Imam Al-Ghazali

Spirit terbesar bagi setiap manusia dalam setiap pergantian tahun adalah perubahan. Makna perubahan sangat banyak, salah satunya bagaimana kita hijrah. Berpindah dari kegagalan, kekurangan dan kelemahan. Menuju perubahan yang menciptakan solusi, harapan dan impian baru.

Setiap masa lalu adalah cermin dan banyak hikmah yang bisa diambil. Kebaikan diteruskan, kekurangan diperbaiki menuju masa depan yang lebih cerah. Jika ada yang salah, gagal, buruk maka jadikan sebagai pelajaran hidup. Tak perlu disesali, sebab tugas sejarah kita adalah menjalani masa kini dan menatap masa depan.

Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali pernah menjelaskan enam filsafat kehidupan. Semuanya bernilai perubahan dan jadi bahan terbaik kita untuk menciptakan agenda hijrah menuju hidup yang lebih baik.

Suatu hari, Imam Ghazali bertanya kepada muridnya, ”Apa yang paling dekat dalam kehidupan kita di dunia?” Beragam jawaban diperoleh dari muridnya. Ada yang menjawab teman, sahabat, orang tua, dan lainnya. Sambil tersenyum, sang guru menjawab ”Yang paling dekat dengan kita adalah kematian.”

Dari nasehat ini kita belajar bagaimana amal menjadi bekal berharga saat jadwal kematian kelak menjemput. Tugas kita memperbanyak amal kebaikan dan ibadah, sebab kematian tidak pernah diketahui kapan datangnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau meneruskan pertanyaan kedua, ”Apa yang paling jauh dari kehidupan kita?” Ada yang menjawab negara Cina, bulan, bintang dan sebagainya. Imam Al-Ghazali menjelaskan, ”Masa lalu adalah yang paling jauh dari kehidupan ini”. Nasihat yang berharga ini mengingatkan kita, jangan sibuk menengok ke belakang. 

Berhentilah membanggakan kebaikan di masa lalu, jangan pula menghabiskan waktu menangisinya. Kita perlu mengingatkan diri betapa berharganya waktu. Hidup hanya sekali dan kita tak akan dapat merevisi waktu yang sudah berlalu. Masa lalu adalah kenangan yang sudah lewat. Masa sekarang adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi dan dijalani. Masa depan adalah harapan yang harus diciptakan sebab semua masih misteri dan penuh keghaiban.

Sejenak tersenyum, Imam Al-Ghazali melanjutkan pertanyaan ketiga, ”Apa yang paling besar di dunia ini?” Kebesaran dimaknai muridnya dengan jawaban gunung, bumi, matahari dan langit. Beliau terdiam, kemudian menjawab, “Masalah paling besar yang harus kita hadapi sebagai manusia adalah nafsu.”

Kegagalan kita di masa lalu ikut dipengaruhi nafsu buruk, serakah, mau menang sendiri dan maksiat baik besar serta kecil. Nafsu khususnya nafsu buruk membuat kita seringkali membenarkan yang salah. Menganggap baik suatu keburukan karena dominasi dorongan hasrat fatamorgana duniawi. Dengan spirit tahun baru jauhkan diri dari lingkungan toxic yang merusak mental. Jaga pikiran agar tidak stress yang berdampak kepada kesehatan fisik. Kita harus kembali bertemu nafsu mutmainnah. Kembali pada jiwa yang tenang dan mendapatkan ridho Allah SWT. (Q.S. Al Fajr: 28-30)

Pertanyaan selanjutnya, ”Apa yang paling berat di dunia ini?” Setiap murid mengangkat tangan dan menjawab besi, gajah, gunung dan lainnya. Beliau membenarkan jawaban muridnya, kemudian berkata, “Amanah adalah hal yang paling memberatkan kehidupan manusia”. Setiap manusia memiliki amanah dalam hidupnya.

Zaman terus berganti, tak terasa amanah baik di kantor, sekolah, kampus, dan lingkungan masyarakat semakin banyak. Kita seringkali mengambil amanah sebagai bentuk tanggung jawab individu dan sosial. Itu sesuatu yang wajar, tinggal kita jujur, adil dan komitmen terhadap amanah yang ada? Rasulullah SAW mengingatkan ”Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Tirmidzi)

Pertanyaan Imam Al-Ghazali yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini? Dengan penuh semangat para muridnya menjawab “Kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar, kata Imam Al-Ghazali, tapi wahai muridku sesuatu yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan sholat. Kita diajarkan bagaimana shalat adalah ciri orang beriman, ibadah pertama yang ditanyakan Allah SWT dan tiang agama. Jika ingin Islam tegak di muka bumi, maka penting sekali mendirikan shalat dalam keseharian hidup kita.

Tetapi tak jarang, kesibukan pekerjaan dan urusan duniawi lain. Membuat kita terlupa dan meminggirkan shalat sebagai sarana berkomunikasi kepada Allah. Maka detik inicadalah waktu terbaik kita berkomitmen menjaga shalat dalam kehidupan sehari-hari. Kuatkan hati, pikiran dan jiwa bahwa shalat membantu segala kesuksesan hidup duniawi dan mengantarkan ke syurgaNya kelak.

Kemudian Imam Al-Ghazali bertanya persoalan yang keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini”. Beberapa muridnya menjawab pisau, pedang dan benda tajam lainnya. Dengan ketawadhuan dan senyum khasnya, beliau menjawab, “Berhati-hatilah dengan lidah sebab itu yang sangat tajam”. Sepanjang tahun lalu, terkadang kita gagal mengendalikan lidah dalam berucap.

Kebiasaan bergosip, mencela, membully, dan berkata buruk kadang keluar dari mulut baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal ini berdampak ada perasaan dan hati orang lain yang terluka. Maka ikhtiarkan mulai sekarang kita akan berusaha menjaga lidah kita agar tidak menyakiti hati orang lain dan memproduksi dosa. Rasullah pernah mengingatkan, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka bicaralah yang baik atau diam”  (HR. Bukhari)

Spirit perubahan dalam kehidupan dimulai dari perbaikan diri. Berhijrah dari keburukan di masa lalu, digantikan kebaikan dan kebermanfaatan di masa sekarang. Sebagai manusia Indonesia yang beragama, kita berusaha menerbitkan berjuta harapan. Sesuatu yang berlalu jadikan pelajaran, ambil hikmah. Kita rancang masa kini dan masa depan, sebagaimana mentari yang selalu terbit dan bersinar di pagi hari. Manfaatkan umur yang terus berkurang untuk menumbuhkan optimisme, memunculkan keberanian, menciptakan bunga-bunga harapan dan menyebarkan spirit perubahan.

Mari menciptakan masa depan dimulai dari hari ini. Sebagaimana pesan Rasulullah SAW, “Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dia beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia merugi. Barangsiapa hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang celaka.(H.R. Al Hakim)

Baca Juga: Tiga Tingkatan Manusia Menurut Imam al Ghazali

Ditulis oleh Inggar Saputra, Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.