pesantren yang sudah ada sejak hampir 1000 tahun lalu. Pesantren tertua yang masih ada ialah Pesantren Sidogiri yang berdiri pada 1718. Sekolah Belanda yang menjadi cikal bakal sekolah yang kini ada di Indonesia berdiri pada 1840-an. Pada beberapa tahun pertama kemerdekaan mulai terjadi arus deras dari putra-putri kalangan pesantren untuk belajar di SD, SMP, dan SMA.
Pada 1950-an awal, era KH A Wahid Hasyim menjadi menteri agama, diterbitkan peraturan bahwa di sekolah yang ada (SD,SMP, SMA) diberikan mata pelajaran agama dan akan didirikan madrasah (MI, MTs, dan MA). Pada tahun itu juga didirikan PTAIN yang lalu berkembang menjadi STAIN dan IAIN.
Pada saat itu, ada yang mengkritik kebijakan Menteri Wahid Hasyim itu membuat dualisme pendidikan di Indonesia. Kritik itu dijawab bahwa pendidikan Islam sudah ada jauh sebelum sekolah berdiri di Indonesia. Kalau dianggap ada dualisme, maka perlu ditanya, siapa yang membuat dualisme itu?
Bagi saya, dualisme itu konsekuensi logis dari fitrah pendidikan di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 74 ribu madrasah di Indonesia, sekitar 90 persen milik swasta. Sebagai perbandingan, ada sekitar 175 ribu sekolah di Indonesia. Bayangkan kalau tidak ada madrasah, berapa puluh juta anak bangsa yang tak mendapatkan kesempatan belajar karena pemerintah tidak mampu menjalankan amanah UUD memberi pelayanan pendidikan dasar menengah kepada anak bangsa.
Sebagai penghargaan terhadap peran pesantren, pemerintah menetapkan adanya Hari Santri yang dipilih pada 22 Oktober sesuai saat dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad. Penghargaan itu bagus, tetapi hanya akan terasa seremonial belaka bila tidak ada kebijakan nyata pemerintah untuk membantu peningkatan mutu pesantren yang berjumlah sekitar 28 ribu. Kebijakan semacam itu adalah “affirmative action” untuk warga yang terlupakan, yang kebanyakan berada di pelosok.
Cukup banyak pesantren yang sudah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam atau Institut Agama Islam dan hanya beberapa yang sudah mendirikan universitas. Ideal sekali bila pesantren yang mendirikan universitas ini, terutama yang di daerah pedalaman (rural areas), mendapat bantuan anggaran memadai dari pemerintah supaya bisa menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.
Jumlah anak usia kuliah di pedalaman yang bisa masuk kuliah di kota besar hanya 6-7 persen, angka yang kecil bila dibandingkan dengan yang tinggal di kota besar (sekitar 27 persen). Keberadaan universitas di daerah pedalaman akan mengurangi ketimpangan desa-kota dan mengurangi urbanisasi. Juga akan mendinamisasi para pemuda sehingga bisa lebih bersaing. []
*Dimuat di Harian REPUBLIKA tanggal 02 Januari 2016, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan